Pengalaman Menulis Buku Sejarah


Hasil gambar untuk gambar hitam putih tentang tempat sejarah foto

Opini: Yant Kaiy
Banyak sekali tantangan dan rintangan yang dihadapi saya ketika menulis beberapa buku sejarah. Baik itu sejarah tokoh agama dan tempat-tempat bersejarah. Banyak waktu tersita karena tak jarang  tidak berjumpa dengan nara sumber dan pulang dengan tangan hampa. 

Dalam menyelesaikan buku sejarah, saya berkomitmen untuk sebisa mungkin bertatap muka dengan mereka. Demikian pula kehati-hatian saya dalam mendapatkan gambaran yang jelas lantaran nara sumber umumnya menggunakan Bahasa Madura sebagai penyampainya. Ini tentunya menjadi tantangan tersendiri karena bahasa daerah kalau diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia akan menjadi agak sedikit “kacau” ditambah lagi dengan intonasi dan aksentuasi pelafalan yang kadang berbeda makna dari kata yang diucapkan nara sumber.
               
Kehati-hatian saya dalam menyajikan buku sejarah dimaksudkan untuk menghindari nuansa labil pada sejarah itu sendiri. Bagaimanpun hal ini bertujuan untuk menjadikan sejarah tersebut lebih faktual dan aktual, tidak menjadikan sejarah itu bernilai bombastis. 

Sering juga saya mendapatkan nara sumber yang menggabungkan cerita mitos dan berbau klenik. Kendatipun demikian saya tetap mengakomodir segala bentuk cerita mereka dan mengeditnya untuk kenyamanan bagi semua. Tentu aspek-aspek tidak logis sengaja  dihindari agar tidak melahirkan polemik berkepanjangan, kendati sejarah di Madura umumnya ada karena proses perdebatan.
               
Silang pendapat dari sekian banyak nara sumber yang didapatkan tidak menyurutkan langkah saya dalam menyelesaikan beberapa buku sejarah. Bahkan tak jarang ada sebagian dari mereka yang dengan terang-terangan memberikan lampu merah, kalau bukan dari dirinya sebagai nara sumber, sejarah  itu salah semua dan hal itu akan menjadi kualat bagi penulisnya. 

Akan tetapi ada juga sebagian dari mereka yang terus menyalakan motivasi kepada saya, bahwa sejarah harus tetap bisa dihadirkan sepanjang sejarah itu tegak lurus dengan kenyataan sebenarnya melalui situs sejarah yang masih bisa ditelusuri. Apa pun itu akan tetap menjadi khasanah yang terus hendaknya digali untuk lebih mendekatkan pada kebenaran sejarah itu sendiri.
               
Energi semangat saya bertambah membahana ketika ada beberapa kalangan, semakin banyak versi (tentunya yang tidak menyimpang) buku sejarah tersebut akan semakin diminati oleh pembacanya, maka sesungguhnya itu sangatlah positif. 

Kenapa begitu? Karena hal yang demikian akan semakin meninggikan pamor sejarah itu sendiri. Tujuan lainnya sebagai wujud dari publikasi yang dengan sendirinya orang dari luar daerah banyak yang ingin lebih tahu dan lebih dekat mengenalnya.  

Bagaimana mungkin orang akan tahu banyak tentang  sejarah seorang tokoh atau tempat bersejarah kalau literatur yang seharusnya ada terberangus oleh hal-hal semacam sindrom momok menakutkan, kalau sejarah harus begini dan begitu, kalau tidak akan membuat petaka dari Tuhan kepada penulisnya.
               
Kadang saya tersenyum geli dibuatnya. Tetapi saya menganggap itu semuanya wajar, saya tetap berhusnudhan terhadap mereka yang memiliki persepsi miring. Batin ini percaya kalau mereka bertujuan agar saya berhati-hati dalam penyampaian tentang sejarah. Tidak sembarangan menulis. 

Saya harus memfilter beberapa kejanggalan yang tidak relevan dengan realita yang ada. Karena sejarah harus "higienis" dari mitos.

