Riwayat Syekh Ali Akbar Pasongsongan (8)
Penulis: Yant Kaiy
Menurut
pengamatan tokoh agama yang ada di Pasongsongan, bahwa di sebelah timur Astah
Buju’ Panaongan terdapat bekas pondasi bangunan pondok pesantren. Menurut Sri
Sundari, santri-santri yang mondok di situ pada jaman dahulu berasal dari
negara-negara tetangga dan beberapa warga
kerajaan Islam yang ada di tanah air. Sementara tenaga pengajarnya kebanyakan
dari Negara Timur Tengah.
Jadi
ada kemungkinan besar kalau di tempat tersebut merupakan pusat peradaban Islam
pertama kali yang ada di Sumenep. Memang dalam hal ini tidak ada sebuah catatan
yang mempertegas, tapi bukti kalau di
situ ada bekas pondasi pondok pesantren masih bisa dilihat sampai sekarang.
Terputusnya
keterkaitan bahwa di situ tempat santri-santri belajar agama Islam lantaran
para ustadz tidak terus menerus tinggal di Pasongsongan. Mereka memilih menyebar
ke mana-mana menyampaikan risalah Islam. Mengabarkan kepada umat tentang
indahnya agama Islam. Sebuah agama baru yang dapat memberikan rahmat ke
sekalian alam. Mereka berpindah-pindah tempat. Maka tidak heran jikalau makam
para waliyullah yang ada di Astah Buju’ Panaongan baru diketemukan pada tanggal
9 September 1999. Jadi makam para
pendakwah tersebut sudah tertimbun pasir selama ratusan tahun yang lalu. Sampai
sekarang pun tidak ada investigasi komprehensif yang bisa menghubungkan Astah
Buju’ Panaongan dengan babad Madura. Tidak ada.
Opini
Sri Sundari tersebut senada dengan komentar Ustadz Aji Lahaji. Menurut lelaki
yang tinggal di Ibu Kota Jakarta ini berasumsi bahwa, penyebaran agama Islam
bertolak dari Pasongsongan menyebar ke berbagai pelosok negeri termasuk ke
pulau-pulau kecil yang ada di sekitar Pulau Madura. Ustadz Aji Lahaji menelaah
lebih tajam berdasarkan pengamatannya lewat ditemukan Astah Buju’ Panaongan.
Dari batu nisan di makam tersebut tertulis gelar Syekh dan Kyai. Dari kedua
gelar ini bisa ditarik benang merah, bahwa orang-orang yang dikebumikan di Astah
Buju’ Panaongan tersebut adalah orang-orang pendakwah, penyebar agama Islam dan
peletak kebudayaan Islam. Pelan tapi pasti keberadaan mereka begitu sangat
mewarnai banyak sisi di tengah-tengah masyarakat Pasongsongan. Mereka telah
berhasil menancapkan power kebudayaan dan agama yang dianutnya di tengah
masyarakat setempat yang kompleks dengan aliran kepercayaan.
Kembali
ke sejarah Pasongsongan. Ustadz Komarudin punya pendapat lain, bahwa
Pasongsongan berasal dari kata “song-ngosong” (Bahasa Madura) yang bermakna
mengangkut atau memindahkan suatu benda yang agak berat. Alasannya karena dulu
pesisir laut Pasongsongan ramai disinggahi perahu-perahu besar. Mulai dari
saudagar dalam negeri ataupun luar negeri. Baik itu tujuannya untuk berdagang
ataupun berdakwah menyebarkan agama mereka.
Karena
tidak ada dermaga kala itu di Desa Pasongsongan, otomatis perahu-perahu
tersebut tidak bisa mendekat ke bibir pantai. Akhirnya mau tidak mau perahu
mereka melepaskan sauhnya agak ke tengah laut. Dan barang-barang bawaan dan dagangan
para saudagar itu diturunkan dengan para kuli angkut dari warga sekitar. Kemudian barang-barang
tersebut diangkut ke daratan. Tentu para buruh angkut tersebut harus
berbasah-basah air laut karena badan sampai leher mereka berada di dalam air
laut.
Pendapat
senada juga dilontarkan oleh Sri Sundari, menurut cerita yang didengarnya dari
kakeknya dulu, bahwasanya dahulu kala, Pasongsongan merupakan lokasi persinggahan
kapal-kapal besar dan merupakan sebuah pelabuhan paling sibuk setiap harinya.
Kenapa demikian, karena di samping sebagai pelabuhan kapal-kapal besar yang
mengangkut barang dagangan, pelabuhan Pasongsongan juga merupakan tempat
penjualan ikan yang diperoleh dari hasil tangkapan para nelayan setempat.
Ustadz
Abdul Karim Mastura sependapat dengan Sri Sundari, bahwa apabila Raja Sumenep
mau bepergian ke Sulawesi dan pulangnya juga, barang-barang bawaannya diangkut
dengan tenaga manusia. Sedangkan Sang Raja ditandu dengan para pengawalnya.
Dari kata “song-ngosong” itulah lahirlah nama daerah tersebut menjadi
Pasongsongan sampai sekarang.
Ada
juga pendapat lain, bahwa Pasongsongan berasal dari kata “panyongngo’an” (Bahasa Madura) yang artinya adalah sebuah
tempat untuk melihat raja yang datang. Masuk akal sekali, biasanya kalau ada
seorang pemimpin atau pembesar kerajaan yang datang ke suatu tempat orang-orang
pasti akan banyak yang datang untuk melihatnya. Tidak pada jaman dulu, jaman
sekarang pun kebiasaan ini juga masih berlaku adanya.
KH.
Ismail Tembang Pamungkas mempertegas, bahwasanya yang datang ke Pasongsongan
tidak hanya Raja Bindara Saod saja. Tentu masih ada banyak kemungkinan beberapa
Raja Sumenep yang lain yang datang ke Pasongsongan. Ia meyakini hal tersebut
karena dari beberapa cerita dalam tembang Macapat menyebutkan kalau Pasongsongan
merupakan tempat bongkar-muat barang-barang dagangan kapal dan berniaga dengan masyarakat.
Walaupun ia bukan orang asli Pasongsongan, tapi ia pernah mendengar cerita dari orang tuanya, kalau Pasongsongan seringkali kedatangan raja. Baik itu raja-raja dari Sumenep atau raja-raja dari luar Madura. Tetapi KH. Ismail Tembang Pamungkas tidak mempunyai literatur cukup valid untuk memastikan hal tersebut. Walaupun demikian, ia sangat percaya kalau apa yang dikatakan orang tuanya benar adanya. Karena orang tua KH. Ismail adalah salah seorang seniman Macapat. Kesenian Macopat sendiri adalah sebuah kesenian yang menembangkan (melagukan) sebuah kisah atau cerita, baik itu cerita atau sejarah tentang Islam, kerajaan, adat-istiadat, tatakrama, hubungan kekeluargaan, dan lain sebagainya. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.