Langsung ke konten utama

Hardiknas: Guru Honorer di Tengah Covid 19, Apa Kabar?

Terima Kasih Guru (Selamat Hari Pendidikan Nasional)
Get Google
Opini: Herry Santoso *)
Tentang nasib guru honorer (GTT) di tengah pandemi Covid 19 seakan  tidak pernah tercover : apakah mereka masih berdenyut ?  Sebab nasib GTT di negeri ini tidak
lebih mulia daripada pembantu rumah tangga (PRT). Kenapa?  Untuk jadi guru honorer (GTT) harus berijasah S1 linier, akan tetapi upahnya jauh jika dibanding emak-emak yang jadi "pramuwisma" (untuk tidak menyebut babu) yang ijasahnya nggak jelas. Bahkan menjadi pembantu rumah tangga di luar negeri dapat perlindungan dari LPBMI (Lembaga Perlindungan Buruh Migran Indonesia), sementara jadi guru honorer tidak dapat perlindungan peraturan perundang-undangan secuilpun. Memang, terakhir ada regulasi dari Kemendikbud Nadiem Makarem bahwa dana bantuan operasional sekolah (Bos) dapat digunakan sebesar-besarnya 50% untuk menggaji (baca : mengupah) GTT. Sungguhpun begitu hal tersebut masih menjadi "kalungan puisi indah". Lagi pula dengan dikuranginya 50% saya percaya anggaran belanja sekolah bisa "amburadul".

Kadang GTT sok jadi bahan ledekan , "orang utan di kebun binatang saja dilindungi oleh undang-undang, sedangkan guru honorer tidak sama sekali". Pembantu rumah tangga di beberapa negara di luar negeri bahkan mengganggap pembantu sebagai "partner ship"  dari majikannya, bukan "babu" lagi. Memang masih ada kasus pelecehan terhadap buruh migran seperti pencabulan, perkosaan,  persekusi, atau bullyng, namun hal tersebut bersifat kasuistis.

Kembali pada nasib guru honorer di Indonesia, sungguh  "tidak manusiawi". Tuntutan kerjanya tidak jauh beda dengan guru PNS, akan tetapi untuk guru honorer tidak memiliki sistem penggajian (upah) yang jelas. Padahal guru honorer adalah termasuk pegawai profecional-skilled yang bekerja berdasarkan kemahiran individu (kompetensi) dan benar-benar teruji. Buktinya ketika ada uji kompetensi guru secara online, nilai rata-rata GTT selalu di atas guru ASN. Sehingga jika kemudian nasib guru honorer bekerja tanpa aturan penggajian dan perlindungan yang jelas itu sama halnya pelanggaran hak asasi manusia.  Sebab bagaimanapun juga, guru honorer justru sebagai garda depan dalam memberantas kebodohan. Guru honorer secara kualitas lebih  kompentensif dibanding guru ASN (terutama) yg sudah memiliki usia lanjut (senior). Guru honorer lebih kompeten di bidang IT, atau yg berhubungan dengan cyber bahkan teknik mengajar modern (inovatif) pun, GTT lebih skilked. Sementara guru ASN yg senior umumnya mengalami "gaptek". Inilah suatu bukti bahwa guru honorer layak mendapat apresiasi  khusus dari pemangku kebijakan dan regulasi. Pemerintah sebagai pemegang kartu political will harus segera menyelesaikan dilematika guru honorer tersebut karena selama ini pemerintah telah terbantu oleh etos kerja dan kebesaran jiwa guru honorer.

GTT dan Covid 19

Di tengah merebaknya Covid 19, GTT adalah institusi yang paling menderita. Ketika sekolah tutup dan guru kerja dari rumah, GTT kian terpinggirkan lantaran bisa-bisa tidak diberi honor. Sebab kondisi keuangan negara mengalami stagnasi gegara perekonomian nasional "zero growth" (tanpa pertumbuhan). Untuk pemberian THR dan Gaji 13 saja terengah-engah, bahkan THR untuk ASN eselon 1 dan 2 ditiadakan. Ini jelas kondisi emergency yang tidak bisa ditutup-tutupi. Sehingga nasib GTT di tengah pandemi sangat memprihatinkan. Ini seharusnya yang harus menjadi perhatian pemerintah. Sebab bagaimana pun posisi GTT sangat signifikan di tengah Covid 19. Merekalah yang membuat naskah soal untuk murid-muridnya saat belajar di rumah, atau mengakomodir kegiatan perkelas saat terjadi PSBB.

