Bingkai Sejarah Buju’ Panaongan Madura (9)



Penulis: Yant Kaiy

Di Bangkalan misalnya, sejarah perkembangan Islam di kabupaten paling barat di Pulau Madura ini diawali dari masa pemerintahan Panembahan Pratanu yang bergelar Lemah Duwur. Panembahan Pratanu diangkat menjadi raja pada 24 Oktober 1531 dan dirinya sudah memeluk agama Islam. Panembahan Pratanu belajar Islam kepada Patih Empu Bageno. Sedangkan Patih Empu Bageno mempelajari Islam dari Sunan Kudus atas perintah ayah Panembahan Pratanu yang bernama Raja Pragalba. Sebagai orang yang memiliki power kekuasaan, Panembahan Pratanu menyebarkan Islam tanpa mengalami kesulitan di daerah Arosbaya, sekitar 20 km dari Kota Bangkalan ke arah utara. Kendati Islamisasi di Bangkalan berangkat lewat tangan sang penguasa itupun tidak serta-merta masyarakatnya muslim, karena hanya penyebarannya yang mudah. Sementara untuk menjadikan muslim mayoritas masih memerlukan proses panjang dalam tempo yang cukup lama.

Tidak mudah membulatkan pipa besi yang lurus hanya dengan tangan kosong. Dibutuhkan suatu media/alat dengan tata cara yang baik agar hasil akhir sesuai dengan harapan. Begitu pula dengan proses penyebaran agama Islam di Madura. Kita tentu sudah banyak tahu tentang karakter orang Madura yang “keras” karena lingkungan telah mempengaruhinya sedemikian rupa. Tapi setelah masuknya ilmu Islam ke batin mereka, akhirnya watak dan sikap mereka berubah 180 derajat. Mereka kemudian memiliki sifat kelembutan yang membanggakan, seperti yang diajarkan Baginda Nabi Muhammad SAW. Itulah indahnya Islam sehingga banyak penganut-penganut baru bermunculan di bumi Madura.

Adalah Panembahan Ronggosukowati sebagai raja pertama Pamekasan yang secara terang-terangan mengajarkan agama Islam kepada rakyatnya. Beliau menggantikan kedudukan ayahandanya yang sudah tua, Pangeran Nugeroho alias Bonorogo. Panembahan Ronggosukowati memerintah Pamekasan sekitar paruh kedua abad XVI, ketika pengaruh Mataram mulai masuk Madura. Panembahan Ronggosukowati muda belajar Islam kepada Sunan Giri atau Raden Paku. Konon Panembahan Ronggosukowati menyiarkan Islam di Pamekasan bersama seorang santri Sunan Giri bernama Sayyid Muhammad bin Abdurrahman bil Faqih.

Menurut beberapa literatur tentang sejarah dan perkembangan Islam di Pulau Madura memang banyak telaah. Berbagai riset mengetengahkan data sebagai pijakan opininya mengemuka ke tengah-tengah publik. Ada sebagian yang pesimistis terhadap banyak kajian tersebut karena riset mereka cukup lemah. Namun ada pula yang bergairah dan tersentak merespons temuan anyar terhadap peninggalan jejak sejarah baru. Seperti penemuan jejak sejarah Islam yang ada di Desa Panaongan. Astah Buju’ Panaongan  menurut beberapa sejarawan adalah sebagai titik paling awal Islam ada di Madura.

Pada catatan di babad Sumenep diterangkan kalau masuknya agama Islam pertama ada di Pulau Sapudi. Pulau yang masih masuk wilayah administrasi Kabupaten Sumenep ini digadang-gadang memiliki andil awal dalam penyebaran agama Islam. Adalah Sayyid Ali Murtadha (kakek dari Adi Poday dan Adi Rasa) yang datang ke Pulau Sapudi sekitar tahun 1400-an yang bersama puteranya bernama Pangeran Pulang Jiwo atau lebih dikenal dengan nama Panembahan Belingi.

Narasi ini sepertinya “rontok” setelah ditemukannya kuburan para  syekh di Desa Panaongan. Suka tidak suka terhadap kenyataan sejarah ini memang diperlukan lagi sebuah riset menyeluruh terhadap keberadaan Astah Buju’ Panaongan sebagai pembuktiannya. Penemuan makam bernama Syekh Abu Suhri yang wafat 1281 menunjukkan sebuah realitas yang tidak bisa dibantah lagi. Ada lagi kuburan Syekh Al-Arif Abu Said yang wafat 1292. Penemuan ini semakin memperkuat keberadaan Islam di Desa Panaongan. Jelas dan meyakinkan kalau di abad ke-11 Islam sudah berkembang ‘terbatas’ di daerah ini karena mereka menyebarkan Islam secara sembunyi-sembunyi seperti yang diterangkan oleh KH. Ismail Tembang Pamungkas. Syiar Islam dengan metode sembunyi-sembunyi ini sengaja para waliyullah sikapkan karena mereka tak menghendaki terjadi sesuatu hal yang bisa menyebabkan dirinya terkucil dari lingkungannya. Kalau ini terjadi, sudah dipastikan yang rugi adalah dirinya sendiri. Dari sikap sembunyi-sembunyi arifbillah inilah yang menyebabkan tidak terdatanya mereka di museum sejarah Kabupaten Sumenep.

