Langsung ke konten utama

Memupuk Anak agar Mandiri (Bagian III dari 4 Tulisan)

Kegiatan melipat baju sendiri dimulai dari sejak kecil (Foto: Yant Kaiy)

Artikel Keluarga: Yant Kaiy
Sebenarnya selain sikap mandiri, kebanyakan orang tua juga menginginkan anaknya mempunyai rasa tanggung jawab. Menurut Drs. Dewa Ketut Sukardi dalam bukunya: “Bimbingan Perkembangan Anak”, mengatakan bahwa anak yang hidup di tengah-tengah kecaman dan kritik akan menyebabkan anak tak memiliki rasa tanggung jawab. Hal tersebut berarti anak belajar meragukan kemampuannya sendiri dan mencurigai iktikad serta maksud-maksud orang lain. Lebih ironisnya seorang anak akan dihantui kecemasan setiap saat dan tertimpa hantaman yang menghancurkan masa depannya.

Dengan menanamkan rasa tanggung jawab pada anak sangat dibutuhkan tenggang rasa orang tua. Karena rasa tanggung jawab bukanlah dibawa anak semenjak lahir, melainkan diperolehnya secara bertahap menurut perkembangan dan menurut tingkat usianya. Menurut Ketut, anak belajar bertanggung jawab jika diberikan kesempatan-kesempatan untuk menilai dan memilih sendiri hal-hal yang menyangkut dirinya. Tentu saja hal tersebut sangat bergantung pada umur dan daya kemampuan dalam menangkap sesuatu.

Kapan pendidikan rasa tanggung dimulai? Sebenarnya pendidikan tanggung jawab dapat dimulai sejak dini sekali, sewaktu masih kecil. Misalnya, dalam hal pakaian. Orang tua dapat mengajak anaknya ke pasar untuk membeli pakaian, dan anak usia enam tahun tersebut berilah kebebasan untuk memilih pakaian mana yang ia sukai yang tentunya dapat dijangkau harganya.

Jadi orang tua menyeleksi setujuilah pakaian atau bahan, mode atau jenisnya, maka anak sendiri yang memilih mana yang ia sukai.


Kalau anak tidak diberi kebebasan dalam memilih pakaian maka besar kemungkinan seleranya dalam memakai pakaiannya akan pudar. Bahkan seringkali orang tua telah dewasa tidak bisa memilih baju atau celananya, sehingga sering juga mengajak istrinya untuk memilihkannya. Jika anak diberikan kebebasan untuk menghayati diri sebagai pribadi dengan kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuannya, keinginan-keinginan, maka anak tersebut mulai menerima tanggung jawab atas hidupnya sendiri dengan segala tuntutannya.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Guru Honorer PAI di Sumenep tidak Terurus

Catatan: Yant Kaiy Tidak adanya rekrutmen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) bagi guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di lingkungan Dinas Pendidikan Sumenep, menambah panjang penderitaan mereka. Karena harga dari profesi mulia mereka sebagai pendidik dibayar tidak lebih dari Rp 300.000,- per bulan. Rupanya pihak pemangku kebijakan masih belum terketuk hatinya untuk mengangkis mereka dari lembah ketidak-adilan. Sekian lama guru PAI terjebak di lingkaran mimpi berkepanjangan. Impian para guru PAI ini untuk menjadi PPPK menyublim seiring tidak adanya jaminan kesejahteraan. Namun mereka tetap berkarya nyata walau kesejahteraan keluarganya jadi taruhan. Mereka tetap tersenyum mencurahkan keilmuannya terhadap murid-muridnya. Animo itu terus bersemi karena ada janji Allah, bahwa siapa pun orang yang mendermakan ilmu agamanya, maka jaminannya kelak adalah surga. Barangkali inilah yang membuat mereka tidak bergolak dalam menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak turu

Panji Gumilang Pesohor Akhir Kekuasaan Jokowi

Catatan: Yant Kaiy Emosi rakyat Indonesia berpekan-pekan tercurah ke Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun, Panji Gumilang. Episode demi episode tentangnya menggelinding bebas di altar mayapada. Akhirnya, lewat tangan-tangan penguasa ketenangan dan kenyamanan Panji Gumilang mulai terusik. Telusur mereka berdasar pernyataan dirinya tentang beberapa hal yang dianggap sesat oleh sebagian besar umat Islam di tanah air. Cerita tentangnya menenggelamkan beraneka berita krusial dalam negeri. Isu ketidakadilan, kasus besar menyangkut hajat hidup orang banyak menyublim di dasar laut Al Zaytun. Banyak orang bertanya-tanya, seberapa perkasa Panji Gumilang di mata hukum Indonesia. Ia bertakhta atas nama kebenaran walau kadang berseberangan jalan dengan organisasi Islam yang ada. Mungkin baginya, berbeda itu indah. Sekarang tugas penguasa menyembuhkan suasana negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Tidak ada nilai tawar.[] - Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com

SDN Panaongan 3 Layak Menyandang Predikat Sekolah Terbaik di Pasongsongan

Agus Sugianto (kanan) bersama Kepala Dinas Pendidikan Sumenep Agus Dwi Saputra. [Foto: Sur] apoymadura.com  - SDN Panaongan 3 terletak di Dusun Campaka Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Lokasinya masuk pelosok dengan jalan rusak ringan. Warga masyarakatnya sebagai besar bekerja di ladang sebagai petani. Musim penghujan mereka bercocok tanam jagung. Musim kemarau masyarakat lebih banyak menanam tembakau.  Ada pula sebagian dari mereka merantau ke kota lain. Bahkan ada yang bekerja di Malaysia, mengadu peruntungan agar kesejahteraan hidup lebih baik. Etos kerja warga masyarakat cukup tinggi. Mereka sadar, putra-putri mereka paling tidak harus punya pondasi keilmuan yang cukup. Agar dalam mengarungi hidup lebih indah, sesuai impiannya. Kendati perekonomian mereka rata-rata lemah, namun masalah pendidikan anak-anaknya menjadi sebuah prioritas. Karena mereka sadar, hidup bahagia itu lebih lestari dengan ilmu. Mereka menginginkan pendidikan putra-putrinya ke tingkat p