Hairul Anwar, owner Goa Soekarno Pasongsongan-Sumenep |
Catatan: Yant Kaiy
Memang tidak mudah menakar keimanan seseorang. Karena
keimanan seseorang erat kaitannya dengan soal ketakwaan. Keimanan seseorang ibarat
batu yang ada di dasar danau. Kalau batu di dalam danau dilihat dari atas
wujudnya tentu tidak seperti aslinya. Mungkin juga bentuknya akan seperti roti.
Kalau air danau tertimpa sinar matahari tentu rupa batu tersebut berubah pula.
Begitu pula ketika airnya beriak, maka rupa batu berganti seperti makhluk
hidup.
Banyak orang yang sudah beragama dalam menjalankan ibadah
ritual karena takut dikatakan sebagai manusia bejat. Pura-pura khusyuk seperti
penampilan orang yang ahli beribadah. Padahal dalam batinnya ingin memperoleh
puja-puji dari orang lain. Ia sebenarnya ingin mendapat legitimasi bahwa
dirinya insan terbaik, terhormat, termulia diantara orang-orang yang ada di
lingkungannya.
Ada pula yang beribadah karena mengharapkan dunia saja. Ia
melakukan kewajiban beribadah lantaran ingin diterima sebagai menantu orang
kaya. Padahal mereka tahu kalau beribadah semacam itu adalah perbuatan mubazir.
Hanya buang-buang tenaga dan hanya dapat lelah.
Apalagi di era millenial saat ini, banyak keimanan
tergadaikan dengan melakukan penyelewengan amanah yang diberikan pada dirinya.
Mereka mencemari hidupnya dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Padahal setiap
bulan pasti mendapat gaji tepat waktu. Bukan mereka tidak mengerti kalau semua itu
perbuatan dosa,
Justru mereka adalah tokoh agama yang nota bene sudah pakar
dalam hukum-hukum agama yang dianutnya.
Jadi kapasitas keimanan seseorang tidak bisa hanya dilihat
dari sisi performanya saja. Tidak pula bisa diintip dari sisi penampilan baju
dan sikapnya. Namun kualitas keimanan seseorang bisa dilihat dari perilaku
saban harinya. Seperti halnya beribadah ritual, bergaul dengan orang-orang
sekitarnya. Adalah orang-orang terdekat yang bisa mengukur sampai seberapa
hebat keimanan seseorang dibanding dengan orang lain.
Atau bisa jadi menakar keimanan seseorang itu lewat
wawancara dengan tetangganya. Biasanya mereka akan memberikan penjelasan,
gambaran kepribadian, dan tingkah lakunya secara transparan. Sebab mereka yang
lebih tahu karakter, tingkah laku ketika berada di tengah-tengah masyarakat,
sikapnya dalam berinteraksi dengan teman dan keluarga serta tetangga
sekitarnya, sikapnya dalam mengatasi persoalan atau konflik dengan keluarga dan
lingkungan.
Jadi mengukur keimanan seseorang bisa ditelisik oleh mereka
yang ada di sekitarnya. Syaratnya orang yang mau ditakar keimanannya adalah
orang yang sedari kecil sudah ada di lingkungan tersebut. Berbeda dengan warga
pendatang. Mereka akan cukup kesulitan menakar keimanan seseorang. Memang ini
bukan sesuatu yang mutlak. Namun paling tidak menjadi salah satu acuan awal
dalam mengukur kualitas keimanan seseorang.
Hairul Anwar penganut agama Islam taat. Sedari kecil ia telah
diajarkan halal-haram oleh orang tuanya. Mereka menyadari kalau saat kecillah
yang paling tepat menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Ternyata sesuai
dengan impian orang tuanya, Hairul Anwar kecil menyukai ilmu-ilmu Islam yang
diajarkan guru mengaji dan para ustadz di Madrasah Ibtidaiyah.
Orang tua Hairul Anwar memahami benar kalau menjalankan
ibadah amaliah adalah harga mati. Tak bisa ditawar-tawar. Sebab setiap manusia
beragama yang tidak menjalankan kewajibannya, maka hidupnya takkan bahagia
dunia dan akhirat. Mereka tidak akan tenang.
Maka ketika Hairul Anwar sangat menguasai Kitab Sullam
Safinah, beberapa saudara dari kedua orang tuanya menganjurkan Hairul Anwar
untuk dimasukkan pada salah satu pondok pesantren di Pulau Jawa. Pada waktu itu
dia masih di bangku Sekolah Dasar. Seperti tradisi para leluhurnya, menimba
ilmu agama Islam dengan menjadi santri di pondok pesantren. Tujuannya agar
Hairul Anwar bisa menggantikan posisi pamannya, Kiai Mustamar, melanjutkan
pengelolaan pondok pesantrennya.
Kenapa mesti Hairul Anwar? Hal itu karena dia mempunyai nilai
lebih ketimbang saudara-saudaranya yang lain. Mereka percaya kalau di tangan
Hairul Anwar pondok pesantren warisan dari leluhurnya itu bisa berkembang dan
menjadi pondok pesantren besar.
Menurut sejarahnya, dulu pondok pesantren Kiai Mustamar
merupakan salah satu pondok pesantren satu-satunya yang melakukan kajian kitab
kuning di Kecamatan Pasongsongan. Walau bukan pondok pesantren tertua, tapi
pada awal Kemerdekaan Indonesia pondok pesantren leluhur Hairul Anwar sudah memiliki
ratusan santri. Kiai Mustamar membidik Hairul Anwar untuk menggantikan
posisinya karena ada firasat baik dalam dirinya.
Di mata Kiai Mustamar, Hairul Anwar punya sikap penyabar,
santun, berbakti kepada kedua orang tuanya, sangat hormat pada orang yang lebih
dewasa, mudah diajak berdiskusi, tidak pendendam, suka memaafkan, dan yang
terpenting lagi dia anak berotak brilian. Cukup syarat bagi Hairul Anwar untuk
menduduki pengasuh pondok pesantren.
Yant Kaiy, penjaga gawang apoymadura.com
Komentar
Posting Komentar