Ironi Guru PPPK Paruh Waktu: Beban Mental "Full Time", Gaji "Seikhlasnya"

guru pppk paruh waktu indonesia

Transformasi status tenaga honorer jadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh Waktu digadang-gadang sebagai "sekoci penyelamat" untuk menghindari pemutusan hubungan kerja massal.

Tapi, di balik narasi penyelamatan tersebut, tersimpan realitas pahit yang mesti ditelan oleh ribuan guru di berbagai pelosok negeri.

Kebijakan yang menyerahkan besaran gaji PPPK Paruh Waktu kepada kemampuan keuangan masing-masing Pemerintah Daerah (Pemda) adalah pedang bermata dua.

Bagi daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tinggi, mungkin ini bukan masalah. Tapi, bagi daerah dengan fiskal "cekak", kebijakan ini jadi legitimasi untuk menggaji guru dengan nominal yang jauh dari kata layak—bahkan sering kali lebih rendah dari Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).

Ketimpangan yang Dinormalisasi

Sangat tidak adil ketika standar kesejahteraan seorang pendidik ditentukan semata-mata oleh lokasi geografis tempat mereka mengabdi.

Guru di daerah A bisa mendapatkan gaji yang cukup untuk hidup, sementara guru di daerah B—dengan beban kerja yang relatif sama—harus memutar otak mencari pekerjaan sampingan demi kebutuhan isi perut.

Ketika gaji disesuaikan dengan "kemampuan daerah", kita seolah menormalisasi kemiskinan struktural bagi para pendidik.

Padahal, standar pendidikan nasional yang dituntut pemerintah pusat berlaku sama rata, baik di kota metropolitan maupun di daerah tertinggal.

Mengapa kesejahteraannya dibedakan begitu tajam?

"Paruh Waktu" di Kertas, "Purna Waktu" di Beban Mental

Istilah "Paruh Waktu" mungkin terdengar logis secara administratif untuk menyesuaikan dengan anggaran. Tapi, mari kita bicara jujur tentang profesi guru. Apakah mendidik anak bangsa bisa benar-benar dilakukan secara "paruh waktu"?

Jadi guru bukanlah pekerjaan klerikal yang selesai begitu jam kantor berakhir. Profesi ini menuntut kesiapan mental yang luar biasa.

Menghadapi ratusan peserta didik dengan beragam karakter, latar belakang, dan masalah emosional membutuhkan energi psikis yang besar.

Guru harus menjadi pengajar, orang tua kedua, sekaligus konselor. Beban mental ini tidak mengenal istilah "jam kerja paruh waktu"; ia terbawa hingga ke rumah, dalam bentuk kelelahan emosional dan pikiran yang terus berputar memikirkan nasib murid-muridnya.

Jeratan Administrasi dan Layar Laptop

Ironi semakin menebal ketika kita melihat tuntutan administratif. Meskipun statusnya paruh waktu dengan gaji minim, guru-guru ini tetap dituntut melek teknologi dan menyelesaikan segudang kewajiban data.

Mereka harus berlama-lama di depan laptop, mengunggah berbagai berkas, mengisi E-Kinerja, jurnal harian, hingga menyelesaikan modul di Platform Merdeka Mengajar (PMM).

Koneksi internet yang acap kali harus dibayar dari kantong pribadi, mata yang lelah menatap layar, dan waktu yang tersita untuk administrasi adalah "kerja tak terlihat" (invisible labor) yang sering kali tidak dihargai dalam komponen gaji mereka.

Pemerintah Daerah seringkali menutup mata bahwa beban administrasi tidak berkurang hanya karena status mereka paruh waktu.

Data siswa tetap harus diinput, laporan tetap harus dibuat, dan kurikulum tetap harus dijalankan.

Menuntut Keadilan Standar

Sudah saatnya pemerintah pusat tidak lepas tangan dengan sekadar menyerahkan nasib guru PPPK Paruh Waktu pada kemampuan daerah.

Harus ada standar upah minimum nasional khusus guru yang disubsidi melalui Dana Alokasi Umum (DAU) yang bersifat earmarked (ditentukan penggunaannya) khusus untuk gaji, sehingga tidak bisa diutak-atik oleh Pemda untuk kebutuhan lain.

Menggaji guru dengan angka yang "jauh dari kata layak" bukan hanya penghinaan terhadap profesi, tapi juga pengkhianatan terhadap amanat mencerdaskan kehidupan bangsa.

Bagaimana kita bisa menuntut kualitas pendidikan kelas dunia, jika pendidiknya masih bergulat dengan masalah perut dan kesejahteraan? [sh]

Guru boleh saja berstatus paruh waktu di atas kertas SK, namun pengabdian, beban mental, dan tanggung jawab administrasi mereka adalah paripurna. Sudah sepantasnya penghargaan yang mereka terima juga memanusiakan manusia. [sh]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Soal-soal Bahasa Madura Kelas IV SD

Soa-soal Bahasa Madura Kelas III

Hairus Samad Kenang Sosok Ustadz Patmo: Ulama Muda Berpandangan Jauh ke Depan

Soal dan Kunci Jawaban Bahasa Madura PAS Kelas IV SD

Jurnal Pembelajaran Mendalam dan Asesmen 2.0 (Umum) dengan Topik Pendekatan Understanding by Design dalam Perencanaan Pembelajaran

Soal dan Kunci Jawaban Bahasa Madura Kelas 3 SD di Sumenep

Cabang Therapy Banyu Urip Pasuruan Layani Pasien Setiap Hari, Sediakan Pengobatan Gratis di Hari Ahad

Perjalanan Cinta Akhmad Faruk Mirip Sinetron, Berujung di Pelaminan untuk Kedua Kalinya

Mitos Uang Bernomer 999

Jurnal Pembelajaran PPG Modul 2 Filosofi Pendidikan dan Pendidikan Nilai