Ada memang sebagian pengamat sejarah yang meragukan dan mempertanyakan keabsahan sejarah Islam di Panaongan. Itu boleh-boleh saja sepanjang mereka mau menelisik lebih dekat tentang keberadaan Buju’ Panaongan tidak hanya dari satu sisi saja. Tak bijak rasanya kalau kita hanya menelaah dari perspektif kuantitas semata. Sebab Astah Buju’ Panaongan adalah obyek peninggalan bersejarah yang terputus akibat wabah tha’un. Orang-orang yang terkubur di sana diperkirakan hidup di abad ke-11. Maka kita harus menguliti tentang adanya bekas pondasi pondok pesantren di sekitar Astah Buju’ Panaongan yang diperkirakan sebagai berdirinya pondok pesantren tertua di Madura. Kita harus mengupas tuntas tentang sejarah pelabuhan Pasongsongan yang tercatat sebagai pelabuhan pesisir pantai utara terbesar di wilayah Madura. Dan pelabuhan Pasongsongan ini tercatat pula sebagai tempat mendaratnya para waliyullah etnis Arab. Kita harus juga mempelajari tumbuh-kembang etnis China yang ada di Pasongsongan yang menjadi penggerak utama majunya perniagaan di daerah tersebut. Mau tidak mau juga kita mesti berbenturan dengan keberadaan sosok Syekh Ali Akbar Syamsul Arifin yang tak lain adalah paman dari Raja Sumenep Bindara Saod. Pernak-pernik seperti budaya, tradisi, adat-istiadat juga membutuhkan kajian yang komprehensif agar semuanya menjadi terang benderang. Jernih dan tidak diragukan. Elemen-elemen inilah yang perlu diperjelas dari beberapa riset dan observasi lapangan, bukan sekadar merujuk pada daftar pustaka.

Sama sekali bukan tujuan para tokoh sejarah Desa Panaongan ingin “merampok” eksistensi beberapa temuan sebelumnya yang mengatakan kalau Islam lebih awal ada di tempat lain. Beberapa tokoh agama di Desa Pasongsongan dan Panaongan sama sekali tidak antipati dengan “celoteh”  dari sosok yang berlabel sejarawan. Oleh karena itu mereka tetap menghargai berbagai temuan yang direkontruksi oleh banyak kalangan sebagai wujud ikhtiar dari dedikasi yang dimilikinya. Tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk  menuliskan sejarah Desa Panaongan di buku. Namun mereka  mempunyai kapasitas meniscaya, sebab mereka lahir dan besar di Panaongan. Makan, minum dan buang air besar di bumi Panaongan. Mereka tidak akan bisa mengelak dari fakta yang ada. Bukan dari mitos, melainkan situs peninggalan yang riil.

Seperti Syekh Ali Akbar Syamsul Arifin yang meninggal tahun 1000 Hijriah. Tulisan tersebut ada di daun pintu Astah Syekh Ali Akbar. Atau tulisan yang terdapat di nisan Syekh Al-Arif Abu Said (wafat 1292) dan Syekh Abu Suhri (wafat 1281) di Astah Buju’ Panaongan. (Bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Soa-soal Bahasa Madura Kelas III

Soal-soal Bahasa Madura Kelas IV SD

Madura Breaking News💥 BKN Resmi Tunda Pelaksanaan Seleksi PPPK Tahap II😭 Peserta Wajib Tahu😭🆘

Terkini‼️ Kepedulian Agus Sugianto Tak Hanya untuk Siswa, tapi Juga untuk Guru💪

Soal dan Kunci Jawaban Bahasa Madura PAS Kelas IV SD

KKG Gugus 02 SD Pasongsongan Gelar Rapat Rutin Bulanan

Musyawarah Haflatul Imtihan Madrasah Annidhamiyah 2025: Konsolidasi Menuju Puncak Prestasi💪

Kepercayaan Publik terhadap SDN Panaongan 3 Kian Meningkat, Wujud Nyata Pembelian Kendaraan Roda Tiga🔥

Luar Biasa🔥 Polres Sampang Tertibkan Kendaraan Bermotor, Razia hingga Kecamatan⁉️

Miris‼️ Warga Pasongsongan Merasa Khawatir, Jembatan Sungai Angsono Masih Gelap Gulita😎