Sabun dari Hotel
Cerpen: L Surajiya
Istriku
marah-marah dan cemburu. Persoalannya sederhana. Istriku hanya menemukan sabun
di tas pakaianku, sehabis pulang dari mengisi workshop batik di luar kota.
Seperti biasa, saat workshop, aku hanya menerangkan langkah-langkah proses
membatik. Mulai dari persiapan bahan dan alat,
membuat desain, memindah pola ke bidang kain, mencanting, mewarnai
tehnik celup, sampai nglorot, langkah terakhir. Tetapi jika waktunya pendek dan
tidak cukup untuk proses di atas, kadang hanya praktek sederhana. Tidak perlu
membuat desain dalam kertas, melainkan langsung di kain, dicanting, diwarnai -bisa
celup atau pewarna remasol-, dilorot, dan kadang hanya dengan satu warna, yang
terpenting adalah para peserta tahu dan memahami betul tentang bahan dan alat,
cara menggunakannya dari awal sampai hasil akhir. Biasanya hanya membuat sapu
tangan atau syal, jikalau memang ada
keterbatasan waktu. Harapannya, sehabis pelatihan bisa dipraktekkan sendiri.
Aku mengisi
acara workshop untuk ibu-ibu Dharma Wanita bersama temanku, perempuan. Dia
lulusan kriya batik di sebuah perguruan tinggi seni. Track record-nya sudah
tidak perlu dipertanyakan, bahkan dia juga membuat buku panduan “Membatik itu
Mudah”, memiliki usaha butik, dan beberapa puluh karyawan hasil binaannya. Aku
menyebutnya pengusaha muda. Sebab umurnya juga masih muda, sebaya denganku.
Memang aku tidak bercerita pada istriku, kalau kepergianku ke luar kota ini
bersama seorang perempuan yang menurutku cukup manis. Aku takut dengan istriku,
sebab istriku adalah seorang pencemburu berat. Aku membayangkan kalau tiba-tiba
dia tahu lalu melabrak ke rumahnya. Aku takut, takut menghancurkan hubungan
kerja yang sudah terjalin lama dan sangat baik. Karena dalam setiap ada
pelatihan batik yang mengundang, aku atau dia, kami selalu mengusulkan untuk
dua orang pelatih, harapannya agar lebih mudah dalam pelaksanaan, apabila pesertanya
banyak, bisa saling berbagi tugas dan saling melengkapi. Misalnya, ada yang
bertanya tentang seberapa panas malam yang sudah bisa digunakan dengan canting,
takaran panas yang harus dipertahankan. Atau bagaimana melepas malam (nglorot)
setelah proses pewarnaan.
Aku biasanya
awal memulai, bertugas menerangkan bagaimana membuat desain sendiri lalu
memindahkan ke kain, sedangkan temanku ini lebih banyak mengajarkan bagaimana memegang
canting yang benar, canting mana yang harus dipakai lebih dulu, sebab ada 3
ukuran canting yang fungsinya berbeda. Kapan dan canting nomer berapa yang
digunakan untuk membuat garis, membuat isen-isen sampai pada membuat blok.
Dalam mencantingpun harus tembus, ini berhubungan dengan persoalan panas atau
suhu kompor yang harus diukur. Sebab jika dalam mencanting malamnya tidak
panas, tidak tembus, hasilnya tidak rata dan tidak sempurna, untuk mengatasi
persoalan itu kainnya perlu dibalik dan ditembusi ulang.
Istriku
tidak tahu kalau aku sering berkolaborasi dan berpartner dengan pengusaha batik
ini: sebut saja namanya Dewi. Iya memang namanya Dewi. Namun aku sering
mengajak istriku main di butiknya. Ngobrol atau sekedar bertamu melihat-lihat
hasil perkembangan terakhir hasil karyanya, barangkali ada model-model terbaru,
yang istriku tertarik. Walau pada kenyataannya, istriku hanya kebanyakan diam,
sekedar melihat-lihat motif, jenis kain, dan pakaian-pakaian berbagai model
yang dipajang di etalasenya.. Pernah sekali istriku berminat dan mengusulkan untuk membuat produk sendiri.
