Ironi Guru PPPK Paruh Waktu: Beban Mental "Full Time", Gaji "Seikhlasnya"
Transformasi status tenaga honorer jadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian
Kerja (PPPK) Paruh Waktu digadang-gadang sebagai "sekoci penyelamat"
untuk menghindari pemutusan hubungan kerja massal.
Tapi, di balik narasi penyelamatan tersebut, tersimpan realitas pahit yang mesti
ditelan oleh ribuan guru di berbagai pelosok negeri.
Kebijakan yang menyerahkan besaran gaji PPPK Paruh Waktu kepada kemampuan
keuangan masing-masing Pemerintah Daerah (Pemda) adalah pedang bermata dua.
Bagi daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tinggi, mungkin ini bukan
masalah. Tapi, bagi daerah dengan fiskal "cekak", kebijakan ini jadi
legitimasi untuk menggaji guru dengan nominal yang jauh dari kata layak—bahkan
sering kali lebih rendah dari Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
Ketimpangan yang Dinormalisasi
Sangat tidak adil ketika standar kesejahteraan seorang pendidik ditentukan
semata-mata oleh lokasi geografis tempat mereka mengabdi.
Guru di daerah A bisa mendapatkan gaji yang cukup untuk hidup, sementara
guru di daerah B—dengan beban kerja yang relatif sama—harus memutar otak mencari
pekerjaan sampingan demi kebutuhan isi perut.
Ketika gaji disesuaikan dengan "kemampuan daerah", kita seolah
menormalisasi kemiskinan struktural bagi para pendidik.
Padahal, standar pendidikan nasional yang dituntut pemerintah pusat berlaku
sama rata, baik di kota metropolitan maupun di daerah tertinggal.
Mengapa kesejahteraannya dibedakan begitu tajam?
"Paruh Waktu" di Kertas,
"Purna Waktu" di Beban Mental
Istilah "Paruh Waktu" mungkin terdengar logis secara administratif
untuk menyesuaikan dengan anggaran. Tapi, mari kita bicara jujur tentang
profesi guru. Apakah mendidik anak bangsa bisa benar-benar dilakukan secara
"paruh waktu"?
Jadi guru bukanlah pekerjaan klerikal yang selesai begitu jam kantor berakhir.
Profesi ini menuntut kesiapan mental yang luar biasa.
Menghadapi ratusan peserta didik dengan beragam karakter, latar belakang,
dan masalah emosional membutuhkan energi psikis yang besar.
Guru harus menjadi pengajar, orang tua kedua, sekaligus konselor. Beban
mental ini tidak mengenal istilah "jam kerja paruh waktu"; ia terbawa
hingga ke rumah, dalam bentuk kelelahan emosional dan pikiran yang terus
berputar memikirkan nasib murid-muridnya.
Jeratan Administrasi dan Layar Laptop
Ironi semakin menebal ketika kita melihat tuntutan administratif. Meskipun
statusnya paruh waktu dengan gaji minim, guru-guru ini tetap dituntut melek
teknologi dan menyelesaikan segudang kewajiban data.
Mereka harus berlama-lama di depan laptop, mengunggah berbagai berkas, mengisi
E-Kinerja, jurnal harian, hingga menyelesaikan modul di Platform
Merdeka Mengajar (PMM).
Koneksi internet yang acap kali harus dibayar dari kantong pribadi, mata
yang lelah menatap layar, dan waktu yang tersita untuk administrasi adalah
"kerja tak terlihat" (invisible labor) yang sering kali tidak
dihargai dalam komponen gaji mereka.
Pemerintah Daerah seringkali menutup mata bahwa beban administrasi tidak
berkurang hanya karena status mereka paruh waktu.
Data siswa tetap harus diinput, laporan tetap harus dibuat, dan kurikulum
tetap harus dijalankan.
Menuntut Keadilan Standar
Sudah saatnya pemerintah pusat tidak lepas tangan dengan sekadar menyerahkan
nasib guru PPPK Paruh Waktu pada kemampuan daerah.
Harus ada standar upah minimum nasional khusus guru yang disubsidi melalui
Dana Alokasi Umum (DAU) yang bersifat earmarked (ditentukan
penggunaannya) khusus untuk gaji, sehingga tidak bisa diutak-atik oleh Pemda
untuk kebutuhan lain.
Menggaji guru dengan angka yang "jauh dari kata layak" bukan hanya
penghinaan terhadap profesi, tapi juga pengkhianatan terhadap amanat
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bagaimana kita bisa menuntut kualitas pendidikan kelas dunia, jika
pendidiknya masih bergulat dengan masalah perut dan kesejahteraan? [sh]
Guru boleh saja berstatus paruh waktu di atas kertas SK, namun pengabdian, beban mental, dan tanggung jawab administrasi mereka adalah paripurna. Sudah sepantasnya penghargaan yang mereka terima juga memanusiakan manusia. [sh]

Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.