NKRI Harga Mati Bukan Milik Segelintir Golongan
Catatan: Yant Kaiy
Gong
kompetisi politik di tanah air masih belum ditabuh. Namun aksi kampanye
terselubung mulai bermunculan. Hampir semua mulai pasang badan. Bertebaran
poster dan baliho di jalan-jalan strategis, satu tujuan menjaring animo
masyarakat.
Tidak
cukup disitu, wacana lewat platform media sosial mulai digerakkan. Digelembungkan
seelok mungkin agar orang percaya, bahwa dirinya is the best.
Kegiatan
bertema sosial jadi amunisi menggiring opini publik teraman baginya dan
kelompoknya. Janji-janji manis berbuih-buih, menggelinding kesegala elemen
masyarakat.
Sah-sah
saja mereka melakukan aksi ada udang di balik batu. Mereka akan berdalih, bahwa
apa yang diperbuat halal bagi norma hukum. Tidak menyalahi aturan. Sama halnya
dengan iklan, mereka berhak mempromosikan dagangannya.
Kekuatan
finansial membeli suara rakyat lewat slogan “peduli wong cilik” bukan lagi hal
tabu. Mereka tahu kalau masyarakat kita berjiwa miskin karena seringkali
ternina-bobokan beraneka warna bentuk bantuan. Rakyat susah disapih. Potensi
inilah jadi target utama mereka.
Setelah
terpilih menjadi bagian pemangku kebijakan publik, mereka mulai mengalkulasi
dana yang digelontorkan. Ampera (amanat penderitaan rakyat) tak lagi
digubrisnya. Mata-hatinya tumpul akan aspirasi orang kecil. Kepentingan
menguntungkan pribadi dan kelompoknya menjadi prioritas jangka panjang.
Jika
terendus, mereka berkelit. Kelompoknya melancarkan argumen serampangan, sebab
mereka berjamaah dapat bagi hasil uang haram.
Inilah
wajah pejabat publik kita saat ini. Mereka tak sadar, bahwa gajinya dari hasil
jerih-payah orang-orang teraniaya. Simpelnya, mereka makan kepada rakyat. Tidak
ingat, kalau baju, celana, dan sepatu mengkilapnya didapat dari tetes keringat
anak bangsa bergelimang penderitaan.[]
- Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.