JURNAL PEMBELAJARAN

Modul 1: Pembelajaran Sosial Emosional (PSE)

Topik: Experiential Learning dalam Penguatan Kompetensi Sosial Emosional Peserta Didik


1. Uraian Materi

Modul 1 memberikan penekanan pada penggunaan Experiential Learning sebagai salah satu pendekatan yang dapat memperkuat Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) di lingkungan sekolah. Experiential Learning, sebagaimana dikembangkan oleh David Kolb, merupakan proses pembelajaran yang menempatkan pengalaman sebagai dasar utama untuk membangun pemahaman, keterampilan, dan perubahan perilaku. Pembelajaran ini menuntut keterlibatan peserta didik secara aktif dalam situasi yang memungkinkan mereka mengalami, merefleksikan, menarik makna, dan menerapkan kembali pengetahuan tersebut dalam konteks baru.

Modul ini menegaskan bahwa pembelajaran sosial emosional tidak dapat hanya disampaikan melalui ceramah atau instruksi verbal. Kompetensi seperti kesadaran diri, empati, pengelolaan emosi, serta keterampilan komunikasi dan kolaborasi membutuhkan pengalaman langsung sebagai ruang praktik. Oleh karena itu, guru memiliki peran penting dalam merancang pengalaman belajar yang aman, bermakna, dan relevan bagi peserta didik.

Empat tahapan Experiential Learning menurut Kolb yang dibahas dalam modul ialah:

  1. Concrete Experience, yaitu tahap ketika peserta didik terlibat secara langsung dalam aktivitas yang memunculkan dinamika emosi, komunikasi, dan interaksi sosial.
  2. Reflective Observation, tahap ketika peserta didik mengamati kembali pengalamannya, menganalisis respons emosionalnya, serta memahami dinamika kelompok yang muncul.
  3. Abstract Conceptualization, yaitu proses menghubungkan pengalaman dengan konsep-konsep baru, termasuk nilai-nilai sosial emosional yang relevan.
  4. Active Experimentation, yakni penerapan pemahaman baru dalam konteks berikutnya, baik melalui kegiatan lanjutan di kelas maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Modul 1 menekankan bahwa pendekatan ini membantu peserta didik memahami dirinya secara lebih mendalam, melatih kesadaran sosial, membentuk pola komunikasi sehat, serta mendorong pengambilan keputusan yang lebih bijaksana. Guru berperan sebagai fasilitator yang menciptakan ruang dialog, refleksi, dan pembiasaan positif. Melalui pendekatan Experiential Learning, PSE menjadi lebih kontekstual, hidup, dan mampu membentuk karakter peserta didik secara utuh.


2. Rancangan Aksi Nyata

Judul Aksi Nyata:

Penerapan Model Experiential Learning dalam Mengembangkan Kesadaran Emosi, Empati, dan Kolaborasi Peserta Didik


A. Latar Belakang

Hasil pembelajaran dari Modul 1 menunjukkan bahwa peserta didik membutuhkan ruang untuk belajar memahami dan mengekspresikan emosi, bekerja sama secara efektif, serta membangun interaksi sosial yang sehat. Tantangan sosial emosional sering muncul di kelas dalam bentuk kesulitan mengendalikan emosi, konflik antarteman, rasa enggan berkomunikasi, atau perasaan kurang percaya diri. Pendekatan Experiential Learning memungkinkan guru menghadirkan pengalaman yang menantang sekaligus mendukung perkembangan sosial emosional secara langsung. Oleh sebab itu, aksi nyata ini dirancang untuk membangun kesadaran emosi, memperkuat empati, dan melatih kolaborasi melalui pengalaman nyata yang terstruktur.


B. Tujuan Aksi Nyata

Aksi nyata ini bertujuan untuk:

  1. Mendorong peserta didik memahami emosi melalui pengalaman langsung.
  2. Mengembangkan empati melalui interaksi dalam kegiatan simulatif dan proyek sosial.
  3. Meningkatkan kemampuan kerja sama dan komunikasi.
  4. Melatih peserta didik melakukan refleksi diri secara rutin.
  5. Menciptakan pembelajaran yang lebih aktif, kontekstual, dan bermakna.

