Langsung ke konten utama

Mencermati Potensi Desa Pasongsongan


Opini: Yant Kaiy
Pasar menjadi tolak ukur sebuah wilayah tentang pasang-surutnya perekonomian masyarakat. Geliat itu pasti terlihat nyata, apakah suatu wilayah arus uang masuk dan keluar itu lamban atau cepat. Biasanya pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat dinilai bagus jika arus uang mengalir cepat, plus dengan berdirinya pusat-pusat perbelanjaan lengkap dengan pembeli ramai setiap harinya.

Segala kebutuhan hidup masyarakat cukup tersedia, sehingga pembeli akan tumpek-blek di areal tersebut. Tidak kemana-mana. Perputaran uang masyarakat tidak keluar. Justru dari luar masuk kedalam. Ini membuat perekonomian daerah tersebut mengalami kemajuan menggembirakan.

Selama ini Desa Pasongsongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep identik dengan hasil tangkap ikan terbesar di wilayah Madura. Tapi dengan tidak adanya pengolahan ikan menjadikan Desa Pasongsongan hanya sebagai persinggahan orang luar. Masyarakat di situ hanya sebagai pelaku, sedangkan orang luar yang menikmati keutungan besar dari kegiatan perikanan.

Ini tak membuat kemajuan berarti bagi masyarakat itu sendiri. Tak ada manuver yang bisa merubah perekonomian tambah maju, malah terkesan stagnan. Tidak ada tanda-tanda pertumbuhan yang membuat masyarakatnya bertambah sejahtera. Sungguh sangat disayangkan.

Sedangkan para juragan perahu tetap terpaku pada hasil tangkap ikan saja yang semua itu bergantung pada nasib baik dan bersandar pada musim. Para juragan perahu seolah tidak punya inspirasi bagaimana dirinya tetap survive disaat perahunya tidak membawa pulang ikan.

Sejatinya mereka tidak mengandalkan income dari hasil tangkap ikan saja. Sebab kalau begitu sang juragan akan jatuh miskin kalau perahunya tidak mendapatkan hasil tangkap ikan. Lantaran perahu yang berangkat melaut itu membutuhkan bahan bakar solar dan beberapa kebutuhan lainnya yang tidak sedikit. Perlu diketahui, dalam satu perahu biasanya ada 17 orang.

Nelayan
Nelayan Pasongsongan juga tidak punya jaminan masa tua menggembirakan. Penulis perhatikan selama ini mereka bergantung pada hasil tangkap ikan saja. Masa depannya buram. Tak ada harapan sejahtera. Ia pasrah.

Umumnya para nelayan dalam bekerja seperti ayam. Kalau mereka tidak melaut otomatis mereka tak punya uang. Kalaupun melaut itu juga tidak pasti. Kerja hari ini, besok harus cari lagi selamanya terus begitu. Kapan ia akan punya aset yang dapat dimanfaatkan kelak kalau sudah tidak bekerja lagi.

Romantika kehidupan nelayan seperti ini sepantasnya menjadi pemikiran bagi semua pihak agar nasib masa tuanya tetap sejahtera. Tentu pemangku kebijakan adalah kaum intelektual yang punya solusi dan aksi dalam menyikapi kepahitan ini. Warga Desa Pasongsongan mengharapkan sebuah wujud nyata. Misalnya dengan menghidupkan koperasi nelayan yang ada yang selama ini tak beroperasi.

Juragan Perahu
Sangat disayangkan juraga perahu di Pasongsongan belum ada yang mau berinovasi dalam bisnis lain. Mereka seakan tetap berkutat pada bisnis satu saja. Kekayaan yang mereka dapat tidak dimanfaatkan sebaik mungkin untuk memakmurkan dirinya sendiri, apalagi orang lain. Sehingga terkesan mereka hanya kaya sendiri.

Tidak semuanya juragan perahu itu sukses. Ada juga juragan yang terjebak pada pihak rentenir yang akhirnya aset perahunya perlahan ludes. Ia pun masuk jadi kategori OMB (orang miskin baru).

Kalau saja ia mau berimprovisasi dalam bisnis lain, jelas dirinya akan semakin sejahtera. Paling tidak mereka akan bisa bertahan dalam posisi yang sama. Tidak terdegradasi begitu dalam. Orang lain jadi kecipratan juga.

