Langsung ke konten utama

Catatan Herry Santoso: Suatu Malam di Kota Blitar

Foto: Suasana Kota Blitar lengang dini hari (Dok. Pribadi)

Di Saat Covid-19 Merebak

Selepas dini hari (29/2/20)  saya masih berada di jantung kota Blitar. Suasana lengang. Tak satu pun kendaraan melintas, kecuali patroli dari kepolisian dan Pol PP yang sesekali merobek malam.

Mereka berhenti di setiap ada kerumunan orang. Ya, sekadar mendekati orang-orang yang masih ngopi menghabiskan malam di depan stasiun KA Kota Blitar.

"Bapak mau ke mana ?" tanya salah seorang pada saya. Agar tidak banyak masalah, kutarik pers card  yang saya kalungkan di leher, seraya menunjukkannya.  Untung salah seorang kenal baik dengan saya, hingga segera berlalu.

" Aja bengi-bengi Mbah, nganti isuk ae, " - (Jangan malam-malam Kek, sampai pagi saja ) - ucapnya berkelakar, yang membuatku tersenyum kecut.

Ngojek Orang Gila

Sepeda motor saya kembali merobek kesenyapan. Sesampainya di Makam Bung Karno, ada sosok mencurigakan duduk-duduk sendirian di depan Saptra Mandala Hotel. Dari dandanannya yang perlente saya berpikir ia seorang boss. Mengenakan jacket woll, sepatunya juga mahal, ternasuk arloji di pergelangan tangannya.
"Bapak sendirian ?" tanyanya. Saya mengiyakannya. Bahkan ia menyodorkan Marlboro Menthol, tapi dengan halus saya menolak.

Usianya baru paro baya. Sekitar 40-an.
"Saya dari Australia. Mau pulang ke Blitar tapi tidak ada kendaraan umum. Bisakah Bapak mengantar saya hingga Balai Kota ?" katanya. Saya pun mengangguk. Kembali motor saya merobek malam meluncur ke Balai Kota Blitar.

"Sudah aku turun sini saja, " setibanya di depan  Kantor Waki Kota. Di sana saya masih  ketemu beberapa orang sesama jurnalis.

"Mbah. Kok ngojol ?" tanya mereka sambil tergelak.  Saya baru paham setelah di antara mereka mendekat dan buru-buru memberikan isyarat dengan menyilangkan telunjuknya di depan jidatnya.

Busyet. Hampir setengah jam melayani orang gila, rutukku dalam hati, serta-merta tancap gas ke Blitar utara.
Foto: Ritual macapat (Dok. Pribadi)

Melongok Ritual Gaib

Jam sudah menunjukkan pukul 01,12 menit. Saya bertolak pulang. Sepanjang perjalanan tak ada tanda-tanda kehidupan berdenyut. Angin pagi semilir. Belum sampai tiba di rumah, sayup-sayup terdengar orang melantunkan kidung melalui loospraker.

Nafsu petualangan yang tersisa mendorong saya mencari sumber suara tersebut. Ternyata ada orang melekan sambil melakukan ritual macapat. Ada uborampe di antara mereka sebagai sesaji, tumpeng, dan bunga setaman.

"Untuk apa, Pak sesaji ini ?" tanya saya.
"Tolak balak, Mase. Ini sudah kami lakukan secara turun-menurun, di saat negara tengah menghadapi marabahaya. Seperti saat ini konon ada Corona..." akunya serius.

Saya pun segera mohon diri. Dari kejauhan sayup-sayup masih terdengar alunan kidung jimat itu. Terbang bersama angin pagi yang semilir di ambang fajar, menambah suasana semakin atis dan mencekam.... ( Herry Santoso / Jf.id ) 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Guru Honorer PAI di Sumenep tidak Terurus

Catatan: Yant Kaiy Tidak adanya rekrutmen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) bagi guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di lingkungan Dinas Pendidikan Sumenep, menambah panjang penderitaan mereka. Karena harga dari profesi mulia mereka sebagai pendidik dibayar tidak lebih dari Rp 300.000,- per bulan. Rupanya pihak pemangku kebijakan masih belum terketuk hatinya untuk mengangkis mereka dari lembah ketidak-adilan. Sekian lama guru PAI terjebak di lingkaran mimpi berkepanjangan. Impian para guru PAI ini untuk menjadi PPPK menyublim seiring tidak adanya jaminan kesejahteraan. Namun mereka tetap berkarya nyata walau kesejahteraan keluarganya jadi taruhan. Mereka tetap tersenyum mencurahkan keilmuannya terhadap murid-muridnya. Animo itu terus bersemi karena ada janji Allah, bahwa siapa pun orang yang mendermakan ilmu agamanya, maka jaminannya kelak adalah surga. Barangkali inilah yang membuat mereka tidak bergolak dalam menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak turu

Panji Gumilang Pesohor Akhir Kekuasaan Jokowi

Catatan: Yant Kaiy Emosi rakyat Indonesia berpekan-pekan tercurah ke Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun, Panji Gumilang. Episode demi episode tentangnya menggelinding bebas di altar mayapada. Akhirnya, lewat tangan-tangan penguasa ketenangan dan kenyamanan Panji Gumilang mulai terusik. Telusur mereka berdasar pernyataan dirinya tentang beberapa hal yang dianggap sesat oleh sebagian besar umat Islam di tanah air. Cerita tentangnya menenggelamkan beraneka berita krusial dalam negeri. Isu ketidakadilan, kasus besar menyangkut hajat hidup orang banyak menyublim di dasar laut Al Zaytun. Banyak orang bertanya-tanya, seberapa perkasa Panji Gumilang di mata hukum Indonesia. Ia bertakhta atas nama kebenaran walau kadang berseberangan jalan dengan organisasi Islam yang ada. Mungkin baginya, berbeda itu indah. Sekarang tugas penguasa menyembuhkan suasana negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Tidak ada nilai tawar.[] - Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com

SDN Panaongan 3 Layak Menyandang Predikat Sekolah Terbaik di Pasongsongan

Agus Sugianto (kanan) bersama Kepala Dinas Pendidikan Sumenep Agus Dwi Saputra. [Foto: Sur] apoymadura.com  - SDN Panaongan 3 terletak di Dusun Campaka Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Lokasinya masuk pelosok dengan jalan rusak ringan. Warga masyarakatnya sebagai besar bekerja di ladang sebagai petani. Musim penghujan mereka bercocok tanam jagung. Musim kemarau masyarakat lebih banyak menanam tembakau.  Ada pula sebagian dari mereka merantau ke kota lain. Bahkan ada yang bekerja di Malaysia, mengadu peruntungan agar kesejahteraan hidup lebih baik. Etos kerja warga masyarakat cukup tinggi. Mereka sadar, putra-putri mereka paling tidak harus punya pondasi keilmuan yang cukup. Agar dalam mengarungi hidup lebih indah, sesuai impiannya. Kendati perekonomian mereka rata-rata lemah, namun masalah pendidikan anak-anaknya menjadi sebuah prioritas. Karena mereka sadar, hidup bahagia itu lebih lestari dengan ilmu. Mereka menginginkan pendidikan putra-putrinya ke tingkat p