Goa Soekarno Pasongsongan-Sumenep |
Catatan: Yant Kaiy
Menurut Kiai Syamsuri, Goa
Soekarno dulu tidak mempunyai nama. Belakangan hari orang-orang menyebut Gua
Jahir karena ada salah seorang warga yang cukup terpandang dan ia mewakili masyarakat
di situ. Kemudian beberapa tahun kemudian orang-orang memberikan nama Gua
Sukardi, hal itu karena Sukardi yang menempati gua tersebut. Dan dirinya baru
tahu belakangan ini namanya berganti menjadi Goa Soekarno.
Kiai Syamsuri juga bercerita
tentang pengalamannya dulu ketika dirinya masih berusia 19 tahun (bertepatan
dengan tahun 1966) masuk ke dalam Gua Sukarno. Usia Kiai Syamsuri sekarang 72
tahun. Ia menyabit rumput di sekitar gua. Ia menggambarkan Gua Sukarno yang
pada saat itu masih ditumbuhi semak belukar dan ada stalaktit-stalagmit di
dalamnya. Ketika Kiai Syamsuri ditanya tentang kemungkinan Syekh Ali Akbar
bertapa di Goa Soekarno, dengan sejujurnya Ia belum meyakini kalau Goa Soekarno
adalah tempat Syekh Ali Akbar menjalani riyadah.
Goa Soekarno sebenarnya
memiliki arti penting yang tidak bisa lepas dari sejarah Panaongan itu sendiri.
Eksistensi gua ini oleh beberapa kalangan dinilai mempunyai keterkaitan dengan
para tokoh muslim penyebar agama Islam yang pernah menjalani laku batin di Goa
Soekarno. Memang tidak ada catatan yang sahih kalau toko-tokoh sentral ulama
yang sangat berpengaruh dan kharismatik di Pasongsongan banyak yang menyatukan
alam pikirannya di Goa Soekarno.seiring kepemimpinan Raja Bindara Saod
memerintah Kerajaan Sumenep. Menurut beberapa kalangan, Syekh Ali Akbar
ternyata pernah melakukan riyadah di tempat ini. Pendapat ini pertama kali
digulirkan Sukardi kepada para pengikutnya. Ia selalu bercerita kepada beberapa
orang, termasuk kepada beberapa tamunya (karena Sukardi sebagai orang pintar
yang memiliki ilmu tembus pandang),
tentang para tokoh peletak dasar-dasar Islam yang pernah berdialog
dengannya secara gaib. Bahwa mereka pernah menjalani laku batin di Goa
Soekarno. Sebagian orang memang ada yang menilai Sukardi berbohong dan
dianggapnya mengada-ada (takhayul).
Tetapi pendapat Sukardi ini
bagi Ceng Rasidi (pemilik lahan Goa Soekarno) ditanggapinya dengan serius kala
itu. Sebab kakek Ceng Rasidi dulu pernah juga bercerita kalau gua tersebut
adalah tempat di mana ulama-ulama besar
menjalani semedi/laku batin. Cerita kakeknya tersebut Ceng Rasidi dengar ketika
dirinya masih belum menikah, yakni sekitar tahun1965. Usia Ceng Rasidi sekarang
69 tahun per tahun 2019.
Sementara Sukardi yang
menempati Gua Sukarno pada tahun 2001. Ini berarti ada rentang waktu 36 tahun
dari pertama kali Ceng Rasidi mendengar dari kakeknya. Ceng Rasidi tak
menggubris cerita kakeknya itu, karena baginya cerita kakeknya hanya fiksi
semata. Dan ketika Sukardi yang mendeklarasikan kalau Goa Sukarno adalah salah
satu tempat bagi mereka menjalani tirakat, barulah ia teringat kembali akan
cerita kakeknya tersebut.
Kini Ceng Rasidi semakin
yakin kalau pendapat Sukardi yang ahli menjalani tirakat di tempat-tempat sunyi
tersebut benar adanya. Kendati demikian, Ceng Rasidi sampai sekarang pun tidak
gembar-gembor kepada banyak orang tentang Goa Soekarno yang pernah dijadikan
tempat tirakat para tokoh ulama besar, karena ia tak mau pendapatnya itu bisa
melahirkan cibiran miring dari beberapa kalangan. Ia tak mau nantinya hal
tersebut bisa melahirkan pemicu kontroversi diantara beberapa orang di Desa
Panaongan dan Pasongsongan yang meruncing pada cemooh.
