Langsung ke konten utama

Pak Mahfud: Jangan Hina Pengadilan


Oleh: Sulaisi Abdurrazaq
(Ketua DPW APSI Jatim dan Direktur LKBH IAIN Madura)

Prinsip independensi hakim itu prinsip universal, berlaku di seluruh dunia.

Saya kecewa terhadap sikap Pak Mahfud MD, yang akhir-akhir ini mengomentari perkara belum inkrah terkait gugatan PMH Partai Prima melawan KPU di PN Jakpus. 

Kecewanya itu karena wajah Pak Mahfud kan sekaligus sebagai Menkopolhukam, ia pembantu Presiden, jadi di wajah Pak Mahfud itu ada wajah Presiden. Sebagai pembantu Presiden, komentarnya pasti mempengaruhi batin publik. Seolah-olah keadilan dan kebenaran tentang hukum itu hanya apa yang diucapkan Pak Mahfud. Kalau saya menjadi Pengacaranya Partai Prima, tentu saya tidak senang dengan sikap Pak Mahfud yang sekaligus Menkopolhukam. 

Pak Mahfud MD itu menunjukkan sikap tidak hormat terhadap putusan pengadilan. Inilah semestinya yang diatur negara ini, agar sikap-sikap seperti ini dapat dikualifikasi sebagai contempt of court atau penghinaan terhadap Pengadilan.

Kita tahu lah, Pak Mahfud ini guru kita bersama, teladan kita, seorang negarawan yang terampil dan pandai membaca arah angin dalam setiap momentum politik. Kita tidak dapat membaca kemana arah sikap Pak Mahfud MD itu, apakah berkaitan dengan politik jelang 2024 atau tidak.

Tetapi yang jelas, karena komentar Pak Mahfud memberi bobot pada Tergugat sehingga  integritas Pengadilan runtuh. Padahal tema Mahkamah Agung di tahun 2023 ini adalah "integritas tangguh, kepercayaan publik tumbuh". Tapi gara-gara Pembantu Presiden memberi sikap tidak hormat pada putusan perkara yang belum inkrah akhirnya kita semua ini seolah-olah harus menghakimi lembaga peradilan. Yang salah seolah-olah pengadilan, dalam hal ini Majelis Hakim Pemeriksa perkara. Ini kan gawat kalau begini. Powerful bener Pak Mahfud ini.

UU memberi kewenangan, tugas dan amanah pada pengadilan untuk memeriksa dan mengadili perkara. Yang tahu proses sidang ya hakim, Penggugat dan Tergugat. Tapi, gara2 Pak Mahfud komentar seolah-olah proses sidang yang panjang itu hanya teatrikal. Hakimnya tersudut, dihakimi publik pula. Kasian sekali hakim-hakim pemeriksa perkara itu.

Kalau publik atau elit-elit  peserta Pemilu seperti Pak Yusril, Pak SBY, aktifis-aktifis Prodem yang komen sih ga masalah.

Tapi, kalau Menkopolhukam, meski ia akan bilang bertindak sebagai dirinya sendiri dan bukan jabatannya, bagi saya, sikap itu sama saja meruntuhkan integritas dan wibawa lembaga peradilan. Kita diminta untuk tidak mempercayai lembaga peradilan. Ini sangat berbahaya kalau tidak kita kritisi.

Apa yang dikatakan Pak Mahfud itu bukan kebenaran tunggal. Gara-gara beliau penguasa aja sehingga memberi bobot pada KPU. Tapi itu kan tidak fair, bukan sikap negarawan yang bijak. Itu sikap reaktif. Bagi saya, itu sikap yang tidak patut untuk kita contoh. 

Celaka jadinya jika kebenaran dan keadilan bergantung pada komentarnya Menkopolhukam. Kl gayanya begitu, saya ingin Pak Mahfud komentari kasus-kasus yang saya tangani, supaya saya bisa menang terus dalam menangani perkara.