Kita memang tidak bisa menyalahkan mereka, sebab mereka masing-masing punya pandangan berbeda tentang bisnis. Mereka tentu tidak bisa memaksakan diri. Fenomena yang hingga saat ini masih terjadi di Desa Pasongsongan dan imbasnya cukup signifikan bagi perekonomian masyarakat luas.

Kalau tidak memiliki skill berbisnis mapan tentu mereka akan tergilas waktu yang justru akan merugikan dirinya sendiri.

Memanfaatkan Potensi
Potensi kelautan yang dimiliki Pasongsongan dari hasil tangkap ikan sungguh luar biasa. Sangat dahsyat. Pemanfaatan potensi ini semestinya tegak lurus dengan hajat hidup orang banyak. Memang harus ada ide brilian ke arah yang lebih baik agar para nelayan hidupnya lebih cerah.

Tuhan Maha Bijaksana, Pasongsongan yang memiliki potensi hasil laut melimpah tidak diiringi dengan hasil bumi yang bagus. Karena Desa Pasongsongan tidak memiliki lahan pertanian mumpuni. Tanahnya cenderung berlembah dan berbatu kapur. Mayoritas penduduk desa ini pekerjaannya sebagai nelayan.

Sejatinya pemangku kepentingan yang memiliki bugdet bisa mentransformasi Desa Pasongsongan menjadi pusat pengolahan hasil laut sebelum ikan-ikan mentah dilempar ke pasar luar daerah. Harga stabil yang tidak menjebloskan nelayan ke lembah jurang kemiskinan akan membuat mereka merasa diberdayakan. Barangkali inilah yang tergolong kebijakan publik berkeadilan.

Pemanfaatan potensi menjadi solusi agar tidak terus berputar dalam satu lingkaran. Semua orang menghendaki kesuksesan dengan mengembangkan bisnisnya lebih luas. Kalau tidak begitu, maka rival bisnis yang sama akan menggilasnya seiring waktu karena tidak ada inovasi yang membuatnya survive. Paling tidak begitu hukum bisnis yang terjadi di banyak tempat.

Daya Beli
Ditelisik dari daya beli masyarakat warga Desa Pasongsongan sebenarnya lumayan tinggi. Tapi sayangnya tempat perbelanjaan representatif yang mengakomodir semua kebutuhan masyarakat boleh dibilang kurang. Misalnya apotek. Di Desa Pasongsongan  hingga saat ini (April 2020) belum memiliki apotek. Ini sangat ironis.

Hal ini mendorong warga lokal berbelanja obat yang harganya hanya Rp 10 ribu ke tempat lain (luar Desa Pasongsongan). Dengan menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya. Di lokasi apotek mereka akan berbelanja lainnya.

Pernak-pernik “kekecewaan” ini secara psikologi akan mengurangi kebanggaan terhadap daerahnya sendiri. Ini salah satu faktor pemicu cukup fatal yang tidak boleh dibiarkan tumbuh dan berkembang pada generasi selanjutnya.

Kalau sudah demikian akan terjadi pengalihan modal usaha ke tempat lain secara masif. Ini akan benar-benar membuat roda bisnis di Pasongsongan menjadi kurang baik. Biasanya seorang pengusaha akan mau berinvestasi di lokasi strategis dengan prospek menjanjikan. Semua orang yang berpikir normal tentu demikian.

Masih Ada Kans
Membangun roda bisnis di Desa Pasongsongan sebenarnya tidak terlalu sulit. Kuncinya adalah sinergitas atara pengusaha dan pembeli. Sedangkan pihak pemerintah desa menjadi motivator dan mediator agar terjadi satu bentuk akselarasi demi terwujudnya impian bersama.

Gambaran simpelnya begini. Penguasa di desa mendorong warganya untuk berbelanja ke pedagang lokal. Sedangkan pedagang dimotivasi untuk mengambil keuntungan sedikit. Atau bisa jadi membangkitkan sentra usaha kecil dan menengah. Hasil produknya disalurkan kepada koperasi. Warga desa dianjurkan membelinya.

Solusi ini bisa jadi alternatif. Yang dibutuhkan adalah komunikasi intens sehingga jalinan kerja sama berjalan lancar, tak menemukan batu sandungan.