Katanya, dia siap untuk mencanting. Bahkan, pernah memilih-milih dari banyaknya
desain yang pernah aku buat dan sengaja aku kumpulkan. Aku sering medapat
tawaran membuat seragam batik untuk
yayasan, sekolah, karang taruna, komunitas ibu-ibu pengusaha, dan lain
sebagainya. Motif dan warnanya menyesuaikan dengan kepentingan dan kebutuhan
mereka. Semua desain yang kubuat lebih banyak meniru alam, semacam flora fauna,
yang distilasi sedemikian rupa, lalu diberi pemaknaan atau lebih kerennya nilai
filosofis yang terkandung dibalik simbol-simbol yang diambil, bisa bunga,
kupu-kupu, gunung, matahari. Apapun objeknya dibentuk dan dikomposisikan sedemikian
rupa, agar menarik kemudian diulang-ulang.
Aku masih
tiduran di kamar depan, badanku sedikit capek karena habis perjalanan jauh.
Jari-jari tanganku masih berwarna merah, sarung tangan yang aku pakai untuk
mencelupkan pada ember saat proses pewarnaan sedikit robek, jadi air pewarna masuk
ke dalam sarung tangan, mengenai tanganku. Sebenarnya dari tanganku yang masih
ternoda warna batik, seharusnya dari situ saja sudah cukup tahu bahwa aku baru
saja menjadi tutor membatik seperti biasanya,
dan tidak usah dibikin ribut. Apalagi di tambah dengan pemikiran negatif dan
rasa cemburu yang berlebihan. Sebab jelas-jelas ada bukti nyata kalau aku
memang pulang dari kerja. Bahkan amplop honornya pun seperti biasa, masih utuh
belum kubuka, sudah kutaruh di meja.
Aku sudah
hafal betul, kalau ada yang aneh dengan istriku. Misal, kalau aku lagi
istirahat dia lalu lalang di dekatku, atau kalau jalan suara langkahnya
dibuat-buat agar terdengar jelas, jika aku tetap tidak menghiraukannya, maka
dia akan dengan sengaja menendang benda-benda yang ada di lantai: seperti sapu,
bak sampah, botol. Apapun, yang penting bisa membuat suara gaduh. Aku tahu dia hanya
butuh uang, perhatian, disapa, ingin dianggap berguna dan ada. Seharusnya dia
tahu kalau aku butuh istirahat juga. Apa mungkin dia kangen karena aku tinggal
tiga hari pergi? Ah tidak ah, norak!
“Kamu tidur
di hotel ya? Ayo ngaku dengan siapa?” dia berkacak pinggang di pintu. “Lihat
nih, Hotel Helios!” katanya sambil menunjuk tulisan di bungkus sabun yang masih
utuh. “Jawab! Kau tidur dengan siapa?”
Sabun itu
dilemparkannya ke tempat tidurku lalu pergi. Sambil tetap tiduran aku meraihnya,
aku baca; Hotel Helios, Jalan Proklamasi No. 42 A. Aku tersenyum. Aduh! Gumamku
dalam hati. Kenapa aku lupa kalau istriku itu pencemburu, ini hanya masalah
sabun yang sengaja aku bawa dari hotel, (emang biasanya aku tidak pernah
membawa apapun dari rumah. semua sudah disediakan hotel: peralatan mandi,
seperti sabun, shampoo, sikat gigi, dan lain-lain, toh ini juga masih utuh,
masih baru). Aku jadi ingat bahwa yang memasukkan sabun ke tas pakaianku itu
Dewi. Dia ke kamarku, dan aku masih tidur, dia bilang: “Sabunnya dibawa ya?
Saya lipatin di handuk”. Aku hanya bilang: “Ya”., dan melanjutkan tidur lagi.
Entah apa yang dia maksud dan kenapa dia memasukan sabun itu dalam tasku, aku
tidak tahu. Biasanya aku tidak pernah membawa barang apapun dari hotel. Aku
takut banyak pertanyaan yang mengalir dari hati istriku yang selalu panas,
apalagi kalau sampai menyebut nama perempuan. Ah semoga Dewi tidak ada maksud
apapun dengan sabun itu, bathinku, aku saja
yang lupa, seharusnya aku bilang: tidak usah!