Kalaupun ada sebagian orang
yang menganggap semua itu adalah cerita bombastis, bagi Ceng Rasidi hal itu
tidak akan mengurangi daya tarik bagi banyak orang untuk tetap mengunjungi dan
mengagumi Goa Soekarno.
Memang pada jaman sekarang
bertapa di gua sudah tidak lazim. Bahkan ada pandangan yang cukup ekstrem dari
sebagian orang, kalau orang yang bersemedi itu adalah pekerjaan orang tidak
waras. Karena bagi beberapa gelintir orang bersemedi atau tirakat adalah
pekerjaan para dukun semata. Pekerjaan orang-orang yang menganut ajaran hitam
dan sesat adanya. Jadi seolah ada nilai ketidakpatutan, atau bahkan seolah
syirik, bagi seorang tokoh alim ulama besar mencari ilham di gua.
Tetapi perlu diingat,
Baginda Nabi Muhammad SAW juga pernah berada di Gua Hira. Semua kaum muslim
tahu, kalau Gua Hira merupakan salah satu situs yang sangat penting bagi
sejarah Islam. Pasalnya di gua ini Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama yaitu
Surat Al-Alaq dari ayat 1 sampai 5. Tepatnya, pada Senin 17 Ramadhan,
ketika Nabi Muhammad tengah khusyuk bertafakur. Wahyu itu disampaikan oleh
Malaikat Jibril. Saat itu juga Nabi Muhammad resmi dilantik sebagai nabi dan rasul dalam usia 40 tahun 6 bulan 8
hari menurut kalender Qamariah.
Nabi Muhammad berdiam diri
di Gua Hira sepanjang Ramadhan. Beliau menghabiskan waktu untuk berkontemplasi
dan memikirkan fenomena alam yang terjadi di sekelilingnya.
Demikian pula dengan Raden
Said atau banyak orang mengenalnya dengan nama Sunan Kalijaga, ia juga pernah
bertapa di Gua Langsih di Bukit Surowiti, Desa Surowiti, Kecamatan Panceng,
Gresik. Kini tempat pertapaan Sunan Kalijaga tersebut masih tetap terjaga dan
menjadi tempat destinasi wisata religi yang sangat banyak dikunjungi wisatawan.
Di Kabupaten Sumenep ada
deretan gua yang pernah dijadikan sebagai tempat untuk menjalani riyadah (laku
batin) tokoh penting dan berpengaruh di jamannya.
1. Di Kecamatan Guluk-guluk
ada Gua Payudan yang dijadikan tempat bertapa Raden Ayu Potre Koneng. Kita tahu
Potre Koneng adalah ibunda dari Pangeran Jokotole (Raja Sumenep yang ke-13).
Pangeran Jokotole adalah seorang raja yang sakti ketika mendirikan pintu
gerbang raksasa Kerajaan Majapahit atas kehendak Raja Brawijaya VII.
2. Gua Kahuripan yang
terletak di Pulau Giligenting Kabupaten Sumenep merupakan tempat bertapa bagi
Ario Danurwendo (Raja Sumenep ketiga). Sampai sekarang Gua Kahuripan ini
dipercaya masih dijaga oleh kedua piaraan/pengawal Raja Ario Danurwendo, yakni
macan putih dan ular putih.
3. Gua Jeruk yang terletak
di dataran tinggi di luar Asta Tinggi di Desa Kebun Agung Kabupaten Sumenep
merupakan tempat Sri Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I (Raja Sumenep ke-32)
menjalani riyadah. Sultan Abdurrahman bernama asli Notonegoro, Putra Raja
Sumenep yaitu Panembahan Notokusumo I. Beliau mendapat gelar Doktor
Kesusasteraan dari pemerintah Inggris karena ia pernah membantu Letnan Gubernur
Jenderal Rafles untuk menerjemahkan tulisan-tulisan kuno di batu kedalam bahasa
Melayu.
Barangkali dengan melakukan
tirakat atau riyadah di mana saja boleh dikerjakan. Asal tidak menyimpang dari
syariat Islam itu sendiri. Akan tetapi kalau sekiranya bisa membahayakan bagi
keselamatan jiwanya, lebih baik mengerjakan riyadah di mesjid saja. Jadi tidak
salah mengerjakan ritual (bertafakkur) di sebuah gua untuk mencapai bentuk
ketenangan jiwa menyatu dengan Sang Khalik.[]
Yant Kaiy, penjaga gawang
apoymadura.com
Komentar
Posting Komentar