Langsung ke konten utama

Cerpen: Ibu Pulang

Cerpen: Yant Kaiy

Naina sengaja berusaha melupakannya. Tujuh belas tahun ia tidak pulang kampung. Kecewa dan sakit hati membaluri segenap jiwanya. Sesungguhnya dalam hati kecil Naina masih tersisa ruang baginya. Tapi itu masih butuh waktu.

Ia terus menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Sementara suami Naina sudah berangkat kerja. Kedua anaknya lagi sekolah. Naina tak menghiraukan perempuan tua yang ada di ruang tamu. Padahal ia datang dari jauh. Harus menempuh perjalanan 21 jam untuk sampai di rumah Naina.

Perempuan yang rambutnya dipenuhi uban itu terlihat capek. Tapi ia tetap tersenyum bahagia bisa tiba di tempat tinggal anaknya. Ia memahami akan kebencian Naina. Tak lazim baginya meminta maaf. Walau keputusannya menyakitkan, semua demi masa depannya.

Ia telah menikahkan Naina bukan dengan pilihan hatinya. Saat itu Naina punya tambatan lain, pemuda tampan tapi pengangguran. Ibunya memilih Debur sebagai suaminya. Debur lebih menjanjikan hidup sejahtera kendati kakinya cacat. Pincang.

Setelah selesai pekerjaannya, Naina membawakan minuman dan kue kecil. Tak terdengar kalimat bertegur-sapa. Sesaat kemudian Debur pulang lebih awal. Ia tahu mertuanya akan datang.

“Ibu sudah tadi? Maaf saya harus ke kantor, tidak bisa menjemput Ibu,” ucap Debur bernada menyesal dan tak mengurangi rasa hormatnya.

“Saya diantar taksi dari terminal kesini, Nak. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, ibu baik-baik saja,” ucapnya lirih agak tertahan. Ia terlihat bahagia mendapatkan sambutan ramah dari menantunya.

Debur memanggil Istrinya. Naina keluar dari kamar. Debur memandang istrinya penuh kecewa. Sikapnya tidak seperti biasanya.

“Aku tahu kamu membenci Ibu yang telah melahirkanmu ke alam dunia ini. Beliau bertaruh jiwa-raga membesarkanmu. Tapi apa balasanmu. Hanya karena kau mendapatkan suami pincang. Dari dulu kau melarang aku untuk ke rumah Ibu. Aku pun tunduk akan laranganmu. Hingga Ibu mengalah datang kesini, tetap saja sikapmu tak berubah. Terbuat dari apa hatimu sebenarnya. Andai ini terjadi pada kamu, anak-anak kita tak lagi mengakui kita sebagai orang tua. Tentu hati kita akan hancur,” ujar Debur lirih, berusaha mengendalikan emosinya. Matanya berkaca-kaca.

Nina duduk terdiam. Dulu sempat terbersit di hatinya, kalau ia takkan kembali ke kampung halamannya. Takkan kembali pada ibunya.

“Sudahlah, Nak. Aku baik-baik saja. Aku hanya ingin melihat kalian bahagia. Aku ingin tahu anak-anakmu seperti apa sebelum jasad ibu terkubur tanah,” ucapnya tersenyum.

“Ampuni aku, Bu. Tak pernah terlintas di hati ini, rumah tangga kami akan seperti ini,” isak Debur di lutut ibu mertuanya. Ia tak bisa lagi menahan air matanya. Air bening itu mengalir deras di pipinya.

Perempuan keriput itu mulai mencucurkan air mata. Ia mengusap kepala Debur begitu lembut.

“Nanti setelah aku berjumpa dengan cucu-cucu ibu. Aku akan pulang,” ucapnya tegas.

“Aku ikut.”

Debur dan mertuanya tercenung demi mendengar kalimat yang meluncur dari bibir Naina.[]

Pasongsongan, 30/12/2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Guru Honorer PAI di Sumenep tidak Terurus

Catatan: Yant Kaiy Tidak adanya rekrutmen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) bagi guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di lingkungan Dinas Pendidikan Sumenep, menambah panjang penderitaan mereka. Karena harga dari profesi mulia mereka sebagai pendidik dibayar tidak lebih dari Rp 300.000,- per bulan. Rupanya pihak pemangku kebijakan masih belum terketuk hatinya untuk mengangkis mereka dari lembah ketidak-adilan. Sekian lama guru PAI terjebak di lingkaran mimpi berkepanjangan. Impian para guru PAI ini untuk menjadi PPPK menyublim seiring tidak adanya jaminan kesejahteraan. Namun mereka tetap berkarya nyata walau kesejahteraan keluarganya jadi taruhan. Mereka tetap tersenyum mencurahkan keilmuannya terhadap murid-muridnya. Animo itu terus bersemi karena ada janji Allah, bahwa siapa pun orang yang mendermakan ilmu agamanya, maka jaminannya kelak adalah surga. Barangkali inilah yang membuat mereka tidak bergolak dalam menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak turu

Panji Gumilang Pesohor Akhir Kekuasaan Jokowi

Catatan: Yant Kaiy Emosi rakyat Indonesia berpekan-pekan tercurah ke Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun, Panji Gumilang. Episode demi episode tentangnya menggelinding bebas di altar mayapada. Akhirnya, lewat tangan-tangan penguasa ketenangan dan kenyamanan Panji Gumilang mulai terusik. Telusur mereka berdasar pernyataan dirinya tentang beberapa hal yang dianggap sesat oleh sebagian besar umat Islam di tanah air. Cerita tentangnya menenggelamkan beraneka berita krusial dalam negeri. Isu ketidakadilan, kasus besar menyangkut hajat hidup orang banyak menyublim di dasar laut Al Zaytun. Banyak orang bertanya-tanya, seberapa perkasa Panji Gumilang di mata hukum Indonesia. Ia bertakhta atas nama kebenaran walau kadang berseberangan jalan dengan organisasi Islam yang ada. Mungkin baginya, berbeda itu indah. Sekarang tugas penguasa menyembuhkan suasana negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Tidak ada nilai tawar.[] - Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com

SDN Panaongan 3 Layak Menyandang Predikat Sekolah Terbaik di Pasongsongan

Agus Sugianto (kanan) bersama Kepala Dinas Pendidikan Sumenep Agus Dwi Saputra. [Foto: Sur] apoymadura.com  - SDN Panaongan 3 terletak di Dusun Campaka Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Lokasinya masuk pelosok dengan jalan rusak ringan. Warga masyarakatnya sebagai besar bekerja di ladang sebagai petani. Musim penghujan mereka bercocok tanam jagung. Musim kemarau masyarakat lebih banyak menanam tembakau.  Ada pula sebagian dari mereka merantau ke kota lain. Bahkan ada yang bekerja di Malaysia, mengadu peruntungan agar kesejahteraan hidup lebih baik. Etos kerja warga masyarakat cukup tinggi. Mereka sadar, putra-putri mereka paling tidak harus punya pondasi keilmuan yang cukup. Agar dalam mengarungi hidup lebih indah, sesuai impiannya. Kendati perekonomian mereka rata-rata lemah, namun masalah pendidikan anak-anaknya menjadi sebuah prioritas. Karena mereka sadar, hidup bahagia itu lebih lestari dengan ilmu. Mereka menginginkan pendidikan putra-putrinya ke tingkat p