Sudahlah. aku
tidak perlu risau, karena kepergianku adalah kerja, dan aku melakukan
pekerjaanku dengan sungguh-sungguh. Itulah sebabnya aku sering dipercaya untuk
mengisi berbagai acara. Biarlah, amarah dan rasa kecemburuan itu memanas di
benaknya, sebab dengan kata apapun aku tak mampu meyakinkannya. Membiarkannya
adalah jalan terbaik, sebagaimana air yang keruh, cukup didiiamkan saja. Nanti
juga akan jernih kembali.
Aku membalik
posisi tidurku dan mendekap bantal. Sabun yang masih tergeletak di sampingku
tidak kuhiraukan. Pelan-pelan aku mengatupkan mataku, melipat kaki dan
menelusupkan tanganku di sela-sela paha, udara masih dingin. Telingaku masih
mendengar suara-suara, serta pikiranku seolah mengikuti langkah kaki istriku.
Anak-anakku tidak pernah ada yang ikut campur, mereka asyik dengan kesibukan
dan kegiatannya sendiri. Aku mendengar bunyi hp-ku, ada yang sengaja memutar unggahan
video, kemudian dengan cepat dimatikan, seolah tak ingin tahu kelanjutannya
atau takut aku mendengar apa yang dia putar. Sekali lagi aku sudah hafal, kalau
habis pergi yang dibongkar pertama kali adalah tas, lalu hp diotak-atik, hanya
untuk mencari informasi tentang apa yang sudah aku lakukan. Dulu pernah dia
menemukan sesobek kertas berisi puisi. Hampir dua hari marah-marah, bertanya
terus tentang isi puisi itu, tanyanya, untuk siapa? Kalau tidak ada kedekatan
tentu tidak bisa membuat puisi sebagus ini, katanya, aku saja tidak pernah
dibikinkan puisi. Lalu merobek-robek kata-kata itu dan dilemparkannya ke udara.
Ah banyak sekali peristiwa-peristiwa unik dalam hidupku yang hanya di dasari
oleh rasa cemburu. Seperti puisi tadi misalnya, bahwa aku menulis puisi sebagai
hayalanku belaka. Sudah kuterangkanpun tetap tidak percaya. Diapun tetap
melarangnya, dia bilang dari hayalan
nanti jadi kenyataan,
Beberapa
kali aku mendengar suara hp diputar, bunyi digit-digit yang ditekanpun
terdengar. Pikiranku menerawang menyusuri lorong ingatan dari peristiwa-peristiwa
saat tiba di lokasi pelatihan, memasuki ruangan hotel, mengisi acara, sampai
jalan-jalan berwisata setempat. Aku mengingatnya dengan detail, serta foto-foto
yang dikirim selama acara via WA. Sepertinya sudah ku delete semua yang ada foto
perempuannya. Kalau sampai melihat foto berdua, apalagi lebih cantik darinya,
habislah hpku, pasti dibanting. Namun jikalau itu foto bersama, dia hanya
sekedar bertanya, ini siapa? Orang mana? Sambil membayangkan jauh atau dekat
jarak rumahnya.
Setelah yakin betul dengan ingatanku
tentang hp yang lagi ditangan istriku bahwa semuanya aman, ketika dilihat
foto-foto saat dihotel, mengisi acara hingga jalan-jalan tak ada yang
mencurigakan, aku mau melanjutkan tidurku. Aku sudah banyak belajar bersabar,
belajar memahami pikiran dan perasaan orang lain. Meski kadang juga terasa
berat jika kusampaikan tetap disanggahnya.
Ada sebuah peristiwa yang masih kuingat
lima tahun lalu, waktu awal-awal pernikahan. Dia bermimpi katanya aku pergi
dengan seorang perempuan, teman kuliahku. Dalam mimpinya, dia melihat semua
yang aku lakukan, bahkan mampu menceritakan dengan detail. Mulai dari pakaian
yang kami pakai, lokasi pantai yang kami kunjungi bahkan sempat menyebut salah
satu hotel. Gilanya, aku harus mengamini dan mengakui mimpinya. Hmmmm….
