Riwayat Syekh Ali Akbar Pasongsongan (6)
Penulis: Yant Kaiy
Pada
masa penjajahan Jepang ke Indonesia, pelabuhan Pasongsongan yang terletak di
Desa Panaongan pernah dijadikan tangsi atau barak oleh tentara Jepang. Karena
penjajah Jepang memahami benar akan fungsi dan manfaat pelabuhan Pasongsongan
kala itu. Mereka mengambil alih kendali atas pelabuhan. Kapal laut tentara
Jepang menjadi leluasa mendaratkan kapal-kapalnya. Tidak ada yang bisa
mencegah. Menurut Madun, S.Pd.,
kekejaman tentara Jepang telah merusak tatanan kehidupan masyarakat
Pasongsongan yang agamis. Semenjak itulah kebesaran pelabuhan Pasongsongan
sedikit demi sedikit mulai suram. Tenngelam seiring waktu sampai akhirnya hanya
tinggal kenangan manis. In memoriam pelabuhan Pasongsongan.
Namun
belakangan ini pelabuhan Pasongsongan mulai dilirik lagi oleh pemangku
kepentingan. Pada tahun 2004 pemerintahan provinsi Jawa Timur menggelontorkan dana cukup besar dalam
pembangunan pelabuhan Pasongsongan. Menurut Alimurrahman, salah seorang pegawai
di pelabuhan Pasongsongan, pada tanggal 3 Juli 2013 Gubernur Jawa Timur, Dr. H.
Soekarwo, meresmikan pelabuhan Pasongsongan.
Pelabuhan
Pasongsongan untuk saat sekarang adalah
sentra aktifitas kegiatan perikanan tangkap terbesar di wilayah Pulau Madura.
Nama pelabuhan ini menjadi Unit Pelaksana Teknis Pelabuhan Perikanan Pantai
Pasongsongan dan kabarnya menjadi pelabuhan terbesar di seluruh Madura.
Asal-usul
Pasongsongan
Tulisan
yang spesial mengupas tentang sejarah Pasongsongan memang belum pernah penulis
temukan di berbagai buku. Baik itu dalam buku babad Madura atau babad Sumenep. Atau mungkin keterbatasan penulis saja yang
tidak menemukannya. Entahlah. Yang pasti penulis telah berupaya sekuat tenaga
untuk mendapatkan literatur sebagai sumber penguat dalam penulisan buku ini. Menyadari
hal yang demikian, jalan satu-satunya penulis menggali sejarah tentang
Pasongsongan lewat berbagai nara sumber terutama orang-orang yang terlahir di
Desa Pasongsongan. Lebih khusus lagi, penulis
menjadikan keturunan Syekh Ali Akbar sebagai nara sumber utama dalam penulisan
buku ini. Dan sebagai penyeimbangnya penulis mewawancarai orang luar
Pasongsongan, akan tetapi mereka tentu banyak tahu tentang sejarah Pasongsongan
itu sendiri.
Sejarah
tentang Pasongsongan memiliki banyak sekali unsur pelajaran yang bisa dipetik dari
beberapa sisi dalam pemaparannya; ada nilai
moral, sosial budaya, kesetiakawanan antar kelompok, pengabdian antara individu
yang satu dengan lainnya, jalinan persahabatan dengan dilandasi nilai-nilai
agama di dalamnya terutama agama Islam. Sungguh sangat sarat dengan muatan-muatan
kebajikan yang pantas untuk dikaji lebih mendalam dan lebih komprehensif.
Memang
sejarah tentang Pasongsongan porsinya di berbagai literatur hampir boleh
dibilang tidak ada. Tidak ada catatan tinta emas yang terekam di museum
sejarah. Sejarah tentang Pasongsongan selama ini hanya berupa cerita belaka. Cerita
dari mulut ke mulut. Cerita nina bobo bagi anak kecil ketika hendak tidur. Kita
cukup mafhum kalau kebiasaan orang tua dulu apabila hendak menidurkan buah
hatinya biasanya bercerita terlebih dahulu. Karena jaman sekarang sudah canggih
dan maju, kearifan lokal pun aus dimakan peradaban teknologi digital yang
merajalela di seluruh belahan dunia. Maka kebiasaan bercerita itu hilang dengan
sendirinya. Kebiasaan usang tersebut lenyap ditelan alam. Anak-anak kita setiap
harinya dijejali tayangan televisi yang kadang tidak mendidik. Bahkan tak
jarang pula buah hati kita dibelikan smartphone atau ponsel cerdas dengan alasan
takut ketinggalan jaman. Itu semua sah-sah saja. Tapi anak-anak kita juga sangat memerlukan kearifan lokal sebagai
penyeimbang tumbuh-kembangnya kelak apabila dewasa. Karena yang pasti ia akan hidup
bergaul dan bersinergi dengan lingkungannya.
Salah
satu aspek kenapa sejarah Pasongsongan tenggelam ditelan waktu. Barangkali hal
ini disebabkan tidak adanya kajian yang lebih mendalam dan lebih melebar
tentang babat Madura itu sendiri. Padahal sejarah Pasongsongan erat kaitannya
dengan keutuhan dan keagungan Kerajaan Sumenep. Tidak bisa dipungkiri, Pasongsongan
telah menjelma menjadi elemen penting
dalam menopang kemakmuran Kerajaan Sumenep. Ya, Kerajaan Sumenep telah banyak
mendapatkan support, baik dari kekuatan pasukan perang ketika masa kepemimpinan
Raja Bindara Saod. Juga support dari
sisi ekonomi, Pasongsongan telah berhasil mempersembahkan sebuah menara tinggi
dalam kemakmuran rakyat Kerajaan Sumenep, dikarenakan Pasongsongan memiliki
pelabuhan super ramai dan super sibuk setiap harinya dengan banyaknya kapal
dagang dari berbagai mancanegara pada jaman itu.
Para
saudagar yang paling banyak berdagang di Pasongsongan adalah orang-orang dari
jasirah Arab dan dari Negeri Tirai Bambu China. Pengaruh kebudayaan kedua etnis
itu begitu kuat di tengah-tengah masyarakat Pasongsongan. Dan kedua etnis itu
beradaptasi dengan masyarakat tanpa gesekan yang berarti sehingga Pasongsongan
semakin kuat dalam banyak hal. Misalnya dari sisi agama, etnis Arab telah
banyak menyumbangkan beberapa pemuka agama Islam yang keberadaannya sangatlah
diperhitungkan. Dari sisi ekonomi, etnis China mampu menumbuh-kembangkan taraf
hidup masyarakat lebih maju dan lebih baik dari pada sebelumnya lewat ilmu
berniaganya sudah masyhur. Sinergisitas kedua kekuatan tersebut telah mampu menciptakan
wajah kemajuan Pasongsongan lebih meniscaya di tengah pergolakan politik
kekuasaan antar kerajaan.
Sekarang
Pasongsongan adalah sebuah kecamatan paling barat ( bagian utara Pulau Madura )
yang masuk dalam wilayah Kabupaten Sumenep. Dari Kota Sumenep ke arah barat
laut berjarak kurang lebih 36 km. Kecamatan
Pasongsongan sendiri memiliki sepuluh desa, antara lain : Desa Pasongsongan,
Desa Panaongan, Desa Padangdangan, Desa Soddara, Desa Rajun, Desa Campaka, Desa
Lebeng Barat, Desa Lebeng Timur, Desa Prancak, dan Desa Montorna. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.