Yang Etis, Yang Politis

Oleh: Sulaisi Abdurrazaq
(Ketua DPW APSI Jatim)

Pada 29 Agustus 2022, seorang Wakil Direktur LKBH IAIN Madura memberi nota ingatan agar saya tidak lupa agenda besok pagi, ada Diskusi Terbatas yang digelar Pusat Studi Debat Hukum dan Konstitusi Fasya IAIN Madura dengan tajuk: "Peranan Bawaslu dalam Penegakan Etika Berpolitik"

Selasa, 30 Agustus 2022, saya salah satu nara sumber yang sengaja datang terlambat dengan maksud agar pemateri lainnya dari Bawaslu Pamekasan diberi kesempatan lebih awal.

Setelah Opening Ceremony nyaris selesai, saya masuk. Mata saya agak silau, karena ternyata agenda inti belum mulai. Tak ada mahasiswa di ruang diskusi, yang ada dosen-dosen dan guru-guru saya.

Protes pertama saya pada penyelenggara: Mengapa tidak dari awal disampaikan bahwa pesertanya para dosen? Agak sebal, tapi sekaligus senang, karena sudah sekian lama saya tidak bertatap muka dengan dosen-dosen IAIN Madura, akibat ulah biang kerok Covid-19 yang membatasi pertemuan wajah manusia-manusia akademis.

Sebal karena saya tidak menyiapkan materi diskusi secara serius, tak ada _slide_ dan makalah. Materinya nempel di kepala aja. Kalau bilang dari awal pesertanya para dosen, tentu saya _prepare_ lebih serius.

Karena temanya etika politik, untuk memantik ruang dialogis dalam ruang diskursif itu, saya provokasi melalui pikiran Emmanuel Levinas, seorang filsuf Prancis kontemporer dalam perpaduan unik tradisi agama Yahudi, tradisi filsafat Barat dan pendekatan fenomenologis tentang "yang etis" _(the ethical)_ dan "wajah" _(face - le visage)._

Karena kesempatan cukup singkat, saya sampaikan secara simplistis bahwa dalam perspektif Levinas, orang lain berharga karena wajahnya. 

Keberadaan orang lain jadi penting, karena dalam pertemuan, tidak sekadar berhadapan dengan objek, melainkan dengan apa yang disebut Levinas dengan "wajah".

Hanya dalam pertemuan dengan  manusia lainlah lahir "yang etis".

"Wajah" jangan dimaknai sekadar bagian fisik. Secara fenomenologis, wajah manusia lain yang menggugah kesadaran bahwa ada yang lain, yang tak dapat ditundukkan, yang ternyata tak dapat direduksi sepenuhnya.

Politik yang etis bagi Levinas adalah pertemuan antar wajah manusia dengan manusia lain yang tidak saling menundukkan, karena menyadari wajah itu menolak untuk ditundukkan.

Bagi Levinas, pertemuan antarwajah adalah relasi etis dan inilah  yang menjadi dasar etika politiknya (Baca: Bagus Takwin, "Etika Politik, Menimbang Ulang Politik" dalam _Empat Esai Etika Politik,_ Jakarta 2011.

Sengaja saya ambil pikiran Levinas untuk menyajikan "makanan" pembuka dirkursus itu, karena pikiran Levinas oleh Jacques Derrida dinilai bisa membuat kita gemetar. _The thought of Emmanuel Levinas can make us tremble._

Berikutnya, bagi saya, diskusi etika politik tak boleh luput dari pikiran-pikiran filosof moderen, khususnya teori kontrak sosial, setidaknya menurut Thomas Hobbes, John Locke dan JJ Rousseau. 

Meski sebenarnya, filosof lain seperti Sokrates dan Immanuel Kant juga memiliki pikirannya sendiri yang unik. Tapi agar lebih spesifik saya hanya memberi gambaran dari perspektif tiga pemikir itu. 

Hobbes memberi gambaran, secara alamiah, kehidupan manusia itu sebenarnya banal, jahat, kasar, sehingga cenderung _homo homini lupus._

Teori kontrak sosial mengajarkan bahwa individu dibayangkan setuju untuk menyerahkan sebagian kebebasan mereka agar patuh, tunduk pada otoritas penguasa atau keputusan mayoritas.

