Kabut di Atas Tamansari
Cerpen: Herry Santoso *)
Padahal sebenarnya
Banowati sadar bahwa ia bukan seorang gadis lagi. Ia seorang permaisuri dari
seorang raja diraja di negeri yang besar, negara super power Hastinapura. Tetapi Banowati seolah berpaling dari
kenyataan itu, ia telah membohongi hatinya sendiri. Raganya di Hastina,
sedangkan jiwanya di Madukara tempat Harjuna berada.
"Mengapa Gusti
Ayu tampak galau, adakah yang bisa hamba haturkan ?" suara pembantunya
memutus lamunan sang dewi yang mengembara.
" Eh, Biyung
emban...." Banowati tergagap. Bibir yang sejak tadi terkatup rapat itu pun
bergerak malas. "Aku kangen Harjuna..." ucapnya lirih tanpa malu-malu lagi.
"O,o...tapi,
Gusti Ayu..."
" Tapi hidup
seperti aku ini, sesungguhnya bagaikan di tengah api neraka, Biyung Emban..."
"Lho...lho..."
"Apa artinya
hidup bergelimang harta, perhiasan yang gemerlap emas, intan, berlian, jika hati tidak merdeka ? Hatiku terpasung,
jiwaku terpidana, dan..."
" Dan itu
sudah merupakan konsekuensi logis dari
seorang permaisuri, Gusti Ayu...."
" Dengan hati
yang runyam, gersang, dan kerontang, seperti ini ?"
"Iya,
Gusti..." kata sang emban mencoba menjelaskan makna permaisuri.
"Sebab, permaisuri pada hakikatnya hidupnya sebesar-besarnya hanya untuk
Sri Paduka Raja, Sri Narendra Prabu Duryudana. Wanita di manapun dan apapun
kedudukannya telah kinodrat untuk
melayani, mengabdi, dan menyuguhkan jiwa raganya pada guru laki, pada sang suami Gusti...sebab..."
"Sebab itu
yang aku tidak suka !" tukas Banowati dengan suara bergetar, "Enak,
Sri Baginda. Kerjanya cuma urusan politik, sebentar-sebentar rapat, sidang
paripurna, konggres, menikmati hiburan, rapat lagi, sidang lagi, pulang-pulang ke peraduan sudah loyo,
langsung mengorok, sementara aku resah dan gelisah, terpanggang api
ketidakadilan ! Mana kalimat emansipasi buat wanita, manaaaa....?!"
teriaknya nyaris histeris. Selebihnya diam. Tak bergeming. Hanya suara isak
sang dewi yang kian memburu.
Senja berlari
menuju rembang petang. Rembulan purnama tampak tersenyum di kaki langit
cahayanya pecah di antara celah rerimbunan taman keputren. Angin berhembus atis
mengapungkan bau tanah setelah terguyur hujan, dan aroma bunga-bunga nan
semerbak dari taman nan kuyup.
"Harjuna
datang !!" tiba-tiba pekik Banowati tertahan begitu terdengar suara
ringkik kuda di luar tembok taman kaputren. Ia langsung menyentakkan daun pintu
dan menghambur ke luar gazebo.
Benar dugaan si
emban. Bayangan satria Madukara itu berkelebat masuk taman. Tampak dari sinar
rembulan Banowati menggelayuti lengannya. Harjuna mengendap-endap membimbingnya
di antara rerimbunan bunga-bunga, hilang ditelan gulita dan keremangan sudut taman. Malam pun merintih...
***
" Nuwun, Kakang Mbok Banowati, hamba
diutus Sri Baginda, agar andika menghadap
Sri Narendra sekarang juga..." sembah Kartamarmo, sang adik ipar.
"Sekarang ?
Lewat tengah malam begini ?" mata Sang Dewi membelalak.
"Iya, Kakang
Mbok...."
"Lalu apa yang
kulakukan di sana nanti ?"
"Eh...mmm....menemani Sri Baginda Raja Duryudana untuk minum
sembari menonton tarian indah di balerung..."
"Tarian striptiase, maksudmu ?" hardik
Banowani marah. Kartomarmo tertunduk.
"Dasar raja
angkara !" desisnya lagi. Tetapi ia pun tetap patuh. Dicarinya mantel
tebal dan menangkupkannya ke tubuhnya yang semampai. Seraya melingkarkan sal
sutera di lehernya yang jenjang. Ia pun melangkah anggun menuju datulaya.
Malam kian
beringsut. Bumi tetap berlari seolah membawa luka di punggungnya ketika Sang
Dewi melihat para priyagung dan pangeran
pati berdansa ria bersama wanita-wanita penghibur. Ya, di antara aroma
alkohol dan whisky yang menyengat di dada.
Banowati bercucuran
airmata. Dengan sempoyongan dan dibantu sang emban mendukung tubuh suaminya
yang tinggi besar mabuk berat menuju peraduan, seraya dihempaskannya tubuh
suaminya di tilamsari, sebelum membanting daun pintu dari luar kamar.
Banowati menggigit
bibirnya. Bahunya naik turun menahan isak. Malam kian bergegas menuju ambang
fajar. Ada rembulan temaram tersamput mega, sang dewi tertidur di lantai,
kelelahan menyanggah beban hatinya….
***
Perang besar
Baratayuda telah usai. Semua keluarga besar Pandawa boyong ke Hastinapura. Ada
kebahagiaan yang sempurna setelah lahir putra Abimanyu dengan Dewi Utari.
