Sungai Darah Naluri (2)
Novel: Yant Kaiy
Aku tak mau lagi terpasung di lembah duka, membakar kehidupa sendiri hampir musnah tak bersisa lagi. Peluhku tercecer tak berarti di jalan setapak itu adalah deru yang seringkali kuisyaratkan lewat rangkuman kalimat nan puitis serta bersahaja. Tak kupungkiri itu semua !...
Aku pun terlahir dari cinta membara. Sekian lama aku sudah beradaptasi dengan semua yang dapat kubaca di pembaringan wajah malam berkaribkan asap nikotin memusingkan kepala. Aku pun tak lupa bersyukur ke hadirat-Nya; sebagai tanda sujud atas kesempatan dalam lingkaran kesempitan. Hanyalah nyawaku yang tak lepas dari raga ini.
Ah... Andai saja aku mampu menahan rasa sakit berlebihan
itu, barangkali telingaku telah kutusuk dengan tongkat tajam nan membara,
setajam dan sepanas tongkat-tongkat yang akan dipergunakan manusia dalam hidup kekal di neraka jahanam. Biarlah aku tuli saja
serentang hidup ini agar tak mendengarkan nada kalimat busuk dari sekitar. Karena dunia
kehidupanku sarat dengan kebusukan, kepalsuan,
kebohongan, kenistaan, ketidakbecusan, kesewenang-wenangan, sehingga aku terpelanting dari tempat kemapanan .
Namun aku tak mau kalau nyawaku diambil terlalu cepat sebelum bulir-bulir kehidupanku terisi amal kebajikan, dan aku tak ingin meninggalkan dunia ini sebelum matahari jadi gumpalan salju, karena panasnya masih jadi ancaman lapisan tanah sehingga tak berair.
Senantiasa aku ingin membasuh tubuh dengan air doa-doa sebelum manusia doa sebelum manusia-manusia memandikan, mengafani, menyolati dan menguburkan tubuhku hingga akhirnya jadi santapan cacing tanah. Kendati ketulian merupakan bagian dari kematian maka aku takkan menghindar dari kenyataan hidup, bahkan lari darinya. Kepada hidup ini aku tiada putus-putusnya berkorban di ujung jalan hari berpautkan harga diri yang tak pernah kubeli namun tak mudah ditukar dengan materi.
Aku bercermin di sungai yang mengalirkan
perenungan tak terbataskan cakrawala. Namun aku tak mampu mengartikannya ke
dalam wujud
percakapan begitu romantis, sebab bahasa alam amat misterius untuk ditelusuri, masih banyak kendala ketika langkah melewati persembunyian malam, mengurai jadi
mutiara asa tak resah. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.