Selain penghasil ikan terbesar di Madura, desa yang berbatasan langsung dengan Desa Bindang Kecamatan Pasean Kabupaten Pamekasan ini, jika potensi itu bisa digarap apik tentu nantinya akan ada potensi lain yang terpendam selama ini yang bisa menggairahkan roda usaha masyarakat. Maka dengan sendirinya sumber daya alam lainnya akan juga mendongkrak eksistensi potensi yang ada.

Tapi memang ada beberapa komunitas yang pesimis terhadap program ini. Kelompok kecil ini sebenarnya bisa diajak berdiskusi bersama dalam satu forum. Menyatukan visi dan misi demi kebangkitan dan kejayaan Desa Pasongsongan seperti di era kaum etnis Cina berjaya menjadi pelaku bisnis.

Harapan itu terhampar lebar. Masih ada waktu untuk berbuat. Tinggal warga Desa Pasongsongan sendiri, mau berubah apa tidak.[]


Yant Kaiy, penjaga gawang apoymadura.com.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Guru Honorer PAI di Sumenep tidak Terurus

Catatan: Yant Kaiy Tidak adanya rekrutmen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) bagi guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di lingkungan Dinas Pendidikan Sumenep, menambah panjang penderitaan mereka. Karena harga dari profesi mulia mereka sebagai pendidik dibayar tidak lebih dari Rp 300.000,- per bulan. Rupanya pihak pemangku kebijakan masih belum terketuk hatinya untuk mengangkis mereka dari lembah ketidak-adilan. Sekian lama guru PAI terjebak di lingkaran mimpi berkepanjangan. Impian para guru PAI ini untuk menjadi PPPK menyublim seiring tidak adanya jaminan kesejahteraan. Namun mereka tetap berkarya nyata walau kesejahteraan keluarganya jadi taruhan. Mereka tetap tersenyum mencurahkan keilmuannya terhadap murid-muridnya. Animo itu terus bersemi karena ada janji Allah, bahwa siapa pun orang yang mendermakan ilmu agamanya, maka jaminannya kelak adalah surga. Barangkali inilah yang membuat mereka tidak bergolak dalam menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak turu

Panji Gumilang Pesohor Akhir Kekuasaan Jokowi

Catatan: Yant Kaiy Emosi rakyat Indonesia berpekan-pekan tercurah ke Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun, Panji Gumilang. Episode demi episode tentangnya menggelinding bebas di altar mayapada. Akhirnya, lewat tangan-tangan penguasa ketenangan dan kenyamanan Panji Gumilang mulai terusik. Telusur mereka berdasar pernyataan dirinya tentang beberapa hal yang dianggap sesat oleh sebagian besar umat Islam di tanah air. Cerita tentangnya menenggelamkan beraneka berita krusial dalam negeri. Isu ketidakadilan, kasus besar menyangkut hajat hidup orang banyak menyublim di dasar laut Al Zaytun. Banyak orang bertanya-tanya, seberapa perkasa Panji Gumilang di mata hukum Indonesia. Ia bertakhta atas nama kebenaran walau kadang berseberangan jalan dengan organisasi Islam yang ada. Mungkin baginya, berbeda itu indah. Sekarang tugas penguasa menyembuhkan suasana negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Tidak ada nilai tawar.[] - Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com

SDN Panaongan 3 Layak Menyandang Predikat Sekolah Terbaik di Pasongsongan

Agus Sugianto (kanan) bersama Kepala Dinas Pendidikan Sumenep Agus Dwi Saputra. [Foto: Sur] apoymadura.com  - SDN Panaongan 3 terletak di Dusun Campaka Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Lokasinya masuk pelosok dengan jalan rusak ringan. Warga masyarakatnya sebagai besar bekerja di ladang sebagai petani. Musim penghujan mereka bercocok tanam jagung. Musim kemarau masyarakat lebih banyak menanam tembakau.  Ada pula sebagian dari mereka merantau ke kota lain. Bahkan ada yang bekerja di Malaysia, mengadu peruntungan agar kesejahteraan hidup lebih baik. Etos kerja warga masyarakat cukup tinggi. Mereka sadar, putra-putri mereka paling tidak harus punya pondasi keilmuan yang cukup. Agar dalam mengarungi hidup lebih indah, sesuai impiannya. Kendati perekonomian mereka rata-rata lemah, namun masalah pendidikan anak-anaknya menjadi sebuah prioritas. Karena mereka sadar, hidup bahagia itu lebih lestari dengan ilmu. Mereka menginginkan pendidikan putra-putrinya ke tingkat p