Cahaya dari Langit: Astah Buju' Panaongan
Makam Astah Buju' Panaongan Kecamatan Pasongsongan-Sumenep |
SUMENEP, apoymadura.com - Astah Buju’ Panaongan terletak
di Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep Madura. Dari Kota Sumenep berjarak
35 kilometer ke arah barat utara. Kuburan penyebar agama Islam ini sekarang
menjadi alternatif wisata religi di Pulau Madura.
Alkisah, Astah
Buju’ Panaongan banyak diperbincangkan oleh beberapa nelayan sebelum ditemukan. Bahwa beberapakali di daerah Panaongan ada cahaya
yang turun dari langit kala malam tiba. Peristiwa ini berulangkali terlihat oleh beberapa nelayan Pasongsongan
dan para nelayan sekitarnya. Akan tetapi peristiwa itu tidak membuat mereka
punya inisiatif untuk menyelidikinya secara sungguh-sungguh.
Faktor yang pertama karena para nelayan tidak berani
mendekat ke bibir pantai lantaran di situ banyak batu karang. Itu sangat
membahayakan bagi keselamatan perahu dan penumpangnya.
Faktor yang kedua karena
para nelayan menganggap bahwa cahaya itu berasal dari kilatan cahaya lampu yang
menimpa suatu benda dan benda tersebut memantulkan cahayanya.
Faktor yang
ketiga karena kebanyakan para nelayan cukup jauh ada di tengah laut kalau menangkap ikan. Jarak
perahu mereka dengan pantai yakni sebatas mata memandang garis pantai atau bahkan
lebih jauh lagi. Jadi mereka merasa malas untuk mencari tahu cahaya apakah yang
turun dari langit tersebut.
Bahwa sesungguhnya peristiwa ini
sudah lama terjadi dan berulang-ulang. Seolah Allah mau memberitahukan kepada
semua orang kalau di situ ada sesuatu yang patut untuk diketahui. Sesuatu yang
menjadi cikal-bakal ditemukannya makam para tokoh agama Islam di belahan bumi Madura.
Pengalaman nelayan yang satu
dengan yang lain (berbeda
perahu)
hampir seragam, sama-sama pernah melihat cahaya itu pada malam yang sama dan
waktu yang sama pula. Para nelayan Pasongsongan melihat cahaya tersebut dengan
mata kepala sendiri, dengan mata telanjang.
Akan tetapi cerita cahaya yang
turun dari langit di pesisir pantai Panaongan hanya seperti embun pagi; lenyap
tatkala sang surya memancarkan sinarnya. Para nelayan Pasongsongan pulang dari
laut bercerita tentang cahaya tersebut hanya sekilas saja, keesokan harinya
mereka sudah melupakannya. Cerita itu reda dengan sendirinya lantaran sudah
terlampau sering terjadi.
Para nelayan tersebut lebih sibuk dengan hasil tangkapan
ikannya. Mereka tidak peduli lagi dengan itu semua. Bukankah prinsip ekstrem
kebanyakan nelayan Pasongsongan tersirat idiom; mereka lebih takut lapar dari
pada mati kelaparan.
Ada pula cerita kalau ada
seorang pemilik perahu di Pasongsongan yang
dililit hutang karena perahunya sudah lama tidak dapat hasil tangkapan ikan.
Maka juragan perahu tersebut mencari seorang kiai atau orang pintar untuk
meminta doa atau amalan-amalan. Juragan itu pergi ke sebuah kota di Jawa Tmur.
Ternyata apa lacur, kiai tersebut menyuruh sang juragan untuk pulang ke
Pasongsongan lantaran di sebelah timur Pasongsongan ada makam waliyullah yang
keberadaannya tertimbun pasir. Sang juragan di suruh ziarah kubur membacakan ayat-ayat
suci Al-Qur’an di atas pusaranya agar perahunya bisa pulang membawa ikan
setiapkali melaut.
Tapi sang juragan perahu
itu bingung, timbunan pasir yang mana
ada kuburannya. Permasalahannya pasir di pesisir pantai sepanjang jalan di Desa
Panaongan cukup panjang dan luas. Akhirnya sikap keingintahuannya dibiarkan
begitu saja, dipendamnya seiring waktu berlalu.
Sampai akhirnya, Imam Syafi’i (juru kunci Astah Buju’ Panaongan sekarang)
bahwa dirinya pada suatu malam pernah bermimpi. Di dalam mimpi tersebut
diterangkan bahwa di sebelah barat daya pohon siwalan ada cahaya turun dari
langit dan jatuh di atas pasir hamil (Bhs Madura: beddih se-ngandung).
Atas
hasil keterangan mimpi itulah, Imam Syafi’i mendatangi Haji Amiruddin yang tak
lain adalah saudaranya, ia bercerita kronologis mimpinya. Setelah itu mereka
berdua bermunajat kepada Allah SWT. dan kemudian mereka meyakini kalau
mimpinya adalah sebuah kebenaran yang
mesti ditindaklanjuti.
Dan itu merupakan isyarat meniscaya karena sudah banyak
cerita tentang turunnya cahaya dari langit tepat di atas pasir dekat pohon
siwalan dari beberapa nelayan. Maka setelah mereka bermusyawarah dengan pihak keluarganya,
lalu mereka memutuskan untuk melakukan penggalian di pasir hamil tersebut.
Imam Syafi’i dan Haji Amiruddin
dalam melakukan penggalian dibantu oleh tiga belas orang termasuk para
keponakannya. Bahu membahu mereka melakukan penggalian secara manual. Akhirnya
kerja membuahkan hasil.
Selama
penggalian enam malam. Dalam timbunan pasir dengan ketinggian kurang lebih 17,5
meter Astah Buju’ Panaongan ditemukan. Sangat menggemparkan. Pada saat itu jam
menunjukkan pukul 02.30 WIB, tanggal 13 September 1999, yang pertama kali
ditemukan pagar makam. Kemudian makam pojok timur daya yang nisannya bertuliskan
Nyai Ummu Nanti, Syekh Al’Arif Abu Said, lalu Syekh Abu Syukri yang mengeluarkan
aroma hajar aswad.
Nama-nama makam tersebut sudah tertulis di batu nisan dalam
bentuk kaligrafi. Sangat menakjubkan. (Yant Kaiy)
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.