Sungai Darah Naluri (4)
Novel: Yant Kaiy
Sebab apabila aku
membaca hikayat; acapkali dipidatokan dengan suara membahana oleh alim ulama, maka air mataku
tumpah. Kulukiskan Ibu dikelilingi ular besar dan ditusuk-tusuk ganas oleh tombak membara; dicabik-cabik oleh taring
srigala-srigala
buas. Bahkan aku tak sanggup berdiri merenungi
kehidupan kekal Ibu yang tak pernah dihinggapi keceriaan, kebahagiaan, kebanggaan terhadap apa saja selama bernapas di dunia
fana. Kusadari kematiannya gara-gara
kehadiranku
di alam semesta ini serba tipuan mata mengasyikkan, dan
aku tak sempat menyaksikan dunia Ibu jadi senyum kemenangannya, kecuali tubuhnya yang ditiduri
oleh beribu-ribu lelaki penjaja cinta dan kepuasan.
Oh, Ibu... ! Bahkan aku berjanji pada tubuh ini untuk hidup semestinya tanpa harus membiarkan penderitaan berlaut dalam kepedihan. Aku tahu dengan bahasa kehidupan, dan aku masih belum mampu membawa diri pada sebuah ketentraman dan kedamaian, sementara perjuangan senantiasa kutabuh bertalu-talu untuk mengimbangi kemelaratan.
Dari pagi ke paling pagi. Aku memang tak mau kalau pagiku kelam; seperti hari kemarin, teramat melarat bagi jalan kebersemangatan yang terbentang dengan sebuah potongan-potongan inspirasi terbingkai di sisi kristal embun. Pening.
Namun aku tidak surut satu langkah pun, sedikit pun... Kecuali kebimbangan meluruskan keresahan, tak bertepi. Aku semakin terpuruk di sana, merenda waktu menjadi detik-detik mendebarkan, bahkan, meletup-letup seiring kicau makhluk kecil di antara dahan hijau langit.
Di antara penantian itu, aku seringkali melambungkan asa meruah di sepanjang usia. Di bawah pohon akasia yang melambai - lambaikan ketentraman dan kesejukan aku terus mencoba untuk bersabar di gubuk penantian. Kadang aku sangat membenci dibaluti dendam, aku tak tahu dendam itu datang dari balik hatiku yang mana, terhadap para redaktur yang kurang becus meletakkan batu 'keadilan' sepenuhnya sebagai penguasa memuat dan menolak karya orang lain kurang berkualitas, kurang berbobot, bahkan tak jarang hanyalah sebagai simbol sebuah nama besar tiada apa-apanya. Semakin jauhlah kaum seniman tulen yang kreatif dari karya besar, atau semacam frustrasi yang mengambangkan serpihan kepercayaan. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.