Riwayat Syekh Ali Akbar Pasongsongan (7)
Penulis: Yant Kaiy
Menurut KH. Ismail Tembang Pamungkas, sebenarnya nama
Pasongsongan berasal dari kata “songsong”. Makna lain dari kata songsong adalah sambut.
Jadi Pasongsongan bermakna adalah sebuah tempat atau lokasi penyambutan
kehadiran raja-raja.
Berkali-kali
memang Raja Sumenep berkunjung ke Pasongsongan dalam rangka meminta petunjuk dan
bantuan kepada Syekh Ali Akbar. Karena beliau merupakan tokoh sentral
Pasongsongan yang memiliki pengaruh. Wajar kalau akhirnya banyak orang menyebut
tempat tinggal Syekh Ali Akbar menjadi Pasongsongan. Apalagi di jaman itu hanya lokasi beliau yang
paling sering didatangi Raja Sumenep.
Faktor
kedua kenapa Pasongsongan sering didatangi Raja Sumenep, itu disebabkan
Pasongsongan memiliki potensi hasil ikan sangat melimpah. Nelayan-nelayan
Pasongsongan kala itu sudah bisa melaut ke mana-mana untuk menangkap ikan dan
sudah menjadi mata pencaharian mereka saban hari.
Faktor
ketiga kenapa Raja Sumenep sering datang ke Pasongsongan, yakni karena
Pasongsongan merupakan tempat berlabuhnya kapal-kapal penumpang yang siap
mengantarkan raja atau siapa saja yang
hendak bepergianke lewat jalur laut. Nelayan-nelayan Pasongsongan sudah
terpercaya dan ahli dalam berlayar mengarungi samudera luas. Mereka cukup
handal dalam proteksi keselamatan bagi penumpangnya. Tahu betul tentang arah
mata angin dan juga cuaca. Mereka juga sangat pintar dalam membaca bintang di
langit apabila malam tiba. Karena dari bintang inilah juga diketahui tentang
arus bawah laut yang juga sering menyeret perahu menjadi tenggelam. Dari arus
bawah laut pula yang membuat perjalanan lebih lambat sampai ke tempat tujuan
karena arah kapal bisa berubah sewaktu-waktu.
KH.
Ismail Tembang Pamungkas menegaskan, bahwa Raja Sumenep yang paling sering
datang ke Pasongsongan adalah Raja Bindara Saod. Beliau adalah putra dari Kyai
Abdullah yang dilahirkan di Desa Batu Ampar Kecamatan Guluk Guluk dan masih
masuk wilayah Kabupaten Sumenep.
Kyai
Imam Arifin menambahkan pendapat KH. Ismail Tembang Pamungkas, bahwasanya istri Kyai Abdullah yang bernama Nyai
Narema/Nairima masih saudara sepupu Syekh Ali Akbar. Jadi Raja Bindara Saod adalah
keponakan sepupu dari Syekh Ali Akbar.
Maka sangatlah wajar jikalau antara Raja Sumenep dan Syekh Ali Akbar
begitu dekat. Itu disebabkan karena keduanya masih ada hubungan darah.
Kalaupun
tidak ada ikatan kekeluargaan antar keduanya misalnya, tidak mustahil pula jikalau
Raja Bindara Saod tidak akan ke
Pasongsongan. Sebab Kerajaan Sumenep sangat membutuhkan “amunisi” dalam keberlangsungan
roda pemerintahannya. Yang Sang Raja perlukan dari seorang Syekh Ali Akbar,
tokoh agama yang sangat disegani oleh pemuka-pemuka agama Islam di Sumenep,
yakni petuahnya. Yang paling utama Raja Bindara Saod butuhkan adalah karomah doa
yang dimiliki Syekh Ali Akbar.
Dan ternyata berkat kekuatan doa Syekh Ali Akbar
Kerajaan Sumenep berkibar dan bersinar serta sangat diperhitungkan
keberadaannya oleh beberapa kerajaan atau kekuatan lain di kala itu. Kerajaan
Sumenep sering berjaya dalam menumpas pemberontak-pemberontak yang mengancam
keutuhan dan persatuan kerajaan. Sebab selain dari doa mustajab Syekh Ali
Akbar, Kerajaan Sumenep sering pula mendapatkan bantuan dari beliau dari segi
pasukan keamanan.
Dan
jikalau ditarik lurus silsilah antara Syekh Ali Akbar dan istri Kyai Abdullah
sama-sama keturunan Pangeran Mandaraga. Pangeran Mandaraga atau Raden Piturut sendiri adalah
Raja Sumenep yang berkuasa dari 1331 sampai 1339 M dan merupakan Raja Sumenep
yang ke-6.
Dari
banyak pendapat tokoh sejarah dan hampir
seragam pernyataan mereka, bahwasanya tidak hanya Raja Bindara Saod saja yang pernah menginjakkan kakinya di bumi
Pasongsongan. Ada kemungkinan besar masih ada Raja Sumenep yang lain yang
datang ke Pasongsongan. Apalagi keraton Kerajaan Sumenep pernah ada di dekat
Pasongsongan, yakni ketika masa kepemimpinan Raja Pangeran Mandaraga dan
putranya yang bernama Raja Pangeran Bukabu Wotoprojo. Keraton Raja Penembahan
Mandaraga berada di Keles dan keraton Raja Pangeran Bukabu Wotoprojo berada di Bukabu.
Sekarang kedua tempat keraton tersebut masih masuk wilayah Kecamatan Ambunten
berjarak sekitar 11 km dengan Pasongsongan. Cukup dekat.
Ditambah
lagi hal itu dikarenakan Pasongsongan merupakan pusat pelabuhan besar yang ada
di Sumenep. Di mana pelabuhan di jaman itu merupakan sentral perekonomian
masyarakat. Pelabuhan adalah pintu gerbang utama keluar-masuk barang-barang
yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Apalagi pelabuhan berfungsi sebagai
sarana transportasi satu-satunya bagi seorang raja atau masyarakat umum apabila
mau bepergian ke pulau lain atau bahkan ke mancanegara.
Bukti
kalau Pasongsongan merupakan pusat pelabuhan terbesar di Sumenep yaitu adanya
Astah Buju’ Panaongan dan makam Buju’ Dhegeng (Bhs. Madura: dhegeng = dagang).
Makam Buju’ Dhegeng misalnya, keberadaannya yaitu di sebelah timur Astah Buju’
Panaongan, berjarak kurang lebih 400 meter. Umumnya pedagang-pedagang itu
berasal dari berbagai pelosok negeri. Untuk pedagang yang sangat jauh dengan
pelabuhan Pasongsongan, biasanya mereka lebih memilih tinggal dan menetap di
situ. Pada akhirnya mereka membentuk komunitas di daerah tersebut. Di antara
pedagang yang paling banyak tinggal di
daerah Pasongsongan kebanyakan dari
jasirah Arab dan Negeri Tirai Bambu China. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.