Meneladani Sikap Kiai Ali Maschan Musa: Persatuan Umat di Tengah Polemik Muhibbin Ba’alawi
Peringatan Hari Santri Nasional 2025 yang dirangkai dengan Maulid Nabi Muhammad SAW di Lapangan Sawunggaling, Desa/Kecamatan Pasongsongan, Kabupaten Sumenep, berlangsung penuh hikmah.
Pada Rabu malam, 29 Oktober 2025 pukul 19.00 WIB, ribuan jamaah memadati lapangan untuk mendengarkan ceramah agama dari Kiai Ali Maschan Musa — seorang tokoh ulama nasional yang dikenal arif dan berpikiran terbuka.
Dalam ceramahnya, Kiai Ali Maschan tidak hanya mengingatkan umat Islam akan pentingnya meneladani akhlak Rasulullah, tapi juga mengajak jamaah untuk menjaga persatuan di tengah perbedaan pandangan, termasuk dalam polemik yang belakangan muncul seputar muhibbin (para pecinta) Ba’alawi.
Beliau memang sempat menyinggung soal perdebatan mengenai klaim keturunan Nabi Muhammad SAW yang sering dikaitkan dengan klan Ba’alawi.
Tapi, dengan kebijaksanaan khas ulama NU, Kiai Ali Maschan memilih tidak memperpanjang pembahasan tentang asal-usul nasab tersebut.
Fokus utamanya adalah bagaimana umat Islam tidak terpecah hanya karena perbedaan garis keturunan.
“Kita semua adalah umat Nabi Muhammad. Tugas kita bukan membuktikan siapa yang paling dekat nasabnya, tapi siapa yang paling meneladani akhlaknya,” tutur Kiai Ali Maschan dengan penuh kelembutan di hadapan jamaah.
Sikap ini sejalan dengan prinsip dasar berdirinya NU yang menempatkan ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah sebagai tiga pilar utama kehidupan beragama dan berbangsa.
Sejak awal berdirinya, NU hadir bukan untuk memperuncing perbedaan, melainkan menjahit kembali persaudaraan di tengah keragaman pemikiran dan latar belakang umat Islam di Indonesia.
Dalam konteks polemik Ba’alawi, pandangan Kiai Ali Maschan Musa bisa dimaknai sebagai ajakan untuk kembali ke substansi: mencintai Nabi Muhammad bukan hanya lewat nasab, tapi juga lewat amal dan akhlak.
Menjadi muhibbin sejati berarti meneladani kasih sayang Nabi kepada sesama, memperjuangkan keadilan, dan menebarkan kedamaian — bukan memperkuat sekat sosial atau kebanggaan genealogis.
Pesan tersebut terasa sangat relevan di tengah situasi umat Islam yang kerap dihadapkan pada isu identitas.
Ketika sebagian orang sibuk memperdebatkan siapa yang lebih dekat dengan Nabi, Kiai Ali Maschan justru mengingatkan bahwa setiap Muslim memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi kekasih Rasul, asalkan mengikuti ajarannya dengan tulus dan istiqamah.
Semangat ini pula yang menjadi ruh Hari Santri: keikhlasan dalam berjuang, menjaga tradisi keilmuan, dan menegakkan persaudaraan.
Peringatan Maulid Nabi tahun ini pun jadi momentum untuk menegaskan kembali bahwa cinta kepada Rasulullah tidak boleh melahirkan perpecahan, melainkan harus menjadi energi pemersatu umat.
Dengan gaya ceramah yang tenang namun menembus hati, Kiai Ali Maschan Musa menutup tausiyahnya dengan pesan damai: bahwa perbedaan pandangan tidak seharusnya memutus tali silaturahmi. [sh]

Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.