Amazing Goa Soekarno Pasongsongan (5)



Penulis: Yant Kaiy

Menurut Kiai Haji Mas Ula Ahmad, wabah tha’un merupakan suatu penyakit kulit yang sangat mematikan dengan cepat. Penyakit instan ini semacam penyakit kusta atau lepra. Ia berasal dari virus yang awalnya menyerang hewan ternak. Kemudian virus ini menyerang manusia amat sadis. Orang yang terjangkit akan muncul borok pada kulitnya. Lantas tanpa menunggu lama langsung meregang nyawa.

Wabah tha’un menyerang manusia sangat cepat. Ia menyebar liar ke seluruh masyarakat Desa Panaongan dan sebagian Desa Pasongsongan. Banyak orang yang terjangkit sehingga dalam tempo singkat puluhan ribu jiwa meninggal dunia. Maka tidak heran kalau akhirnya daerah Astah Buju’ Panaongan sepi dari penduduk.

Mereka umumnya berpindah tempat tinggal secara kolektif dan tak kembali lagi. Mereka meninggalkan Panaongan demi garis keturunan tidak musnah diserang tha’un. Menurut beberapa keterangan, bahwa banyak diantara mereka yang pindah ke daerah Tambaagung Kecamatan Ambunten Kabupaten Sumenep.

Ini pula yang menjadi salah satu faktor terputusnya trah (silsilah) keturunan Buju’ Panaongan. Ya, hingga saat ini keturunan Buju’ Panaongan masih belum ditemukan. Belum ada sebuah pembuktian siapa saja keturunan dari Buju’ Panaongan.

Beralih dari persoalan itu, Sri Sundari lebih jauh memaparkan, kalau dulu sebenarnya ada beberapa raja Sumenep yang juga pernah berteduh sebelum melanjutkan perjalanannya. Persis dii daerah tersebut ada pohon asam amat besar sebagai tempat berteduh. Wajar kalau rombongan raja-raja dulu beristirahat di lokasi tersebut, karena mereka telah mengadakan perjalanan cukup jauh dengan menandu sang raja.Tentu para pengawal kelelahan.

Seterusnya masyarakat luar menamakan daerah tempat pemberhentian untuk istirahat tersebut dengan nama Panaongan.

Sedangkan menurut Madun, S.Pd, dulu Desa Panaongan bernama Desa Padangdangan Barat, seperti yang ia pernah dengar cerita-cerita dari para orang tua dahulu. Tapi karena suatu proses eksistensi yang tidak relevan dengan nilai historis, maka pemangku kebijakan (para pini-sepuh) mendesain nama daerah tersebut berdasar pada nilai-nilai historis yang melingkupinya.

Bukankah orang-orang jaman dahulu dalam memberikan nama apapun senantiasa disandarkan pada peristiwa yang melekat pada obyek tersebut. Seperti dalam memberikan nama pada anak bayi misalnya. Karena ketika melahirkan bayinya sedang terjadi huru-hara, maka segera menamakan anak bayinya dengan ‘Ribut’. Atau ketika seorang bayi lahir yang diiringi dengan meninggalnya kedua orang tuanya, lantas kerabatnya menamakan sang bayi ‘Yatim’ (Bhs. Madura: Jetem).

Berbeda dengan pendapat lainnya, Ustadz Komarudin Nasir memberikan komentarnya tentang nama Desa Panaongan. Nama Panaongan bermula ketika Syekh Ali Akbar sering berteduh di bawah pohon asam yang sangat besar di sebelah timur jembatan Panaongan. Di dekat pohon asam itu ada sumber mata air yang sangat jernih dan sampai sekarang masih ada.

Mata air itu digunakan oleh banyak orang untuk minum dan berwudhu karena orang pada jaman dahulu jika bepergian dengan berjalan kaki. Untuk mengusir penat dan dahaga, mereka sambil berteduh dan minum air sepuasnya di lokasi tersebut. Jadi nama Panaongan yang asli ada di titik sumber mata air yang ada di sebelah timur jembatan. (Bersambung) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Soal-soal Bahasa Madura Kelas IV SD

Soa-soal Bahasa Madura Kelas III

Hairus Samad Kenang Sosok Ustadz Patmo: Ulama Muda Berpandangan Jauh ke Depan

Soal dan Kunci Jawaban Bahasa Madura PAS Kelas IV SD

Cabang Therapy Banyu Urip Pasuruan Layani Pasien Setiap Hari, Sediakan Pengobatan Gratis di Hari Ahad

Jurnal Pembelajaran Mendalam dan Asesmen 2.0 (Umum) dengan Topik Pendekatan Understanding by Design dalam Perencanaan Pembelajaran

Soal dan Kunci Jawaban Bahasa Madura Kelas 3 SD di Sumenep

Perjalanan Cinta Akhmad Faruk Mirip Sinetron, Berujung di Pelaminan untuk Kedua Kalinya

Mitos Uang Bernomer 999

Sempat Direvitalisasi, Kondisi Sumber Agung Pasongsongan Kembali Memprihatinkan