C. Bentuk Kegiatan Aksi Nyata Berdasarkan Siklus Experiential Learning

1. Concrete Experience – Simulasi “Jembatan Kerja Sama”

Pada tahap ini, peserta didik dihadapkan pada aktivitas simulatif yang mengharuskan mereka bekerja secara kolaboratif untuk mencapai tujuan bersama. Mereka harus memindahkan bola menggunakan rangkaian tali yang dipegang oleh anggota kelompok. Aktivitas ini memunculkan beragam reaksi emosional seperti gugup, antusias, frustrasi, ataupun gembira. Situasi nyata ini menjadi arena bagi peserta didik untuk mengenali reaksi diri serta dinamika interaksi antaranggota kelompok.

2. Reflective Observation – Diskusi Reflektif Terpandu

Setelah kegiatan berlangsung, peserta didik diajak melakukan refleksi melalui pertanyaan panduan. Mereka merenungkan perasaan, hambatan, strategi komunikasi, serta perilaku kelompok selama proses berlangsung. Guru memfasilitasi suasana yang tenang sehingga peserta didik dapat mengungkapkan refleksi mereka dengan jujur.

3. Abstract Conceptualization – Penguatan Konsep PSE

Guru kemudian menghubungkan pengalaman tersebut dengan konsep-konsep penting dalam PSE. Misalnya, pentingnya regulasi emosi dalam menyelesaikan tugas bersama, nilai empati dalam memahami pendapat teman, serta peran komunikasi asertif dalam menghindari konflik. Pada tahap ini, peserta didik menemukan bahwa pengalaman yang mereka alami menjadi sumber pembentukan konsep baru.

4. Active Experimentation – Mini Project “Aksi Baik”

Tahap selanjutnya adalah penerapan konsep yang telah dipahami ke dalam kegiatan nyata. Peserta didik diarahkan untuk melaksanakan aksi kecil yang mencerminkan perilaku sosial emosional, seperti membantu teman yang mengalami kesulitan belajar, menjaga kebersihan kelas, atau memberikan dukungan emosional kepada teman sebaya. Mini Project ini dilaksanakan selama satu minggu dengan panduan refleksi harian.


D. Langkah Pelaksanaan

  1. Menyiapkan alat simulasi dan media refleksi.
  2. Mengatur waktu pelaksanaan kegiatan secara terstruktur.
  3. Memfasilitasi diskusi refleksi dengan pendekatan terbuka dan tidak menghakimi.
  4. Menghubungkan pengalaman dengan konsep sosial emosional secara eksplisit.
  5. Mengarahkan peserta didik menyusun dan menjalankan project aksi baik.
  6. Melakukan evaluasi terhadap perkembangan perilaku peserta didik.

E. Indikator Keberhasilan

Keberhasilan aksi nyata ini dilihat melalui beberapa indikator, yaitu:

  • peserta didik mampu menyebutkan emosi yang dirasakan selama kegiatan;
  • peserta didik menunjukkan peningkatan kerja sama dan komunikasi;
  • peserta didik mampu memberi dukungan emosional kepada teman;
  • peserta didik menunjukkan perilaku sosial positif dalam Mini Project;
  • suasana kelas menjadi lebih kondusif dan kolaboratif.

3. Dokumentasi Kegiatan

Dokumentasi kegiatan menunjukkan proses peserta didik melalui setiap tahap Experiential Learning. Foto-foto mencakup momen ketika peserta didik melakukan simulasi “Jembatan Kerja Sama”, kegiatan refleksi yang dilakukan dalam bentuk diskusi melingkar, serta hasil tulisan refleksi yang menggambarkan pemahaman emosional mereka. Selain itu, dokumentasi Mini Project “Aksi Baik” memperlihatkan bagaimana peserta didik menerapkan nilai empati dan kolaborasi dalam tindakan nyata, seperti membantu teman, membersihkan kelas bersama, atau menemani teman yang terlihat sedih. Dokumentasi ini menjadi bukti visual bahwa kegiatan tidak hanya berlangsung dengan baik tetapi juga memberikan dampak nyata bagi perkembangan sosial emosional peserta didik.


4. Umpan Balik dari Aksi Nyata

Guru 1 (Ibu W.N.)

Beliau menyampaikan bahwa kegiatan simulatif ini mampu menggali potensi peserta didik yang sebelumnya tidak tampak. Ia menilai bahwa aktivitas ini memberi ruang bagi peserta didik untuk menunjukkan kemampuan memimpin, bekerja sama, dan mengelola emosi. Menurutnya, pendekatan berbasis pengalaman seperti ini layak diterapkan secara berkala karena memberikan dampak signifikan terhadap dinamika kelas.

Guru 2 (Bapak R.A.)