***
Aku
terbangun sekitar pukul 13.00 siang. Badanku sedikit enak, meski ada terasa
pegal-pegal di kaki. Mungkin efek jalan-jalan ke pantai kemarin bersama Dewi
dan ditemani oleh panitia. Kami menghabiskan waktu dengan melihat-lihat
pemandangan, suasana kota, hingga ke beberapa tokoh adat, sekedar untuk
mendengarkan petuah dan cerita. Setidaknya banyak bertemu orang yang berbeda
banyak pula pengalaman yang didapat.
Aku masih
duduk di bibir tempat tidur, menenangkan pikiran sesaat sambil
mengoyang-goyangkan kaki agar siap dan kuat berdiri. Aku menoleh ke dekat
bantal, sabun dari hotel itu masih tetap di situ, tidak berubah. Aku bisa
memastikan selama aku tidur, istriku tidak masuk kamar. Tidak ada suara gaduh lagi
dari istriku, mungkin semua sudah kembali seperti semula, baik-baik adanya.
Aku
melangkah ke kamar mandi untuk cuci muka dan buang air kecil. Aku melihat
pakaianku masih utuh, berserakan di ember belum dicuci. Aku melihat hp sudah
dicharge. Mungkin istriku terlalu lama memeriksa isi hpku, mulai dari chat
hingga folder-folder yang berisi foto-foto, itu biasanya. Amplop masih di meja
namun sudah terbuka. Aku hitung jumlahnya masih utuh, belum ada yang diambil
uangnya, selembarpun. Aku berjalan menuju ruang depan, dua anakku sudah
berdandan rapi bersama istriku, mereka semua seperti sedang menunggu aku.
“Pak, aku mau ke mall!” kata anakku yang kecil.
“Saya juga Pak!” sahut kakaknya.
Istriku hanya tersenyum,
daftar belanja itu diberikannya padaku. Aku tidak banyak berpikir, amplop di
meja itu kuberikan semuanya. Anak-anak gembira, mereka berpamitan pergi ke
mall. Aku sudah tidak tahu lagi apa yang mau mereka beli, yang penting mereka bisa
bahagia. Aku masih berdiri di pintu hingga mereka semua hilang dari pandangan.
Aku sudah
tidur 3 jam, kataku dalam hati, sambil berkehendak untuk mandi dan minum kopi,
serta memikirkan beberapa pesanan desain batik yang belum kuselesaikan. Aku
harus kerja, kerja, dan kerja, gumamku. Aku mengambil handuk, meraih sabun dari
hotel yang tergeletak di tempat tidur, lalu pergi ke kamar mandi. Kunyalakan
kran, kuatur pemanasnya, dan kutaruh air sebanyak-banyaknya di bathtup. Aku ingin
berendam, bermain air sendiri, 25 menit kemudian kuraih sabun yang kutaruh di
samping kran. Ku lepas bungkusnya. Ketika aku menggosokkan sabun itu ke
punggungku, tiba-tiba aku ingat Dewi. Dengan singap kuambil bungkus sabun itu,
kuamati dan kubaca lagi: Hotel Helios.
Kulon Progo: 4 Agustus 2019
L Surajiya, lahir di Kulon Progo, 5 Juli 1974, alumnus ISI Yogyakarta ini aktif melukis dan menulis, pamerannya sejak 1993 sampai sekarang di dalam dan luar negeri, menulis beberapa buku kumpulan cerpen dan puisi, serta pernah mendirikan MAKNA media para perupa, kini bergiat di satra rupa Api Kata Bukit Menoreh, menjadi redaktur Republik Seni Jogja, dan selain menjadi pendidik seni rupa, kini menggelola Studio Gunung, serta menjaga perpustakaan "Sinar Ilmu" di SD Negeri Jetis, Pendoworejo Girimulyo Kulon Progo DIY.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.