Sungai Darah Naluri (12)
Novel: Yant Kaiy
Aku lupa tak membawa sekeranjang lamunan pada bisikan malam sunyi, sebab aku menyusuri lorong gelap
dengan langkah tak pasti dan mata yang terpejam oleh dingin halimun. Aku berdiri di
antara siraman lampu-lampu malam membingungkan sekaligus melepaskan tawa sesaat. Sementara kendaraan tiada
lelah mengukur jalan tak berujung kepastian. Aku duduk di bangku panjang di
dekat pengemis menadahkan tangan kepada langit bertabur bintang, kepada debu yang hinggap di
lengan dekilnya, kepada kertas
berterbangan di sisi pasar kumuh,
beraroma busuk.
Di sini aku banyak mendapatkan bentuk kehidupan beragam. Lalu aku berteduh pada dekap-Nya senantiasa; kadang aku ingin menangis dan tertawa sepuasnya.
" Kau tahu dengan pengemis yang sedang
menyanyi itu?”
" Aku tak mengenal suaranya."
" Ada musiknya kok...”
" Kamu dari mana?"
" Kalau kau belum kenal tanyalah pada pengemis yang menyanyi itu. Kidungnya lembut menyayat kalbu. Raut wajahnya tersirat luka."
“Mana
mungkin!
Sedangkan perut butuh makanan.”
Kutatap wajahnya, dalam. Kuusap perlahan peluhnya
yang menjerit, menggelepar,
menahan rasa lapar yang menyiksa hingga ke sekujur
raganya. Entahlah, aku pun masih belum memasukkan pangan seperti konglomerat yang berjualan
jamu pahit di depot-depot mewah; menyulap barang-barang rombeng jadi pengkhianat kaum
pinggir jalan.
Kini mataku mulai penat, lelah, namun aku tak bisa memejamkan angan jadi
bingkai kenyataan dan hujan masih belum membasahi tiang komunikasi karatan
bercat hitam.
Kepalaku tersandar, merokok. Wajah-wajah bertopeng sulit dikenal
membuat kegundahan menyeruak, mencabik-cabik
amat garang dan buas terhadap nasib. Sulit bagiku untuk
menjumpai kasih dari sela-sela kesibukan yang menyemut di tempat perbelanjaan, lalu menghambur
dari lubang kehidupannya, berebutan
dalam antrian takut tidak kebagian walau harus membayar. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.