Langsung ke konten utama

Era Cagar Alam Indonesia

Tanaman Raflesia

Artikel Lingkungan: Yant Kaiy
Se perlindungan alam di Indonesia terkait erat dengan nama Dr.SH Koorders, pendiri dan ketua pertama Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda (NIVN). Sebelum perkumpulan ini berdiri, sebenarnya telah ada beberapa upaya yang mengarah ke perlindungan alam Indonesia. Perlindungan hutan di Depok misalnya, antara Betawi dan Bogor, yang telah ada sejak tahun 1714. C. Chastelein, anggota Dewan Hindia, dengan surat wasiat tertanggal 13 Maret 1714, isinya tentang pemberian kebebasan pada para hamba sahayanya serta mewariskan kepada mereka dua persil dekat Depok, dengan syarat lahan tersebut tidak boleh dipindahtangankan.

Hutan ini luasnya 6 hektar dan yang ada di atasnya tidak boleh dijadikan lahan usaha tani. Dengan demikjan, selama 200 tahun lahan tersebut terpelihara. Pada tanggal 31 Maret 1913, pemangkuan lahan itu diserahkan oleh gemeente Tanah Depok kepada perkumpulan perlindungan alam itu.

Peristiwa kedua yang sangat besar artinya dan berakibat amat jauh, yakni perlindungan hutan Udas di atas kebun pegunungan Cibodas di lereng Gunung Gede. Dan, atas dasar Direktur s’lands Plantetuin (Kebun Raya) Bogor pada waktu itu, Melchior Treub (1880: 1909) lahan berhutan lebat seluas 280 hektar yang meluas hingga pada ketinggian 2.000 MDpl, digabung dengan s’Lands Plantetuin pada tahun 1889, guna keperluan penelitian flora hutan pegunungan. Hutan ini dinyatakan sebagai Cagar Alam yang kemudian makin dikenal dan banyak dikunjungi oleh para peneliti. Pada tahun 1925 arealnya diperluas lagi yang kini telah meliputi puncak Gunung Gede serta Pangrango.

Kendati pun telah diciptakan cagar alam pertama di Indonesia, tetapi tindakan tersebut masih berdiri sendiri, bukan merupakan rancangan umum mengenai perlindungan alam. Bulan Desember 1884 Koorders sebagai Houtvester, akhirnya tiba di Hindia Belanw da, maksud dan tujuannya tak lain karena mempunyai perhatian lebih besar terhadap sisi botani dari profesinya. Sejak tahun 1888 hingga 1903, ia memberi nomor pada setiap pohon-pohon yang tersebar di seluruh pulau Jawa di bagian hutan yang karakteristik dan dari pohon ini ia mengumpulkan bahan herbarium, guna penetapan secara ilmiah komposisi hutan tropika.

Kemudian ia bekerja sama dengan ahli botani Th Valeton, maka lahirlah karya besarnya Bijdragen tot de Kennis der Boomsoorten van Java (sumbangan tentang pengetahuan jenis pohon dari Jawa) 1893-1914 (terdiri 13 jilid). Sudah barang tentu Koorders ingin agar tempat hidup tumbuh-tumbuhan itu diamankan demi masa depan, namun perhatiannya langsung diarahkan pada cagar alam yang lebih luas dan mempunyai arti lebih umum. Tujuan seperti bayangan Koorders dapat dicapai dengan baik jika didirikan perkumpulan swasta yang berusaha memelihara cagar alam tumbuhan yang dimaksud.

Pada tanggal 22 Juli 1912, didirikan Nederlandsch Indische Vereeneging tot Natuurbescherming yang Anggaran Dasarnya disahkan oleh pemerintah pada tanggal 3 Februari 1913 di Bogor. Perkumpulan ini diberi hak sebagai hukum. Ketuanya ditunjuk Dr. SH Koorders dan teman sejawatnya Houtvester C. Van dengan Bussche yang menjadi sekretarisnya.

Tanggal 31 Maret 1913, perkumpulan ini mengajukan permohonan pada pemerintah agar 12 lapangan dijadikan perlindungan alam. Di antaranya Kawah Ijen agar segera dijadikan cagar alam dan tidak terusik, Pulau Krakatau, Semenanjung Ujung Kulon, Kawah Papandayan, Laut Pasir Bromo, Semenanjung Purwo, Pulau Nusa Barung serta beberapa danau
di Banten.

Dalam waktu yang bersamaan, perkumpulan ini juga mengajukan permohonan pada Hoofdinspecteur Bpschwezen, agar segera bertindak guna melindungi lapangan tersebut secara lestari. Sudah tentu hal tersebut tidak begitu saja dikabulkan, mengingat luas lahan yang diinginkan Semenanjung Kulon yang mencapai 37.500 hekcar.

