Kisruh Ormas Madas dan Cermin Penegakan Hukum Kita
Kisruh yang melibatkan organisasi
masyarakat (ormas) Madas (Madura Asli) di Surabaya belakangan ini menyita
perhatian publik nasional. Media sosial dipenuhi kecaman, ancaman, caci maki,
dan lain sebagainya.
Pemicu kejadian adalah pengusiran
seorang nenek dari rumah yang telah lama ia tempati, yang disinyalir dilakukan oknum
yang dikaitkan dengan ormas tersebut.
Kasus ini dengan cepat menyebar luas
di media sosial dan memunculkan gelombang empati sekaligus kemarahan dari
masyarakat.
Di tengah derasnya opini publik,
Ketua Ormas Madas membantah keras bahwa organisasinya terlibat dalam tindakan
pengusiran paksa tersebut.
Menurutnya, Madas tidak memiliki
anggota yang melakukan perbuatan seperti yang dituduhkan. Ia juga menegaskan
bahwa persoalan tersebut murni konflik kepemilikan rumah, dimana sang nenek
menempati rumah yang disebut-sebut telah dijual kepada pihak lain.
Dari sudut pandang ini, pengusiran
tidak berdiri sebagai tindakan sewenang-wenang, melainkan konsekuensi dari
sengketa kepemilikan.
Tapi, persoalan ini tidak
sesederhana benar atau salah di atas kertas hukum. Fakta bahwa pihak pembeli
memilih meminta bantuan pihak lain.
Menurut sang pembeli, menempuh jalur
alternative itu karena proses hukum yang panjang, berbelit, dan membutuhkan
biaya besar sering kali membuat masyarakat enggan menempuh jalur resmi.
Akibatnya, jalan pintas pun dipilih,
meski berisiko menimbulkan konflik sosial dan pelanggaran rasa keadilan.
Di sinilah letak persoalan utamanya.
Ketika hukum dianggap lamban dan mahal, ruang abu-abu terbuka lebar bagi
praktik-praktik informal yang rawan disalahgunakan.
Kisruh ini sejatinya jadi bahan
refleksi bersama: bagi aparat penegak hukum untuk memperbaiki kinerja dan akses
keadilan, bagi ormas untuk menjaga marwah dan batas perannya di masyarakat,
serta bagi warga untuk tidak mudah menghakimi sebelum fakta terungkap.
Tanpa pembenahan menyeluruh, konflik
serupa hanya akan terus berulang, dengan korban yang hampir selalu adalah
mereka yang paling lemah posisinya.
Pada akhirnya, keadilan sejati bukan
hanya soal kepemilikan yang sah secara hukum, tetapi juga tentang bagaimana
hukum ditegakkan dengan nurani dan rasa kemanusiaan. [sh]

Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.