Kisruh Ormas Madas Surabaya, Nenek Terusir dan Pertanyaan soal Posisi Komunitas Madura di Perantauan
Kerap terdengar di ruang-ruang diskusi publik: “Kenapa komunitas Madura yang ada di perantauan selalu mendapatkan serangan teror dari warga setempat?”
Pertanyaan ini tentu tidak
lahir dari ruang kosong, melainkan dari pengalaman sosial yang dirasakan oleh
sebagian masyarakat Madura di berbagai daerah.
Faktanya, banyak orang Madura di
perantauan hidup berdampingan secara baik dengan warga sekitar.
Mereka bekerja keras, membuka usaha,
taat beribadah, dan ikut berkontribusi dalam kegiatan sosial di lingkungan tempat
tinggalnya.
Tapi ironisnya, keberhasilan ekonomi yang diraih lewat kerja keras itu justru kerap memantik kecemburuan sosial.
Tidak jarang muncul perilaku usil, intimidasi, hingga stigma negatif yang
diarahkan kepada komunitas Madura.
Dalam konteks seperti ini,
pembentukan ormas oleh komunitas Madura di perantauan seharusnya dipahami
secara lebih jernih.
Bagi sebagian orang, ormas bukanlah
alat untuk menebar ketakutan, melainkan ikhtiar kolektif untuk saling menjaga,
memperkuat solidaritas, dan melindungi diri dari perlakuan tidak adil.
Ormas jadi ruang komunikasi,
advokasi, dan penguatan identitas agar tidak mudah ditekan atau diperlakukan
sewenang-wenang.
Jika ada oknum menyimpang, maka yang
harus ditindak adalah oknumnya, bukan menggeneralisasi seluruh komunitas atau
etnis tertentu.
Generalisasi semacam itulah yang
justru memperlebar jurang prasangka dan konflik horizontal.
Karena itu, melihat keberadaan ormas
Madura di perantauan semestinya tidak melulu dengan kacamata curiga.
Selama tujuannya adalah kebaikan,
menjaga martabat, dan membangun harmoni sosial, keberadaan mereka justru bisa jadi
bagian dari solusi, bukan sumber masalah.
Yang dibutuhkan bangsa ini bukan saling mencurigai, melainkan saling memahami dan menegakkan keadilan tanpa pandang asal-usul. [sh]

Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.