Mengejar Badai": Potret Guru Honorer yang Terlupakan
Kalimat "mengejar badai" barangkali terdengar puitis, bahkan heroik.
Tapi bagi sebagian besar guru honorer Kabupaten Sumenep, istilah ini adalah kenyataan pahit yang dijalani seumur hidup.
Terutama bagi mereka yang telah mengabdi lebih dari 20 tahun, termasuk dalam kategori R4—guru honorer yang telah bekerja sejak lama tapi terpinggirkan oleh regulasi yang tidak berpihak pada pengalaman dan usia.
Bayangkan seseorang yang mendedikasikan separuh hidupnya untuk mencerdaskan generasi bangsa, tapi akhirnya harus pensiun dalam senyap, tanpa pengakuan, tanpa penghargaan yang layak.
Usianya telah mencapai 60 tahun, dan satu-satunya yang menjadi saksi dari perjuangannya adalah air mata yang jatuh diam-diam, menetes bukan karena lelah, tapi karena kecewa.
Regulasi demi regulasi datang dan pergi, tak satu pun benar-benar memberikan "jatah" keadilan bagi mereka yang menua dalam pengabdian.
Masa kerja yang panjang tidak menjadi jaminan.
Usia yang kian senja justru jadi penghalang.
Padahal mereka bukan mengejar fasilitas, mereka hanya ingin diakui.
Mengejar badai bukan hanya tentang bertahan di tengah ketidakpastian, tapi juga tentang harapan yang terus dikejar meski tahu ujungnya bisa menghancurkan.
Dan itulah yang dialami para guru honorer Kabupaten Sumenep—berlari menuju sistem yang terus berubah, berharap diakui, namun akhirnya harus berhenti tanpa pernah sampai.
Sudah waktunya negara melihat lebih dalam, bahwa loyalitas bukan sekadar angka dalam SK, tapi jejak panjang perjuangan yang mestinya tak dilupakan. [sh]
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.