Jurnal Pembelajaran PPG 2025 Modul 1 Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) dengan Topik School Well-Being
JURNAL PEMBELAJARAN PPG
Tema: Pembelajaran Sosial Emosional (PSE)
Topik: School Well-Being
1.
Uraian Materi
School well-being merupakan kondisi ketika peserta didik merasa aman, nyaman,
diterima, dan mampu berkembang secara optimal dalam lingkungan sekolah. Konsep
ini mencakup aspek fisik, emosional, sosial, dan akademik, yang saling
berkaitan dalam menciptakan suasana belajar yang positif. Pada konteks
Pembelajaran Sosial Emosional (PSE), school well-being menjadi landasan penting
karena mendukung perkembangan kompetensi kesadaran diri, manajemen diri,
kesadaran sosial, keterampilan berelasi, dan pengambilan keputusan yang
bertanggung jawab.
Secara teoretis, school well-being
dapat dilihat melalui empat dimensi utama:
- Kenyamanan (Comfort)
– peserta didik merasa lingkungan sekolah aman secara fisik dan emosional.
Tidak ada ancaman bullying, diskriminasi, maupun tekanan berlebihan.
- Hubungan Positif (Connectedness) – peserta didik terhubung secara positif dengan guru,
teman, dan komunitas sekolah. Relasi yang suportif meningkatkan rasa
memiliki (sense of belonging).
- Kompetensi (Competence) – peserta didik memiliki kesempatan menunjukkan kemampuan,
memperoleh penguatan, serta mengembangkan potensi akademik maupun
nonakademik.
- Kemandirian (Autonomy) – peserta didik diberi ruang untuk memilih, mengambil
keputusan, dan bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran mereka.
Implementasi school well-being dalam
pembelajaran menuntut guru menciptakan iklim kelas yang inklusif, menerapkan
strategi PSE secara eksplisit maupun terintegrasi dalam kegiatan belajar, serta
memberikan dukungan emosional yang konsisten. Kegiatan seperti check-in emosi,
diskusi reflektif, pembelajaran kolaboratif, dan penumbuhan budaya apresiasi
menjadi bagian praktik yang efektif. School well-being juga dipengaruhi
kebijakan sekolah yang berpihak pada murid, kerja sama orang tua, dan
keterlibatan masyarakat.
Melalui penerapan school well-being,
sekolah diharapkan mampu meningkatkan motivasi belajar, menurunkan perilaku
bermasalah, memberikan dukungan kesehatan mental, serta membangun karakter
positif peserta didik. Guru sebagai agen profesional perlu memiliki pemahaman
komprehensif dan strategi yang tepat agar konsep ini dapat diterapkan secara
nyata di kelas maupun tingkat sekolah.
2.
Rancangan Aksi
A.
Latar Belakang
Hasil refleksi pembelajaran
menunjukkan bahwa beberapa peserta didik masih menunjukkan gejala kurang
percaya diri, mudah cemas, dan belum mampu mengelola emosi ketika bekerja dalam
kelompok. Oleh karena itu, diperlukan aksi nyata untuk memperkuat school
well-being melalui kegiatan PSE yang terintegrasi dengan pembelajaran.
B.
Tujuan Aksi Nyata
- Menumbuhkan rasa aman, nyaman, dan diterima bagi
peserta didik di lingkungan kelas.
- Mengembangkan keterampilan sosial-emosional peserta
didik melalui kegiatan check-in emosi dan kolaborasi.
- Meningkatkan rasa memiliki serta hubungan positif
antarsesama peserta didik dan guru.
- Menciptakan budaya kelas yang suportif dan inklusif.
C.
Sasaran Kegiatan
Peserta didik kelas … (isi sesuai
kebutuhan), rekan guru, dan lingkungan kelas sebagai ruang implementasi.
D.
Bentuk Kegiatan dan Langkah-Langkah Aksi
1.
Kegiatan Check-In Emosi Harian
- Peserta didik memilih emotikon atau warna yang mewakili
kondisi emosinya.
- Guru menanyakan secara singkat alasan di balik
pemilihan tersebut.
- Guru memberikan afirmasi atau dukungan jika ditemukan
kondisi emosional yang membutuhkan perhatian.
2.
Pojok Nyaman (Comfort Corner)
- Menyediakan sudut kelas berisi alat relaksasi sederhana
seperti kartu emosi, buku bacaan ringan, dan permainan kecil antistres.
- Peserta didik diperbolehkan menggunakan pojok nyaman
maksimal 5 menit ketika merasa perlu menenangkan diri.
3.
Kegiatan “Teman Penolong” (Peer Support Buddy)
- Peserta didik dipasangkan secara acak sebagai pasangan
dukungan.
- Setiap pasangan bertugas saling membantu dalam tugas
dan menjaga hubungan positif.
- Guru memberikan lembar refleksi mingguan.
4.