Kalau guru ASN masih punya harapan, dan tercover oleh regulasi tetapi untuk GTT hanya bergantung pada "welas asih" seorang pimpinan sekolah. Seharusnya (paling tidak) pemerintah daerah  memberikan stimulus di saat guru tidak tetap ini menggantungkan nasibnya pada fatamorgana.

Posisi Tawar yang Lemah

Guru honorer ternyata memiliki pisisi tawar ( bargaining potition ) yg lemah sungguhpun secara kuantitatif jumlahnya cukup besar. Jumlah guru honorer di Indonesia dlm kisaran antara 1,5 - 2juta, akan tetapi seolah terserimpung oleh *etik, estetik, dan moralitasnya sebagai pendidik* yaitu mitos "pahlawan tanpa tanda jasa" sehingga tabu baginya untuk menuntut hak misalnya minta honor yg layak. Dari sinilah akhirnya  guru honorer masih kerap pula disebut *guru sukarelawan* (sukwan). Kata *sukarela* itulah yg menjadikan guru honorer tetap dipandang sebelah mata oleh pemangku regulasi, bahkan dikatakan guru elegal sebagaimana yg diucapkan oleh Bupati Garut beberapa waktu laku yg pada gilirannya menjadi pemicu demo guru honorer di mana-mana !  Bayangkan masih tidak sedikit guru honorer dg masa kerja 10 - 15 tahunan cuma berhonor Rp 300 ribu/bulan, itupun kalau ingin mengundurkan diri nggak ada yg nggandoli. Ironis.


Diangkat CPNS

Sebagaimana pernyataan Mendikbud Muhajir dulu, bahwa guru honorer bisa menutup kekurangan guru PNS di Indonesia. Paling tidak mengganti guru PNS yg pensiun, terutama yg sudah nengabdikan diri puluhan tahun. Akan tetapi tidak semudah itu, sebab Undang-undang No.5/2014 tentang Aparat Sipil Negara (ASN) mewajibkan untuk bisa diangkat nenjadi PNS/ASN harus seleksi. Akibatnya banyak guru honorer yg sudah berusia tua menjadi putus asa lantaran merasa dilecehkan oleh peraturan perundang-undangan yg bersifat otoriter dan dogmatis tak berperikemanusiaan. Agaknya pemangku regulasi lebih berpikir pada reformasi berokrasi ketimbang unsur-unsur humanistis dan kemanusiaan.

Padahal jumlah guru honorer yg menggantungkan impiannya untuk bisa terangkat jadi PNS semakin membengkak. Meski di beberapa daerah ada edaran dari gubernur/bupati/walikota untuk tidak menerima lamaran guru honorer/GTT, akan tetapi surat edaran tersebut hanya bersifat imbauan, bukan suatu keharusan. Diterima dan tidaknya lamaran baru guru honorer tetap *bergantung pada kepala sekolah* bukan urusan pejabat/kepala wilayah. Fenomena itulah yg membuat kuantintas guru honorer semakin hari kuan membengkak.
"Guru bukan PNS di sekolah negeri 735,82 ribu orang dan guru bukan PNS di sekolah swasta 798,2 ribu orang," ujar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (saat itu) Muhadjir Effendy saat menghadiri Rapat Kerja Gabungan Komisi I,II,IV, VIII, IX, X, dan XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung DPR.

Muhadjir juga menyatakan jumlah tenaga guru honorer K2 saat ini mencapai 1,53 juta orang, dari jumlah guru keseluruhan sebanyak 3,2 juta orang. Menurut dia, banyaknya jumlah tenaga guru honorer disebabkan oleh kurangnya tenaga pengajar berstatus PNS di Indonesia. Saat ini, Indonesia kekurangan guru berstatus PNS sebanyak 988.133 orang.

Ilustrasi dari kementerian di atas apakah masih berlaku sampai di era Nadiem Makarem ? Seharusnya pemerintah untuk secepatnya menerbitkan peraturan baru misalnya Keppres, jika sulit merubah Undang-undang No.5/2014.  Saya kira hanya Keppres satu-satunya celah yg bisa mengakomodir kepentingan guru honorer. Krusialitas perjuangan guru honorer dlm upaya merubah nasib tersebut tentu akan semakin pelik jika aksinya (seperti turun jalan) tidak mendapat respons dari institusi di setiap lini atau, dan dinas pendidikan. Sebab apabila misalnya pemerintah "dipaksa" untuk mengangkat seluruh guru honorer dari tingkat TK - SMA, maka setiap tahunnya paling tidak dibutuhkan dana sebesar  Rp 40-60 triliun. Besaran anggaran senominal itu jelas sulit didapatkan di saat perekonomian nasional stagnan karena  pandemi atau pasca-pandemi sekalipun.

