Membaca Ulang Sejarah Penyebaran Islam di Nusantara: Suara Jernih Kiai Said Aqil Siradj

Ketua umum pbnu

Dalam salah satu perbincangan menarik di kanal YouTube Mahfud MD Official, Kiai Said Aqil Siradj—ulama besar Nahdlatul Ulama yang dikenal dengan keluasan ilmunya dan ketenangan sikapnya—kembali menyentil kesadaran sejarah umat Islam Indonesia. 

Dalam dialog tersebut, Kiai Said menegaskan bahwa Islam di bumi Nusantara tidak dibawa oleh orang-orang Yaman sebagaimana sering diklaim oleh sebagian kelompok yang mengaku sebagai “habib”.

Pernyataan tegas tersebut bukan dimaksudkan untuk menyerang siapa pun, tapi lebih kepada meluruskan fakta sejarah agar umat Islam memahami asal-usul penyebaran Islam di Nusantara secara objektif. 

Penyebar Islam Nusantara

Menurut Kiai Said, para tokoh penyebar Islam di awal masa datangnya agama ini ke wilayah kepulauan Nusantara justru bukan berasal dari Hadramaut (Yaman), melainkan dari berbagai wilayah dunia Islam yang lebih luas—termasuk dari Mesir, Persia, dan bahkan Tiongkok.

Nama-nama seperti Fatimah binti Maimun di Gresik, yang dikenal sebagai salah satu tokoh penyebar Islam pertama di Jawa; Syekh Ahmad Subakir, seorang sufi besar yang dipercaya menanamkan pondasi spiritual Islam di tanah Jawa; Syekh Kuro dari Tiongkok; serta Syekh Maulana Ishak dari perbatasan Mesir-Libya—jadi bukti nyata bahwa Islam datang melalui jalur spiritual dan intelektual yang kaya dan beragam, bukan semata-mata dari bangsa Yaman.

Orang Yaman

Kiai Said menambahkan, orang-orang Yaman baru memasuki kepulauan Indonesia pada masa penjajahan Belanda. 

Mereka datang tidak dalam konteks dakwah Islam, melainkan sebagai bagian dari arus perdagangan dan kolonial yang dibuka oleh kekuasaan Belanda. 

Di sinilah kemudian muncul fenomena sosial baru: sebagian dari mereka memamerkan status ke-“habib”-an untuk memperoleh kedudukan sosial yang lebih tinggi di tengah masyarakat kolonial dan pribumi.

Fenomena penggunaan gelar “habib” ini, menurut Kiai Said, pada akhirnya lebih bersifat politis dan sosial ketimbang spiritual. 

Gelar tersebut digunakan sebagai sarana memperoleh kehormatan dan kemudahan hidup, dengan mengaitkan nasab mereka kepada Nabi Muhammad SAW—meski kebenaran silsilah tersebut masih menjadi perdebatan di kalangan ahli sejarah dan nasab.

Tidak hanya di Indonesia habib Yaman ini sukses mengelabui masyarakat pribumi yang notabene sangat menghormati Nabi Muhammad, mereka juga berhasil membohongi masyarakat Malaysia dan Brunei Darussalam. 

Sangat luar biasa kelicikan mereka sehingga banyak dari mereka jadi mukibbin yang siap mengorbankan harta bendanya demi mendapatkan syafaat Rasullullah SAW. 

Perilaku Arogan

Lebih disayangkan lagi, belakangan ini, sebagian dari kelompok yang mengaku “habib” justru memperlihatkan perilaku yang jauh dari akhlak Rasulullah SAW. 

Sikap arogan, merasa suci sendiri, bahkan merendahkan bangsa pribumi menjadi ironi di tengah masyarakat Islam yang diajarkan untuk menjunjung tinggi tawaduk dan persaudaraan sesama umat. 

Padahal, sejarah Islam di Nusantara justru dibangun atas dasar kerendahan hati, akulturasi budaya, dan dialog kemanusiaan.

Apa yang disampaikan Kiai Said Aqil Siradj sejatinya adalah bentuk *ijtihad intelektual* untuk mengembalikan kesadaran sejarah bangsa. 

Bahwa Islam di Nusantara lahir bukan dari darah kebangsawanan atau garis nasab, melainkan dari kerja keras, kesabaran, dan cinta dakwah para ulama sejati yang hidup di tengah masyarakat. 

Islam tumbuh di bumi Nusantara karena kearifan, bukan karena silsilah.

Taqwa dan Akhlak

Dalam konteks ini, pernyataan Kiai Said hendaknya tidak dipahami sebagai bentuk penolakan terhadap siapa pun, tapi sebagai upaya membangun nalar sejarah yang jernih—agar umat Islam Indonesia tidak mudah terjebak dalam kultus keturunan. 

Sebab dalam Islam, kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh asal-usul, melainkan oleh taqwa dan akhlak. 

Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Hujurat ayat 13:

"Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa."

Pernyataan Kiai Said Aqil Siradj ini seolah jadi cermin bagi kita semua untuk meninjau kembali bagaimana seharusnya memahami sejarah keislaman di Indonesia: bukan dari siapa yang merasa paling mulia, tapi dari siapa yang benar-benar meneladani akhlak Nabi Muhammad SAW. [sh]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Soal-soal Bahasa Madura Kelas IV SD

Soa-soal Bahasa Madura Kelas III

KB-PAUD Sabilul Rosyad Desa Pagagan Menerima Kunjungan Asesor Akreditasi

Kekecewaan Guru Honorer Pasongsongan: Lama Mengabdi tapi Tak Lolos PPPK

PB Elang Waru Jalin Persahabatan dengan PB Indoras Sumenep

Mitos Uang Bernomer 999

Soal dan Kunci Jawaban Bahasa Madura PAS Kelas IV SD

Sekolah Hebat, SDN Padangdangan 2 Gelar Program Bersase Setiap Sabtu

KH Kamilul Himam Isi Tausiah Maulid Nabi Muhammad SAW di SDN Panaongan 3 Pasongsongan

498 Guru Honorer Sumenep Gagal Terjaring PPPK, Bagaimana Nasib Mereka?