Langsung ke konten utama

Goa Soekarno Pasongsongan (Bagian II dari 7 Tulisan)

Goa Soekarno Pasongsongan-Sumenep

Catatan: Yant Kaiy
Panaongan berasal dari kata ‘naong’ yang artinya teduh. Kemudian diberi awalan ‘pa’ dan akhiran ‘an”. Jadi makna kata dari Panaongan adalah tempat orang berteduh dari panas menyengat dan beristirahat sejenak dari penat setelah melakukan perjalanan jauh. Dengan kata lain, Desa Panaongan merupakan sebuah lokasi yang bisa melindungi/membentengi seseorang dalam arti yang lebih luas. Bahwa daerah ini adalah suatu daerah yang sejuk, nyaman, dan menentramkan bagi siapa saja yang berada di dalamnya.

Menurut Sri Sundari, nama Panaongan tercetus ketika pada jaman dahulu ada banyak orang yang berteduh sebelum melanjutkan perjalanan jauh dari dan ke pelabuhan Pasongsongan. Panaongan merupakan sebuah lokasi/tempat bagi kebanyakan orang yang berteduh di sekitar Astah Buju’ Panaongan karena di sekitar itu sudah ada komunitas Arab yang telah mendirikan pondok pesantren dan berbaur dengan masyarakat setempat.

Di jaman dahulu rumah-rumah penduduk lebih banyak berada di sekitar Astah Buju’ Panaongan. Banyak pedagang dari daerah lain yang melakukan transaksi jual-beli di daerah itu. Termasuk pula para pedagang dari Negeri Tirai Bambu China dan Arab yang begitu kental mewarnai aroma perniagaan di Desa Panaongan.

Pendapat Sri Sundari ada korelasi dengan komentar Drs. K.H. Mas Ula Ahmad dan Ustadz Abdul Karim Mastura yang menyatakan, bahwa di lokasi Astah Buju’ Panaongan dulu diserang oleh wabah penyakit tha’un sehingga banyak masyarakat yang mengungsi demi menyelamatkan diri dari musibah penyakit itu. Menurut K.H. Mas’ula, wabah tha’un merupakan suatu penyakit kulit yang sangat mematikan dengan cepat. 

Penyakit instan ini semacam penyakit kusta atau lepra. Ia berasal dari virus yang awalnya menyerang hewan ternak. Orang yang terjangkit akan muncul borok pada kulitnya. Wabah sangat cepat ini menyebar liar tanpa ampun ke seluruh masyarakat Desa Panaongan dan sebagian Desa Pasongsongan. Banyak orang yang terjangkit sehingga dalam tempo singkat puluhan ribu jiwa meninggal dunia. Maka tidak heran kalau akhirnya daerah Astah Buju’ Panaongan sepi dari penduduk.

Sri Sundari lebih jauh memaparkan, kalau dulu sebenarnya ada beberapa raja Sumenep yang juga pernah berteduh di daerah tersebut karena ada pohon asam amat besar sebelum melanjutkan perjalanannya. Wajar kalau rombongan raja-raja dulu beristirahat di lokasi tersebut, karena mereka telah mengadakan perjalanan cukup panjang dengan menandu sang raja. Tentu para pengawal kelelahan. Seterusnya masyarakat luar menamakan daerah tempat pemberhentian untuk istirahat tersebut dengan nama Panaongan.

Sedangkan menurut Madun, S.Pd, dulu Desa Panaongan bernama Desa Padangdangan Barat, seperti yang ia pernah dengar cerita-cerita dari para orang tua dahulu. Tapi karena suatu proses eksistensi yang tidak relevan dengan nilai historis, maka pemangku kebijakan (para pini-sepuh) mendesain nama lokasi tersebut berdasar pada nilai-nilai historis yang melingkupinya. 

Bukankah orang-orang jaman dahulu dalam memberikan nama apapun senantiasa disandarkan pada peristiwa yang melekat pada obyek tersebut. Seperti dalam memberikan nama pada anak bayi misalnya. Karena ketika melahirkan bayinya sedang terjadi huru-hara, maka segera menamakan anak bayinya dengan ‘Ribut’. Atau ketika seorang bayi lahir yang diiringi dengan meninggalnya kedua orang tuanya, lantas kerabatnya menamakan sang bayi ‘Yatim’ (Bhs. Madura: Jetem).