Sambil menunggu jawaban dari pemerintah, perkumpulan tersebut tidak tinggal diam. Pada tahun 1913 didirikanlah cagar alam yang pertama di luar pulau Jawa. Atas permohonan perkumpulan ini, Residen Ambon akan mencagarkan sebidang hutan muda di atas Gunung Batu Gajah dekat Ibu Kota Ambon. Daerah ini diberi nama Cagar Alam Rumphius, guna mengenang peneliti cagar alam George Everhard Rumphius (1628-1702).

Tahun 1915, pertama kalinya dilindungi tempat tumbuh tanaman Rafflesia Arnoldi di Bengkulu. Dalam waktu yang sama, Gubernur Aceh di Tanah Gayo juga melindungi tanaman ajaib ini.  

Bulan Marat 1916 dikeluarkanlah Staatsblad no. 278 yang memuat beberapa ketentuan guna melindungi cagar alam Hindia Belanda (waktu itu), sehingga memungkinkan menunjuk daerah tertentu sebagai cagar alam. Sepanjang cagar alam tersebut terletak di hutan negara, ia berada di bawah pengawasan pegawai Kehutanan yang memangku distrik hutan atau memangku KPH. Dengan turut campurnya pemerintah secara langsung terhadap cagar alam, maka perkumpulan tidak dapat lagi menangani secara langsung. Pihak perkumpulan hanya dapat mengusulkan ke pemerintah atas daerah yang akan dicagarkan.

Perkembangan selanjutnya sangat menggembirakan Pada tahun 1919 keluarlah surat keputusan yang memutuskan tidak kurang dari 55 lapangan menjadi daerah cagar alam.[]


Publish: Koran Jaya Karta (16/1/1992)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Guru Honorer PAI di Sumenep tidak Terurus

Catatan: Yant Kaiy Tidak adanya rekrutmen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) bagi guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di lingkungan Dinas Pendidikan Sumenep, menambah panjang penderitaan mereka. Karena harga dari profesi mulia mereka sebagai pendidik dibayar tidak lebih dari Rp 300.000,- per bulan. Rupanya pihak pemangku kebijakan masih belum terketuk hatinya untuk mengangkis mereka dari lembah ketidak-adilan. Sekian lama guru PAI terjebak di lingkaran mimpi berkepanjangan. Impian para guru PAI ini untuk menjadi PPPK menyublim seiring tidak adanya jaminan kesejahteraan. Namun mereka tetap berkarya nyata walau kesejahteraan keluarganya jadi taruhan. Mereka tetap tersenyum mencurahkan keilmuannya terhadap murid-muridnya. Animo itu terus bersemi karena ada janji Allah, bahwa siapa pun orang yang mendermakan ilmu agamanya, maka jaminannya kelak adalah surga. Barangkali inilah yang membuat mereka tidak bergolak dalam menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak turu

Panji Gumilang Pesohor Akhir Kekuasaan Jokowi

Catatan: Yant Kaiy Emosi rakyat Indonesia berpekan-pekan tercurah ke Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun, Panji Gumilang. Episode demi episode tentangnya menggelinding bebas di altar mayapada. Akhirnya, lewat tangan-tangan penguasa ketenangan dan kenyamanan Panji Gumilang mulai terusik. Telusur mereka berdasar pernyataan dirinya tentang beberapa hal yang dianggap sesat oleh sebagian besar umat Islam di tanah air. Cerita tentangnya menenggelamkan beraneka berita krusial dalam negeri. Isu ketidakadilan, kasus besar menyangkut hajat hidup orang banyak menyublim di dasar laut Al Zaytun. Banyak orang bertanya-tanya, seberapa perkasa Panji Gumilang di mata hukum Indonesia. Ia bertakhta atas nama kebenaran walau kadang berseberangan jalan dengan organisasi Islam yang ada. Mungkin baginya, berbeda itu indah. Sekarang tugas penguasa menyembuhkan suasana negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Tidak ada nilai tawar.[] - Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com

SDN Panaongan 3 Layak Menyandang Predikat Sekolah Terbaik di Pasongsongan

Agus Sugianto (kanan) bersama Kepala Dinas Pendidikan Sumenep Agus Dwi Saputra. [Foto: Sur] apoymadura.com  - SDN Panaongan 3 terletak di Dusun Campaka Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Lokasinya masuk pelosok dengan jalan rusak ringan. Warga masyarakatnya sebagai besar bekerja di ladang sebagai petani. Musim penghujan mereka bercocok tanam jagung. Musim kemarau masyarakat lebih banyak menanam tembakau.  Ada pula sebagian dari mereka merantau ke kota lain. Bahkan ada yang bekerja di Malaysia, mengadu peruntungan agar kesejahteraan hidup lebih baik. Etos kerja warga masyarakat cukup tinggi. Mereka sadar, putra-putri mereka paling tidak harus punya pondasi keilmuan yang cukup. Agar dalam mengarungi hidup lebih indah, sesuai impiannya. Kendati perekonomian mereka rata-rata lemah, namun masalah pendidikan anak-anaknya menjadi sebuah prioritas. Karena mereka sadar, hidup bahagia itu lebih lestari dengan ilmu. Mereka menginginkan pendidikan putra-putrinya ke tingkat p