Beliau menilai bahwa refleksi merupakan komponen terpenting dalam kegiatan ini. Bagi beliau, peserta didik terlihat lebih mampu mengidentifikasi perasaan mereka setelah mengikuti kegiatan. Ia juga mengapresiasi Mini Project yang memberi kesempatan bagi peserta didik untuk menerapkan nilai empati dalam kehidupan nyata. Menurutnya, kegiatan seperti ini dapat memperkuat budaya positif di sekolah.


5. Refleksi

Pelaksanaan aksi nyata berbasis Experiential Learning memberikan pengalaman yang sangat berarti bagi saya sebagai pendidik. Saya menyadari bahwa pendekatan ini tidak hanya membantu peserta didik memahami pembelajaran secara lebih mendalam, tetapi juga mengubah cara mereka berinteraksi satu sama lain. Melalui pengalaman langsung, peserta didik belajar mengenali berbagai emosi yang muncul selama kegiatan berlangsung. Mereka belajar bahwa kebingungan, ketegangan, dan kegembiraan adalah bagian dari proses belajar yang wajar dan dapat dikelola dengan baik.

Simulasi “Jembatan Kerja Sama” menjadi titik awal yang membuka kesempatan bagi peserta didik untuk merasakan dinamika kerja kelompok. Saya melihat bagaimana peserta didik yang biasanya pendiam mulai berpartisipasi secara lebih aktif, sementara peserta didik yang sering mendominasi belajar mengendalikan diri agar kelompok dapat bekerja secara lebih harmonis. Dari sini saya memahami bahwa pengalaman langsung sering kali menjadi pemantik paling kuat untuk menumbuhkan kesadaran diri dan sosial.

Tahap refleksi memberikan wawasan baru terkait bagaimana peserta didik memahami pengalaman mereka. Sering kali peserta didik membutuhkan ruang untuk duduk tenang, merenung, dan menyadari bagaimana tindakan mereka memengaruhi kelompok. Pada sesi refleksi, beberapa peserta didik mengungkapkan bahwa mereka merasa marah, tetapi mencoba menahan diri agar kerja kelompok tetap berjalan baik. Ada pula peserta didik yang merasa senang karena dapat memberikan kontribusi lebih besar dari biasanya. Proses ini menunjukkan bahwa refleksi bukan hanya kegiatan tambahan, tetapi bagian inti dari pengembangan sosial emosional.

Mini Project “Aksi Baik” menjadi momentum yang memperkuat penerapan nilai-nilai sosial emosional dalam kehidupan sehari-hari. Banyak peserta didik yang dengan senang hati membantu teman atau menjaga kerapian kelas tanpa diminta. Mereka menyadari bahwa tindakan kecil yang dilakukan dengan tulus dapat memberikan dampak besar bagi suasana kelas. Saya melihat bahwa peserta didik menjadi lebih peka terhadap perasaan teman dan lebih cepat menawarkan bantuan.

Bagi saya pribadi, kegiatan ini menegaskan kembali pentingnya peran guru sebagai fasilitator pengalaman belajar. Pengalaman ini mengingatkan saya bahwa pembelajaran yang bermakna tidak selalu datang dari penjelasan panjang, tetapi sering kali dari kesempatan bagi peserta didik untuk mengalami, merasakan, merenungkan, dan mencoba kembali. Saya merasa semakin yakin bahwa pendekatan Experiential Learning dapat menjadi strategi efektif dalam penguatan PSE. Ke depan, saya berkomitmen untuk terus mengintegrasikan pengalaman nyata dalam setiap pembelajaran agar peserta didik dapat tumbuh sebagai individu yang berempati, berpikir reflektif, dan mampu berkolaborasi secara sehat.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Soa-soal Bahasa Madura Kelas III

Amazing! Siswa SDN Soddara 1 Pasongsongan Raih Juara III se-Madura

Soal-soal Bahasa Madura Kelas IV SD

MWC NU Pasongsongan Hadirkan Kiai Said Aqil Siradj: Menyambut Hari Santri dengan Pencerahan untuk Umat

SDN Soddara 1 Pasongsongan Turunkan 4 Atlet di Skill and Sport Competition 03 se-Madura

Mitos Uang Bernomer 999

Dua Siswi SDN Padangdangan 2 Ikuti Ajang ISCO MIPA 2025 di SDN Pasongsongan 2

Soal dan Kunci Jawaban Bahasa Madura PAS Kelas IV SD

Semua Guru dan Siswa SDN Padangdangan 2 Kenakan Busana Serba Putih Peringati Hari Santri Nasional

Prestasi Siswa SDN Panaongan 1 dalam Spelling Bee Competition Kabupaten Sumenep