Goa Soekarno Pasongsongan (Bagian IV dari 7 Tulisan)

Goa Soekarno Pasongsongan-Sumenep

Catatan: Yant Kaiy
Menurut Kiai Syamsuri, Goa Soekarno dulu tidak mempunyai nama. Belakangan hari orang-orang menyebut Gua Jahir karena ada salah seorang warga yang cukup terpandang dan ia mewakili masyarakat di situ. Kemudian beberapa tahun kemudian orang-orang memberikan nama Gua Sukardi, hal itu karena Sukardi yang menempati gua tersebut. Dan dirinya baru tahu belakangan ini namanya berganti menjadi Goa Soekarno.

Kiai Syamsuri juga bercerita tentang pengalamannya dulu ketika dirinya masih berusia 19 tahun (bertepatan dengan tahun 1966) masuk ke dalam Gua Sukarno. Usia Kiai Syamsuri sekarang 72 tahun. Ia menyabit rumput di sekitar gua. Ia menggambarkan Gua Sukarno yang pada saat itu masih ditumbuhi semak belukar dan ada stalaktit-stalagmit di dalamnya. Ketika Kiai Syamsuri ditanya tentang kemungkinan Syekh Ali Akbar bertapa di Goa Soekarno, dengan sejujurnya Ia belum meyakini kalau Goa Soekarno adalah tempat Syekh Ali Akbar menjalani riyadah.

Goa Soekarno sebenarnya memiliki arti penting yang tidak bisa lepas dari sejarah Panaongan itu sendiri. Eksistensi gua ini oleh beberapa kalangan dinilai mempunyai keterkaitan dengan para tokoh muslim penyebar agama Islam yang pernah menjalani laku batin di Goa Soekarno. Memang tidak ada catatan yang sahih kalau toko-tokoh sentral ulama yang sangat berpengaruh dan kharismatik di Pasongsongan banyak yang menyatukan alam pikirannya di Goa Soekarno.seiring kepemimpinan Raja Bindara Saod memerintah Kerajaan Sumenep. Menurut beberapa kalangan, Syekh Ali Akbar ternyata pernah melakukan riyadah di tempat ini. Pendapat ini pertama kali digulirkan Sukardi kepada para pengikutnya. Ia selalu bercerita kepada beberapa orang, termasuk kepada beberapa tamunya (karena Sukardi sebagai orang pintar yang memiliki ilmu tembus pandang),  tentang para tokoh peletak dasar-dasar Islam yang pernah berdialog dengannya secara gaib. Bahwa mereka pernah menjalani laku batin di Goa Soekarno. Sebagian orang memang ada yang menilai Sukardi berbohong dan dianggapnya mengada-ada (takhayul).

Tetapi pendapat Sukardi ini bagi Ceng Rasidi (pemilik lahan Goa Soekarno) ditanggapinya dengan serius kala itu. Sebab kakek Ceng Rasidi dulu pernah juga bercerita kalau gua tersebut adalah tempat  di mana ulama-ulama besar menjalani semedi/laku batin. Cerita kakeknya tersebut Ceng Rasidi dengar ketika dirinya masih belum menikah, yakni sekitar tahun1965. Usia Ceng Rasidi sekarang 69 tahun per tahun 2019.

Sementara Sukardi yang menempati Gua Sukarno pada tahun 2001. Ini berarti ada rentang waktu 36 tahun dari pertama kali Ceng Rasidi mendengar dari kakeknya. Ceng Rasidi tak menggubris cerita kakeknya itu, karena baginya cerita kakeknya hanya fiksi semata. Dan ketika Sukardi yang mendeklarasikan kalau Goa Sukarno adalah salah satu tempat bagi mereka menjalani tirakat, barulah ia teringat kembali akan cerita kakeknya tersebut.

Kini Ceng Rasidi semakin yakin kalau pendapat Sukardi yang ahli menjalani tirakat di tempat-tempat sunyi tersebut benar adanya. Kendati demikian, Ceng Rasidi sampai sekarang pun tidak gembar-gembor kepada banyak orang tentang Goa Soekarno yang pernah dijadikan tempat tirakat para tokoh ulama besar, karena ia tak mau pendapatnya itu bisa melahirkan cibiran miring dari beberapa kalangan. Ia tak mau nantinya hal tersebut bisa melahirkan pemicu kontroversi diantara beberapa orang di Desa Panaongan dan Pasongsongan yang meruncing pada cemooh.

Kalaupun ada sebagian orang yang menganggap semua itu adalah cerita bombastis, bagi Ceng Rasidi hal itu tidak akan mengurangi daya tarik bagi banyak orang untuk tetap mengunjungi dan mengagumi Goa Soekarno.