Pembelajaran Kolaboratif Berbasis Tantangan
- Guru menyusun tugas kelompok yang menekankan kerja
sama, saling menghargai, dan komunikasi efektif.
- Penilaian dilakukan tidak hanya pada hasil, tetapi juga
proses interaksi tim.
5.
Sesi Apresiasi Mingguan “Kata Baik”
- Setiap peserta didik menuliskan apresiasi atau
kelebihan temannya dalam kartu kecil.
- Kartu dibacakan bersama dan ditempel pada “Pohon
Kebaikan Kelas”.
E.
Waktu Pelaksanaan
Dilaksanakan selama 4 minggu: minggu
pertama persiapan, minggu kedua dan ketiga implementasi, minggu keempat
evaluasi.
F.
Indikator Keberhasilan
- Peserta didik lebih terbuka dalam menyampaikan
perasaan.
- Meningkatnya interaksi positif antarsesama siswa.
- Berkurangnya konflik kecil di kelas.
- Peserta didik menunjukkan sikap saling mendukung dan
menghargai.
3.
Dokumentasi Kegiatan (Deskriptif)
- Foto 1: Guru melakukan check-in emosi bersama siswa
menggunakan papan emotikon.
- Foto 2: Pojok nyaman yang digunakan siswa saat merasa
cemas.
- Foto 3: Aktivitas kolaboratif kelompok saat
menyelesaikan tugas tantangan.
- Foto 4: Pohon Kebaikan Kelas berisi kartu apresiasi
dari seluruh siswa.
(Sesuaikan dengan foto asli saat
pelaksanaan.)
4.
Umpan Balik dari Rekan Guru
Tanggapan
Rekan Guru 1 (Ibu Sundari, S.Pd):
“Kegiatan school well-being ini
sangat membantu menciptakan suasana kelas yang lebih tenang dan suportif. Saya
melihat siswa menjadi lebih berani menyampaikan perasaan dan bekerja sama.
Pojok nyaman adalah inovasi bagus dan dapat diterapkan juga di kelas saya.”
Tanggapan
Rekan Guru 2 (Bapak Abdus Salim, S.Pd):
“Program ini efektif untuk
memperkuat hubungan sosial antarsiswa. Kegiatan teman penolong memberi dampak
positif, terutama bagi siswa yang biasanya pasif. Saya menyarankan program ini
dipertahankan dan disosialisasikan kepada guru lain.”
5.
Refleksi
Pelaksanaan aksi nyata dengan tema
school well-being memberikan pengalaman bermakna bagi saya sebagai calon
pendidik profesional. Melalui program ini, saya menyadari bahwa pembelajaran
tidak hanya berfokus pada capaian akademik, tetapi juga pada kebutuhan
emosional dan sosial peserta didik. Ketika suasana kelas lebih positif dan
suportif, proses pembelajaran berlangsung lebih efektif dan kondusif.
Kegiatan check-in emosi menjadi
pintu masuk untuk memahami kondisi peserta didik setiap hari. Saya menemukan
bahwa beberapa siswa yang tampak pendiam ternyata memiliki kecemasan tertentu,
dan melalui dialog singkat, mereka merasa lebih dihargai. Pojok nyaman juga
menjadi solusi sederhana namun berdampak besar; siswa yang sebelumnya mudah
marah atau gelisah kini mampu menenangkan diri secara mandiri sebelum kembali
belajar.
Pembelajaran kolaboratif
memperlihatkan dinamika interaksi yang menarik. Terdapat peningkatan kerja
sama, terutama ketika siswa memahami bahwa keberhasilan kelompok bergantung
pada kontribusi masing-masing. Program teman penolong memperkuat rasa tanggung
jawab dan empati. Saya melihat siswa mulai saling mendukung, bahkan tanpa
diminta.
Masukan dari rekan guru semakin
meyakinkan saya bahwa implementasi school well-being relevan dan dapat
dikembangkan lebih lanjut. Beberapa guru tertarik menerapkannya di kelas
masing-masing, artinya program ini berpotensi menjadi gerakan sekolah yang
lebih luas.
Secara pribadi, saya belajar bahwa
upaya kecil, konsisten, dan berpihak pada murid mampu menghasilkan perubahan
besar. Saya juga memahami bahwa guru perlu terus mengobservasi kebutuhan siswa
dan menjaga fleksibilitas dalam merancang strategi pembelajaran. Ke depan, saya
ingin memperbaiki aspek pencatatan perkembangan emosi siswa serta memperluas
kolaborasi dengan orang tua untuk memperkuat dukungan dari rumah.
Dengan demikian, aksi nyata ini
menjadi langkah penting dalam perjalanan saya membangun lingkungan sekolah yang
berorientasi pada kesejahteraan peserta didik, sekaligus memperkuat kompetensi
sosial emosional sebagai bagian integral dari proses pendidikan.[]

Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.