Antologi Puisi “Tawa Terperosok Duka” (24)
Karya: Yant Kaiy
Syair
aku
tak mungkin mengulanginya lagi
kalimat
cinta telah kutanam
diantara
pucuk rindu semalam
aku
pun tidak paham sebelumnya
kemana
hasrat diri bisa berlabuh
lantaran
sulit dibedakan
apakah
kau pura-pura tidak tahu
atau
sekadar bangga pada diri sendiri.
Pasongsongan,
21/12/95
Epilog
Berbagai
warna problema telah berulangkali mencambuk perasaan dan hati nurani saya
berulangkali, tapi saya berusaha untuk mengatasinya, salah satu diantaranya
saya mengabadikan potret pengalaman pribadi
lewat puisi. Terus terang, dengan begitu saya merasa lega kendati problema
dan tantangan hidup di alam fana ini akan muncul tanpa terduga dan kehadirannya
seringkali tidak dikehendaki kita. Itulah bagian terpenting dari sisi kehidupan
ini, kita pun harus memakluminya dengan besar hati.
Dengan
menulis puisi kadang saya meresa puas dan lega setelah menghadapi suatu
permasalahan yang menyita perhatian saya. Tak jarang puisi bagi saya menjadi obat
dari beraneka kegundahan meruah. Dengan demikian saya ternyata dapat mengimla kembali
apa yang telah menimpa saya. Sebagai hasil akhir dari pil luka itu saya dapat
memetik hikmah agar tidak terulang lagi peristiwa pahit tersebut, minimal saya
mampu mengantisipasinya sedemikian rupa supaya tidak terjadi hal-hal yang
merugikan.
Berkali-kali
saya harus bertanya pada diri sendiri; untuk apa sebenarnya saya menulis puisi
dan bagi siapa sesungguhnya puisi-puisi tersebut saya buat. Saya pun menemukan
kesulitan meruah melanda permukaan jiwa jika pertanyaapertanyaan semacam itu
terlintas dalam benak. Acapkali pula pertanyaan-pertanyaan itu membelenggu gerak
kreativitas yang ada. Saya tak mampu menjabarkannya apabila Anda masih
diselimuti keragu-raguan untuk mengapresiasikan semua yang saya kemukakan ini.
Saya
menjadi begitu tersiksa apabila mengenang semuanya.
Bagaimanapun
alasannya, saya harus lebih banyak bercerita tentang diri saya sesungguhnya agar
Anda tidak terlalu keoewa mengenal saya. Ya, tak perlu ada yang harus disembunyikan
apabila itu menjadi rasa nyeri di dada iní. Bukankah rasa saling mengerti satu
sama lain akan menatalkan cinta kasih sesama lebih murni, tanpa adanya
polusi
yang mengotori pergaulan kita. Semua orang yang memiliki wawasan luas akan
mengangguk setuju dengan opini ini, tak terkecuali bagi mereka yang dulu pernah
membenci kita, mereka aken mengakui keabsahan tersebut kendati tidak harus
lewat lisannya, nemun nuraninya akan mengatakan sebenarnya.
Adakalanya
dusta itu mengakibatkan suatu kebaikan bagi diri kita, kendati dusta itu merupakan
bagian dari bentuk dosa, namun kadang sangat dibutuhkan untuk melindungi diri
kita dari berbagai ancaman kehancuran yang dapat merugikan kita dan orang lain.
Anda
pun boleh menganggap saya berdusta dalam antologi puisi ini. Anda pun boleh
berprasangka tentang apa yang saya bikin ini tak lain adalah permainan
(sandiwara) hidup gombal dan memuakkan. Sikap kurang peduli Anda akan saya
hormati lantaran akan menjadi gunung kebersemangatan saya dalam mencipta puisi.
Bukan berarti ini semua muara tujuan saya sesngguhnya menghimbau Anda untuk
membenci saya selama-lamanya.
Tidak
demikian arah maksud saya. Kita sadar, rasa benci dalam diri manusia takkan
pernah melahirkan suatu kebajikan. Maka tidak akan perneh ada karya yang baik
di mata kita kalau kebencian, kemuakan, kenunafikan dan iri hati menyelimu ti
jiwa kita.
Kiranya
rasa saling menghormati diantara kita akan mendatangkan kedamaian nan hakiki.
Saya yakin sekaligus percaya jikalau Anda senantiasa berpikir tentang kebaikan
besama sesama umat, maka Anda akan menjadi orang bijak yang bakal menjadi
pelita pada kehidupan fa na ini. Kalau Anda sudah berpikir ke arah itu, hendaklah
Anda jangan berpaling pada lainnya, terspesial pada situasi berbau fatamorgana
yang seringkali mengecoh kita. Berhati-hatilah agar Ande tidak jadi golongan
manusia merugi selamanya.
Kendati
begitu, semua akan terasa hambar kalau konsep tersebut hanya di bibir saja
jikalau tidak diaplikasikan pada kehidupan nyata. Bukankah teori dari
orang-orang pintar (cendekiawan) saat sekarang bertebaran dimana-mana.
Tuhan
jelas membenci kita apabila umat-Nya berjalan pada keharaman, kemaksiatan,
ketakaburan dan lain sebagai
nya.
Mari kita instropeksi, sampai dimanakah jalan telah kita tempuh.
Dal
am konteks ini, sebenarnya saya telah mengambil sebuah aksi kreativitas lewat
mencipta puisi,. Sebab dengan mencipta puisi bagi saya akan mendatangkan kepuasan tersendiri
sekaligus bisa mengaji, menganalisa, merenungkan dan menyikapi apa yang pernah
saya lalui. Saya yakin sepenuhnya, saya akan mampu berbuat sesuatu setelah tahu
sebelumnya dengan jalan perjuangan dan pengorbanan. Dengan mencipta puisi
kadang saya terbawa pada masa depan tak menentu.
Kadang
saya berangan-angan, apa sebenarnya yang mesti saya harus lakukan demi terwujudnya
sebuah impian. Sebab yang saya perbuat bukan sekadar menimpa terhadap diri
sendiri, melainkan juga yang terjadi di sekitar kami. Saya dituntut mampu
menerjemahkan segala sesuatunya. Sebaiknya langkah apa yang wajib diambil
sebagai titik tengah diantara dua hal yang bertolak-belakang. Saya kemukakan semua
ini tidak untuk menyanjung diri sendiri.
Tentu
tidak begitu maksud saya. Melainkan semua bertujuan ingin berbagí pengalaman
kepada siapa saja, termasuk juga kepada Anda yang mencintai kebaikan hidup ini.
Bukankah sesuatu berupa sebuah kemenangan tak
jarang mendatangkan petaka bagi diri sendiri kalau tidak cermat
pengelolaannya.[]
Pasongsongan-Sumenep,
1995
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.