Memang pada jaman sekarang bertapa di gua sudah tidak lazim. Bahkan ada pandangan yang cukup ekstrem dari sebagian orang, kalau orang yang bersemedi itu adalah pekerjaan orang tidak waras. Karena bagi beberapa gelintir orang bersemedi atau tirakat adalah pekerjaan para dukun semata. Pekerjaan orang-orang yang menganut ajaran hitam dan sesat adanya. Jadi seolah ada nilai ketidakpatutan, atau bahkan seolah syirik, bagi seorang tokoh alim ulama besar mencari ilham di gua.

Tetapi perlu diingat, Baginda Nabi Muhammad SAW juga pernah berada di Gua Hira. Semua kaum muslim tahu, kalau Gua Hira merupakan salah satu situs yang sangat penting bagi sejarah Islam. Pasalnya di gua ini Nabi Muhammad SAW menerima wahyu  pertama yaitu  Surat Al-Alaq dari ayat 1 sampai 5. Tepatnya, pada Senin 17 Ramadhan, ketika Nabi Muhammad tengah khusyuk bertafakur. Wahyu itu disampaikan oleh Malaikat Jibril. Saat itu juga Nabi Muhammad resmi dilantik sebagai  nabi dan rasul dalam usia 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut kalender Qamariah.

Nabi Muhammad berdiam diri di Gua Hira sepanjang Ramadhan. Beliau menghabiskan waktu untuk berkontemplasi dan memikirkan fenomena alam yang terjadi di sekelilingnya.

Demikian pula dengan Raden Said atau banyak orang mengenalnya dengan nama Sunan Kalijaga, ia juga pernah bertapa di Gua Langsih di Bukit Surowiti, Desa Surowiti, Kecamatan Panceng, Gresik. Kini tempat pertapaan Sunan Kalijaga tersebut masih tetap terjaga dan menjadi tempat destinasi wisata religi yang sangat banyak dikunjungi wisatawan.

Di Kabupaten Sumenep ada deretan gua yang pernah dijadikan sebagai tempat untuk menjalani riyadah (laku batin) tokoh penting dan berpengaruh di jamannya.

1. Di Kecamatan Guluk-guluk ada Gua Payudan yang dijadikan tempat bertapa Raden Ayu Potre Koneng. Kita tahu Potre Koneng adalah ibunda dari Pangeran Jokotole (Raja Sumenep yang ke-13). Pangeran Jokotole adalah seorang raja yang sakti ketika mendirikan pintu gerbang raksasa Kerajaan Majapahit atas kehendak Raja Brawijaya VII.

2. Gua Kahuripan yang terletak di Pulau Giligenting Kabupaten Sumenep merupakan tempat bertapa bagi Ario Danurwendo (Raja Sumenep ketiga). Sampai sekarang Gua Kahuripan ini dipercaya masih dijaga oleh kedua piaraan/pengawal Raja Ario Danurwendo, yakni macan putih dan ular putih.

3. Gua Jeruk yang terletak di dataran tinggi di luar Asta Tinggi di Desa Kebun Agung Kabupaten Sumenep merupakan tempat Sri Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I (Raja Sumenep ke-32) menjalani riyadah. Sultan Abdurrahman bernama asli Notonegoro, Putra Raja Sumenep yaitu Panembahan Notokusumo I. Beliau mendapat gelar Doktor Kesusasteraan dari pemerintah Inggris karena ia pernah membantu Letnan Gubernur Jenderal Rafles untuk menerjemahkan tulisan-tulisan kuno di batu kedalam bahasa Melayu.

Barangkali dengan melakukan tirakat atau riyadah di mana saja boleh dikerjakan. Asal tidak menyimpang dari syariat Islam itu sendiri. Akan tetapi kalau sekiranya bisa membahayakan bagi keselamatan jiwanya, lebih baik mengerjakan riyadah di mesjid saja. Jadi tidak salah mengerjakan ritual (bertafakkur) di sebuah gua untuk mencapai bentuk ketenangan jiwa menyatu dengan Sang Khalik.[]

Yant Kaiy, penjaga gawang apoymadura.com



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Soa-soal Bahasa Madura Kelas III

Terbaru‼️ R4 Mendapat Jalur Khusus PPPK 2025🔥

Najma Fairus Bikin Haru di Acara Perpisahan SDN Padangdangan 2🔥

Pisah Kenang Siswa Kelas VI SDN Pasongsongan 1: Pentas Seni yang Spektakuler dan Mengagumkan🔥

Wali Murid dan Guru Bersinergi Sukseskan Acara Pelepasan Siswa Kelas VI SDN Padangdangan 2💪

Soal-soal Bahasa Madura Kelas IV SD

Pelepasan 1000 Merpati Tandai Dimulainya Haflatul Imtihan di Pesantren Annidhamiyah

Pelepasan Siswa Kelas VI SDN Padangdangan 2 Berlangsung Meriah🔥

Upacara Pembukaan Perkemahan Sataretanan (Perkasa): Sambutan Kamabigus🔥

Grand Opening Haflatul Imtihan 2025‼️ Menyemai Prestasi, Merawat Tradisi di Pondok Pesantren Annidhamiyah🔥