Jabang bayi itu diberi nama Parikesit. Banowati sebagai putri boyongan kini diberi pengampunan. Ia
diberi tugas sebagai pengasuh si orok yang baru lahir itu.
"Sudahlah,
Sang Dewi, jika paduka ingin tidur silakan !" ujar seorang emban pada
Banowati, setelah dilihatnya sang dewi itu terkantuk-kantuk selepas dini hari.
"Tidak, Biyung
Emban, kurasa aku masih bisa bertahan dari rasa kantuk yang mendera ini…" balasnya dengan suara agak
parau. Wajahnya tampak kusut dengan mata sayu. Rupanya Banowati kelelahan
setelah berhari-hari menjaga jabang bayi di tamansari.
Di luar tembok
istana ada sepi menggigit. Malam terus berlari seakan membawa luka di
punggungnya. Bumi pun berderit dan menjerit dalam cahaya rembulan pucat
temaram. Ada suara longlongan srigala di kejauhan, sepertinya menebar angin
beraroma anyir darah pasca perang di padang Kurusetra.
Ya, sisa-sisa
perang memang masih terasa mencekam. Masih banyak perajurit yang lari masuk
hutan. Atau serdadu yang terluka di barang husada atau balai pengobatan. Juga
tangisan bocah yatim piatu kehilangan ayah dan ibunya. Atau para janda
perajurit yang masih meratapi lelakinya gugur di medan laga. Belum lagi
hancurnya berbagai bangunan serta inprastruktur seperti jembatan, tempat
peribadatan, perkantoran pemerintah,
juga rumah-rumah penduduk yang terdampak kebrutalan perang. Sungguh
menyayat hati.
Namun di antara
sepinya malam itu, diam-diam ada berkelebat dua sosok bayangan meniti tembok
benteng yang melingkari tamansari. Kemudian bayangan misterius itu pun terjun
bagaikan tupai berjalan mengendap-endap mendekati pendapa agung.
"Yang
tergolek di lantai itu siapa, Raden ?" bisik Aswatama.
"Melihat
pustur tubuhnya, itu Banowati." jawab Kartamarma mendesis. Giginya
gemerlatuk geram melihat sosok mantan ibu negara yang mengkhianati bangsa
Hastinapura itu.
"O, o…"
gumam Aswatawa.
"Kenapa
?" tanya Kartamarma.
"Lama
terpendam dendam kesumat di hati hamba, Raden, "
"Maksudmu
?"
"Masih sakit
hati ketika hamba dikatakan satria banci,
keturunan kuda. Hem…" geramnya lagi dibakar emosii. Amarahnya pun
naik ke ubun-ubun.
" Terus, maumu
?"
"Biar hamba
yang membereskan si "pelacur" kelas tinggi itu ! "
" Lakukanlah !
" tegas Kartamarma merestui.
Keduanya tahu,
rupanya rapalan ajian sirep kelas tinggi yang pasang putra mendiang Begawan
Durna itu benar-benar merasuki tibuh seluruh penghuni datulaya. Dan dengan
percaya diri keduanya masuk ke taman pendapa keputren. Aswatama begitu sigap ia
secepat kilat merengkuh tubuh Banowati serta-merta membopongnya ke tengah
gulita malam. Gila, dengan beringas dirobek-robek kain yang melekat di tubuh
bekas permaisuri itu. Iblis sepenuhnya
merasuki aliran darah dan benak laki-laki muda berambut gimbal sebahu
itu. Ia pun dengan biadab memerkosanya setelah mencekik dang dewi. Ia
menyeringai penuh kepuasan seraya menghujamkan ujung pusaka cundhamanik tepat di jantung Banowati.
Darah segar muncrat membasahi malam jahanam.
Aswatama menyusul
Pangeranpati Kartamarma yang tak kalah sadis menghabisi Srikandi dan Larasati.
Lalu dengan leluasa mendekati boks bayi. Melihat ada orang datang kaki bayi itu tampak menerjang-nerjang kegirangan
dikira aka diberikan air susu. Tak ayal terjangan kaki bayi itu pun menyegol gendewa pasopati yang diipasang oleh Harjuna
kakeknya sebagai pengaman. Melesatlah
pusaka sakti itu menyambar leher
Kartamarma tewas seketika.
Aswatama panik.
Membarengi seluruh penghuni istana yang terjaga dari pengaruh ajian sirepnya.
"Maliiiing….maliiing….!" gegerlah seisi istana. Harjuna
mengamuk tatkala melihat korban
bergelmpangan di sana-sini. Dikejarnya Aswatama putra gurunya itu, seraya
ditebaslah lehernya dari belakang hingga putus seketika. Kepala Aswatama menggelinding
di tanah berdebu menyambut datangnya pagi.
Sinar mentari pun
mulai muncul. Perlahan kabut pekat menguap di kotaraja. Ada duka yang dalam
merebak. Kabut hitam memayungi tamansari. Para sekar kedaton gugur sebagai
tumbal bumi leluhur yang berhasil direbut kembali ke pangkuan Pandawa…. ***
--------------------------
Blitar, 7 Mei 2020
*) Alamat penulis :
Herry Santoso, Jln. Abadi
No. 31
Nglegok, Blitar, Jawa
Timur 66181
Email :
herisantoso5959@gmail.com Hp. 081252065959
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.