Dibalik Masker Tercium Bau Busuk
Cerpen: Akhmad Jasimul Ahyak
Selembar cinta perempuan tua kini kian mengusang,
dia adalah nenek Sumenten yang hidup kesendirian hanya bersama setumpuk
sampah di sudut ruang jalanan yang mengabu.
Pagi ini rembulan tinggal separuh. Wajah si
nenek tua mulai terlihat kusam dengan kotoran debu yang menyapu keriput kulit
tuannya. Ia duduk di bawah ranting pepohonan yang jadikan ia rumah untuk
berteduh, hanya dari sampah dan barang bekas yang terbuang di pinggiran kota ia
mengatur hidupnya.
Sekejap ia melihat hasil barang bekas yang
dikumpulkan dan masih belum banyak untuk dijual, kembali si nenek menghirup aroma
pagi dalam-dalam sambil mempersiapkan karung tempat barang bekas yang sudah ia
dapat nantinya. Mereka masih termangu, berdiri sambil melihat matahari yang
mulai agak meninggi. Nenek pun siap-siap mau pergi ingin mencari nafkah demi
sesuap nasi.
Ia berjalan dengan kantong yang ia gantungkan
di pundaknya, lalu kembali menyusuri jalanan tanpa beralaskan kaki. Desa demi
desa, rumah demi rumah sampai ke gang-gang kecil pun ia singgahi, mereka tidak
mengingat tentang adanya virus corona yang akhir-akhir ini menggoncang seluruh
dunia. Bahkan ia tidak tau di setiap pintu masuk desa sudah berdiri posko-posko
covid-19. Pada setiap pintu masuk desa, orang diwajibkan memakai masker. Hal
ini mengherankan karena nenek Sumenten tidak memakai masker malah di setop oleh
petugas di suruh membeli masker padahal mereka si petugas sudah tau bahwa nenek
Sumenten adalah seorang pemulung. Untuk makan ia sudah kekurangan apalagi mau
beli masker. Lantas kenapa pas waktu itu tidak dikasih masker gratis.
Dengan semangat serta rasa lelahnya tidak
boleh sia-sia, maka dengan terpaksa si nenek pun membeli masker dengan sisa
uang pas-pasan yang ada di kantong sakunya hanya untuk bisa masuk ke desa-desa
ataupun ke gang-gang demi mencari barang bekas pengganti makan setiap harinya. Ia
harus pulang membawa hasil, hanya itu yang ada dalam benak Sumenten. Tapi sayang,
raga rentanya justru tak sepaham dengan keinginannya. Kakinya mulai lelah
melangkah maka ia mulai berhenti dan istirahat di depan warung kecil di pinggir
jalan.
Ia menyeka keringat yang mengalir di wajahnya,
kini nenek Sumenten wajahnya berubah menjadi pucat, ia merasakan bahwa perutnya
sedang lapar karena mulai pagi hingga terik matahari ia masih belum makan. Untuk
beli nasi di warung uangnya sudah tiada hanya demi masker yang sudah ia beli.
Di balik masker nenek Sumenten tercium bau
busuk karena seharian mulutnya tidak makan dan tidak minum sampai ia terjatuh hingga
nyawanya melayang. Hanya demi harga masker mereka sudah meninggal, sebab ia di buat
busuk oleh ucapan petugas yang membusuk hingga kematiannya di vonis bahwa
terkena virus covid-19.
Pasongsongan, 2020
Akhmad Jasimul Ahyak, guru di MA Itmamunnajah
Pasongsongan-Sumenep.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.