Terakhir saya ingin berpesan kepada siapa saja (terutama kepada nara sumber) untuk tidak egois mengaku keturunan orang paling hebat, paling istimewa, paling baik ketimbang orang lain karena dirinya merasa keturunan orang mulia. Saya juga sering menjadi nara sumber sejarah. Apabila ada perbedaan pendapat dengan pengamat sejarah, saya justru mempersilakan reporter/wartawan untuk mencari nara sumber lagi.

Saya tidak pernah sekalipun menjustifikasi bahwa saya sebagai nara sumber paling benar. Sebab  kebenaran hakiki itu datangnya dari Allah SWT. Kita boleh berdebat, tapi tidak boleh menghujat yang pada akhirnya memutus persaudaraan.

Memang dirinya saja yang keturunan orang hebat. Memang dirinya saja yang keturunan orang mulia. Bukankah ada nabi dan rasul seperti Nabi Muhammad SAW yang akhlaknya paling terpuji dan mulia. Beliau tidak ada bandingnya dengan umat sebelum dan sesudah beliau dari beberapa sisi, dan itu telah diabadikannya di Al-Qur’an.
               
Demikian pula dengan orang yang memiliki sejarah darah orang tidak terhormat, darah kaum pendosa.  Janganlah rendah hati atau kecewa, atau yang lebih ekstrem sampai menyesali telah dilahirkannya ke alam dunia ini. Masih banyak jalan menuju Roma. Masih ada kans bagi kita untuk meraih ladang luas maghfirah Allah SWT. 

Bukannkah Allah tidak pernah membeda-bedakan umat-Nya, hanyalah takwanya yang akan menyelamatkannya kelak di hari kiamat. Ya, bukan sejarah tentang keturunan yang nantinya menjamin seseorang masuk ke surga, melainkan amal perbuatannya yang dapat menempatkan sesorang masuk surga atau neraka. Semua bergantung kepada amal perbuatan manusia itu sendiri.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. 49: 13)
               
Ayat Al-Qur’an di atas secara gamblang dan tegas mendeskripsikan proses kejadian  manusia. Bahwa Allah menciptakan manusia  dari pasangan laki-laki dan perempuan. Kemudian dari pasangan tersebut lahir pasangan-pasangan lainnya. Dengan demikian, pada hakikatnya semua manusia sama kedudukannya.

               
Prinsip persamaan antar manusia ini juga dijelaskan di dalam sejumlah ayat-ayat Al-Qur’an, seperti di  surat An-Nisaa’/4:1, Al-A’raf/7:189, Al-Mu’min /40:67.  Lantas apakah yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya? Ayat di atas langsung menjelaskan dengan tegas, bahwa yang membedakan antar manusia yang satu dengan lainnya adalah takwanya. Artinya Allah tidak pernah membedakan manusia berdasarkan nasab (keturunan), warna kulit, suku atau bangsa, maupun tampang yang dimiliki oleh seseorang.

Maksud tulisan ini, intinya kita tidak boleh egois dan menang sendiri dalam melontarkan pendapat tentang sejarah itu sendiri. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Soa-soal Bahasa Madura Kelas III

Soal-soal Bahasa Madura Kelas IV SD

Madura Breaking News💥 BKN Resmi Tunda Pelaksanaan Seleksi PPPK Tahap II😭 Peserta Wajib Tahu😭🆘

KKG Gugus 02 SD Pasongsongan Gelar Rapat Rutin Bulanan

Praktik Korupsi BSPS di Sumenep Terungkap, Kades 🅱️🅾️ngkar Sistem Jual Beli yang Merugikan

Besok‼️ Penyerahan SK CPNS dan PPPK di Sumenep, Momentum Awal Pengabdian bagi Ratusan Calon ASN

Soal dan Kunci Jawaban Bahasa Madura PAS Kelas IV SD

Inspirasi Kepala Sekolah: Agus Sugianto Bangun Kedekatan dengan Murid SDN Panaongan 3😁

Workshop Deep Learning untuk Guru SD Pasongsongan👍👌 Tingkatkan Kualitas Pembelajaran🏆

Amazing‼️ SDN Panaongan III Buktikan Keterbatasan Bukan Penghalang Prestasi