Dari potret di atas, nasib guru honorer tetap berada di pusaran "dilematika"   dan seakan  menghitung suara tokek di bubungan rumah : otok-otok tokek diangkat....tokek tidak diangkat....tokek diangkat....tokek..... Tetapi sungguhpun demikian, pemerintah harus memikirkan nasib guru honorer misalnya pemberian stimulus di tengah pandemi, atau KIS, atau apapun nananya agar eksistensi guru honorer tidak padam dan harus tetap berdenyut. Ya, kalau tidak ingin nasib anak generasi ke depan berselimut gulita. Duh...***



( Penulis adalah pemerhati masalah sosial pendidikan,  tinggal di Blitar, Jawa Timur )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Guru Honorer PAI di Sumenep tidak Terurus

Catatan: Yant Kaiy Tidak adanya rekrutmen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) bagi guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di lingkungan Dinas Pendidikan Sumenep, menambah panjang penderitaan mereka. Karena harga dari profesi mulia mereka sebagai pendidik dibayar tidak lebih dari Rp 300.000,- per bulan. Rupanya pihak pemangku kebijakan masih belum terketuk hatinya untuk mengangkis mereka dari lembah ketidak-adilan. Sekian lama guru PAI terjebak di lingkaran mimpi berkepanjangan. Impian para guru PAI ini untuk menjadi PPPK menyublim seiring tidak adanya jaminan kesejahteraan. Namun mereka tetap berkarya nyata walau kesejahteraan keluarganya jadi taruhan. Mereka tetap tersenyum mencurahkan keilmuannya terhadap murid-muridnya. Animo itu terus bersemi karena ada janji Allah, bahwa siapa pun orang yang mendermakan ilmu agamanya, maka jaminannya kelak adalah surga. Barangkali inilah yang membuat mereka tidak bergolak dalam menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak turu

Panji Gumilang Pesohor Akhir Kekuasaan Jokowi

Catatan: Yant Kaiy Emosi rakyat Indonesia berpekan-pekan tercurah ke Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun, Panji Gumilang. Episode demi episode tentangnya menggelinding bebas di altar mayapada. Akhirnya, lewat tangan-tangan penguasa ketenangan dan kenyamanan Panji Gumilang mulai terusik. Telusur mereka berdasar pernyataan dirinya tentang beberapa hal yang dianggap sesat oleh sebagian besar umat Islam di tanah air. Cerita tentangnya menenggelamkan beraneka berita krusial dalam negeri. Isu ketidakadilan, kasus besar menyangkut hajat hidup orang banyak menyublim di dasar laut Al Zaytun. Banyak orang bertanya-tanya, seberapa perkasa Panji Gumilang di mata hukum Indonesia. Ia bertakhta atas nama kebenaran walau kadang berseberangan jalan dengan organisasi Islam yang ada. Mungkin baginya, berbeda itu indah. Sekarang tugas penguasa menyembuhkan suasana negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Tidak ada nilai tawar.[] - Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com

SDN Panaongan 3 Layak Menyandang Predikat Sekolah Terbaik di Pasongsongan

Agus Sugianto (kanan) bersama Kepala Dinas Pendidikan Sumenep Agus Dwi Saputra. [Foto: Sur] apoymadura.com  - SDN Panaongan 3 terletak di Dusun Campaka Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Lokasinya masuk pelosok dengan jalan rusak ringan. Warga masyarakatnya sebagai besar bekerja di ladang sebagai petani. Musim penghujan mereka bercocok tanam jagung. Musim kemarau masyarakat lebih banyak menanam tembakau.  Ada pula sebagian dari mereka merantau ke kota lain. Bahkan ada yang bekerja di Malaysia, mengadu peruntungan agar kesejahteraan hidup lebih baik. Etos kerja warga masyarakat cukup tinggi. Mereka sadar, putra-putri mereka paling tidak harus punya pondasi keilmuan yang cukup. Agar dalam mengarungi hidup lebih indah, sesuai impiannya. Kendati perekonomian mereka rata-rata lemah, namun masalah pendidikan anak-anaknya menjadi sebuah prioritas. Karena mereka sadar, hidup bahagia itu lebih lestari dengan ilmu. Mereka menginginkan pendidikan putra-putrinya ke tingkat p