Akibat lainnya, publik menjadi beralih perhatian dari mengkritik kelalaian KPU sebagai penyelenggara Pemilu, menjadi menghakimi Partai Prima, seolah-olah Partai Prima tidak punah hak untuk menguji integritas KPU. 

Publik beralih menghakimi pengadilan, menghakimi Majelis Hakim Pemeriksa perkara dan merendahkan putusan. Tak lagi fokus meluruskan kelalaian KPU. 

Kalau KPU kalah, yang jelas ada yang tidak beres dari kinerjanya.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Guru Honorer PAI di Sumenep tidak Terurus

Catatan: Yant Kaiy Tidak adanya rekrutmen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) bagi guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di lingkungan Dinas Pendidikan Sumenep, menambah panjang penderitaan mereka. Karena harga dari profesi mulia mereka sebagai pendidik dibayar tidak lebih dari Rp 300.000,- per bulan. Rupanya pihak pemangku kebijakan masih belum terketuk hatinya untuk mengangkis mereka dari lembah ketidak-adilan. Sekian lama guru PAI terjebak di lingkaran mimpi berkepanjangan. Impian para guru PAI ini untuk menjadi PPPK menyublim seiring tidak adanya jaminan kesejahteraan. Namun mereka tetap berkarya nyata walau kesejahteraan keluarganya jadi taruhan. Mereka tetap tersenyum mencurahkan keilmuannya terhadap murid-muridnya. Animo itu terus bersemi karena ada janji Allah, bahwa siapa pun orang yang mendermakan ilmu agamanya, maka jaminannya kelak adalah surga. Barangkali inilah yang membuat mereka tidak bergolak dalam menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak turu

Panji Gumilang Pesohor Akhir Kekuasaan Jokowi

Catatan: Yant Kaiy Emosi rakyat Indonesia berpekan-pekan tercurah ke Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun, Panji Gumilang. Episode demi episode tentangnya menggelinding bebas di altar mayapada. Akhirnya, lewat tangan-tangan penguasa ketenangan dan kenyamanan Panji Gumilang mulai terusik. Telusur mereka berdasar pernyataan dirinya tentang beberapa hal yang dianggap sesat oleh sebagian besar umat Islam di tanah air. Cerita tentangnya menenggelamkan beraneka berita krusial dalam negeri. Isu ketidakadilan, kasus besar menyangkut hajat hidup orang banyak menyublim di dasar laut Al Zaytun. Banyak orang bertanya-tanya, seberapa perkasa Panji Gumilang di mata hukum Indonesia. Ia bertakhta atas nama kebenaran walau kadang berseberangan jalan dengan organisasi Islam yang ada. Mungkin baginya, berbeda itu indah. Sekarang tugas penguasa menyembuhkan suasana negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Tidak ada nilai tawar.[] - Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com

SDN Panaongan 3 Layak Menyandang Predikat Sekolah Terbaik di Pasongsongan

Agus Sugianto (kanan) bersama Kepala Dinas Pendidikan Sumenep Agus Dwi Saputra. [Foto: Sur] apoymadura.com  - SDN Panaongan 3 terletak di Dusun Campaka Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Lokasinya masuk pelosok dengan jalan rusak ringan. Warga masyarakatnya sebagai besar bekerja di ladang sebagai petani. Musim penghujan mereka bercocok tanam jagung. Musim kemarau masyarakat lebih banyak menanam tembakau.  Ada pula sebagian dari mereka merantau ke kota lain. Bahkan ada yang bekerja di Malaysia, mengadu peruntungan agar kesejahteraan hidup lebih baik. Etos kerja warga masyarakat cukup tinggi. Mereka sadar, putra-putri mereka paling tidak harus punya pondasi keilmuan yang cukup. Agar dalam mengarungi hidup lebih indah, sesuai impiannya. Kendati perekonomian mereka rata-rata lemah, namun masalah pendidikan anak-anaknya menjadi sebuah prioritas. Karena mereka sadar, hidup bahagia itu lebih lestari dengan ilmu. Mereka menginginkan pendidikan putra-putrinya ke tingkat p