Hutang Luar Negeri: Warisan yang Tak Pernah Selesai
Entah kenapa, setiap rezim kepemimpinan di negeri ini seolah punya satu kebiasaan yang tak pernah berubah: Menggantungkan pembangunan pada hutang luar negeri.
Dari presiden ke presiden, dari era Orde Lama, Orde Baru, hingga era reformasi, hutang selalu jadi "solusi cepat" menuju kemajuan.
Kenyataannya justru menciptakan lingkaran setan yang menyandera masa depan bangsa.
Lebih tragis, hutang lama belum tuntas dibayar, tapi hutang baru sudah ditandatangani.
Ironisnya, sebagian besar rakyat bahkan tidak tahu uang itu kemana perginya.
Proyek-proyek mercusuar dibanggakan, tapi manfaatnya hanya dinikmati segelintir elite, sementara beban cicilannya diwariskan kepada generasi berikutnya.
Sebagai imbal balik, sumber daya alam—yang seharusnya jadi milik rakyat dan dijaga kedaulatannya—dijual murah ke pihak asing.
Tambang-tambang dikeruk, hutan-hutan digunduli, dan laut dijarah.
Investor asing diberi karpet merah, sedangkan rakyat lokal hanya jadi penonton dari tepi jurang kemiskinan.
Lebih menyakitkan, pejabat yang mengurus semua ini justru hidup bergelimang harta, memamerkan kemewahan dari hasil "legalkan" eksploitasi negeri.
Hutang luar negeri pada akhirnya bukan lagi soal ekonomi, tapi soal kedaulatan.
Ketika negara terlalu bergantung pada dana asing, maka keputusan strategis pun bisa digadaikan.
Apakah ini pembangunan? Atau sebenarnya kita sedang menjual kedaulatan secara perlahan? [sh]
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.