Guru Honorer PAI Terpinggirkan: Sistem yang Tidak Peka Realitas
Fenomena guru honorer Pendidikan Agama Islam (PAI) yang tersingkir dari skema Pendidikan Profesi Guru (PPG) karena tidak bisa masuk ke aplikasi SIAGA, menyisakan luka dan tanda tanya besar.
Kasusnya sederhana, tapi dampaknya cukup kompleks: Seorang guru honorer PAI di Kabupaten Sumenep yang selama ini setia mengajar di SD Negeri, tiba-tiba kehilangan jam mengajar agamanya setelah guru PAI berstatus PPPK masuk ke sekolah tersebut.
Ia pun terpaksa dialihkan menjadi guru kelas, meskipun bukan itu bidang keahliannya.
Konsekuensinya? Ia tidak punya jam PAI. Dan karena tidak punya jam PAI, otomatis ia tak bisa mendaftar SIAGA, salah satu pintu utama untuk ikut seleksi PPG.
Maka tertutuplah peluangnya untuk mendapatkan sertifikasi, peningkatan kompetensi, dan kesempatan menjadi ASN sejati.
Apakah ini adil? Jelas tidak.
Sistem seolah tidak memberikan ruang bagi para guru honorer yang loyal, berpengalaman, dan siap mengabdi, hanya karena terganjal teknis: soal input jam di aplikasi.
Padahal, substansi jauh lebih penting: Mereka guru yang telah lama menjalankan tugas keagamaan di sekolah, tapi malah disisihkan oleh sistem yang lebih berpihak pada administrasi daripada pengabdian.
Sudah saatnya pemerintah, khususnya Kemenag dan Kemendikbudristek, duduk bersama untuk meninjau ulang mekanisme SIAGA dan PPG.
Jangan biarkan guru-guru honorer PAI yang dulu menjadi tulang punggung pendidikan agama di SD Negeri justru dilupakan hanya karena mereka “tidak punya jam” akibat kebijakan penempatan PPPK.
Yang dibutuhkan sekarang bukan hanya reformasi sistem, tapi juga keberpihakan terhadap keadilan. [sh]
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.