Ganjaran yang dapat diperoleh dari penyerahan sebagian  kebebasan itu adalah: perlindungan hak oleh penguasa atau pemeliharaan tatanan sosial.

Karena, kalau tatanan sosial tidak dipelihara,  tidak ada hukum dan tertib politik, tiap orang menjadi punya kebebasan alami yang tak terbatas, termasuk hak terhadap segala sesuatu. 

Hak bebas membunuh, menjarah, merampok properti manusia lainnya, memerkosa, dan lain-lain. Akan timbul perang semua melawan semua tanpa akhir _(bellum omnium contra omnes)._

Agar terhindar dari situasi mengerikan itu, "manusia bebas" membuat kontrak satu sama lain untuk membangun komunitas politik di mana mereka mendapatkan keamanan sebagai imbalan karena menundukkan diri pada kedaulatan mutlak, satu orang atau kumpulan orang.

Diskursus etika politik tak dapat dilepaskan dari pemikiran filsuf moderen itu, karena pikiran-pikiran Hobbes, terutama tentang "Leviathan" telah mampu memengaruhi atmosfer filsafat politik dan filsafat moral di Inggris pada masa-masa berikutnya.

John Locke berbeda dengan Hobbes. Menurut John Locke, manusia dalam kondisi alamiah pada awalnya tidak banal, melainkan hidup dalam keadaan damai, baik, saling menghormati, melindungi, bebas, merdeka, _equal_ dan tak ada rasa takut.

Harmoni berubah setelah manusia bertemu dengan sistem mata uang/moneter. 

Situasi dimana manusia cenderung berlebihan mengumpulkan kapital. Muncul rasa iri, dengki, tamak, serakah, yang menyebabkan terjadinya pembenaran atas hak milik, timbullah konflik. 

Karena itu, lahirlah kondisi yang tidak menyenangkan _(inconvinience),_ karena tak ada hukum.

Tindakan manusia diatur oleh hukum alam yang tidak memiliki kepastian _(uncertainty)._ 

Manusia akhirnya cemas, sehingga dibutuhkan kontrak sosial untuk membangun lembaga politik sebagai _the supreme power._ Perilaku manusia diatur. Etika politik mulai terbentuk.

Dalam pandangan Jhon Locke, manusia punya tiga hak:  _property,  life dan liberty._

Sementara menurut Jean Jacques Rousseau, manusia tidak baik dan tidak buruk, tidak egois dan tidak altruis.

Manusia hidup dengan polos dan mencintai diri secara spontan. Ia juga bebas dari segala wewenang orang lain, sehingga secara hakiki kedudukannya sama (Frans Magnis-Suseno, 2003).

Ketimpangan, ketidaksetaraan dan masalah justru timbul dan bersumber dari negara dan masyarakat. Yaitu, negara dan masyarakat yang dikonstruksi berdasarkan pengandaian dan implikasi-implikasi teoritik Hobbes dan Locke tentang Kontrak Sosial.

Dalam kaitannya dengan Badan Pengawas Pemilu, ancaman terbesarnya adalah, integritas dan politik uang. 

Dalam pengalaman saya, Bawaslu terlalu lemah untuk melakukan supremasi etika politik. 

Kekuatan kekuasaan dan uang potensial menyeret Bawaslu terpeleset dalam ceruk dengan batu cadas.

Oleh karena itu, kelompok akademis, intelektual, aktifis, mahasiswa, dosen-dosen Hukum Tata Negera khususnya, harus keluar dari kampus. Hadir dalam situasi demokrasi yang kolosal dan glamor ini.

Beri Bawaslu vitamin, kuatkan, kontrol, komentari, kritik, agar integritasnya terjaga dan energinya lebih kuat.

Kelompok akademik memiliki legitimasi untuk itu. Jangan senang menjadi "macan kertas". Menulis di jurnal, disertasi atau tesis, tapi tulisannya tak berdampak pada situasi sosial di lingkungan sendiri.

Begitulah pemantik diskusi yang saya sampaikan. _Ro'yuna showab wayahtamilul khoto', wa ro'yu ghairina khoto' wayahtamilusshawab._

Salam haha hihi... (*)