Berbeda dengan pendapat lainnya, Ustadz Komarudin Nasir memberikan komentarnya tentang nama Desa Panaongan. Nama Panaongan ternatal ketika Syekh Ali Akbar (paman dari Raja Sumenep, Raja Bindara Saod) sering berteduh di bawah pohon asam yang sangat besar di sebelah timur jembatan Panaongan. 

Di dekat pohon asam itu ada sumber mata air yang sangat jernih dan sampai sekarang masih ada. Mata air itu digunakan oleh banyak orang untuk minum dan berwudhu karena orang pada jaman dahulu jika bepergian dengan berjalan kaki. Untuk mengusir penat dan dahaga, mereka sambil berteduh dan minum air sepuasnya di lokasi tersebut. Jadi nama Panaongan yang asli ada di titik sumber mata air yang ada di sebelah timur jembatan.

Lebih jauh Ustadz Komarudin menjelaskan, dulu nama Desa Panaongan adalah Pade’engan. Yang menggulirkan nama Pade’engan adalah Syekh Ali Akbar. Arti nama Pade’engan adalah sebuah lokasi atau tempat terjadinya berbagai bentuk pembunuhan yang mayatnya di buang di sekitar sebelah barat Astah Buju’ Panaongan.

Sekitar tahun 1987, penulis sering bermain di sekitar sebelah barat Astah Buju’ Panaongan. Memang dengan mata kepala sendiri penulis menyaksikan banyaknya  tulang-belulang dan tengkorak manusia yang berserakan di bukit pasir tersebut.

Ada juga pendapat dari beberapa tokoh masyarakat dan tokoh adat setempat yang menyatakan, bahwa nama Panaongan tercetus spontanitas ketika ada salah seorang Raja Sumenep yang hendak menyeberang sungai Pasongsongan dengan menggunakan rakit. Sang Raja turun dari tandunya menuju rakit yang serta-merta pengawalnya memayungi raja tersebut. Sikap memayungi itulah oleh masyarakat setempat dikatakan Panaongan.

Demikian hasil wawancara penulis dengan beberapa orang asli kelahiran Desa Panaongan dan Pasongsongan. Apapun pernyataan dan narasi tentang Desa Panaongan, akan tetaplah eksistensi Panaongan merupakan sebuah desa yang memiliki alur cerita/sejarah masa lampau yang cukup eksotik.[]

Yant Kaiy, penjaga gawang apoymadura.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Guru Honorer PAI di Sumenep tidak Terurus

Catatan: Yant Kaiy Tidak adanya rekrutmen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) bagi guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di lingkungan Dinas Pendidikan Sumenep, menambah panjang penderitaan mereka. Karena harga dari profesi mulia mereka sebagai pendidik dibayar tidak lebih dari Rp 300.000,- per bulan. Rupanya pihak pemangku kebijakan masih belum terketuk hatinya untuk mengangkis mereka dari lembah ketidak-adilan. Sekian lama guru PAI terjebak di lingkaran mimpi berkepanjangan. Impian para guru PAI ini untuk menjadi PPPK menyublim seiring tidak adanya jaminan kesejahteraan. Namun mereka tetap berkarya nyata walau kesejahteraan keluarganya jadi taruhan. Mereka tetap tersenyum mencurahkan keilmuannya terhadap murid-muridnya. Animo itu terus bersemi karena ada janji Allah, bahwa siapa pun orang yang mendermakan ilmu agamanya, maka jaminannya kelak adalah surga. Barangkali inilah yang membuat mereka tidak bergolak dalam menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak turu

Panji Gumilang Pesohor Akhir Kekuasaan Jokowi

Catatan: Yant Kaiy Emosi rakyat Indonesia berpekan-pekan tercurah ke Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun, Panji Gumilang. Episode demi episode tentangnya menggelinding bebas di altar mayapada. Akhirnya, lewat tangan-tangan penguasa ketenangan dan kenyamanan Panji Gumilang mulai terusik. Telusur mereka berdasar pernyataan dirinya tentang beberapa hal yang dianggap sesat oleh sebagian besar umat Islam di tanah air. Cerita tentangnya menenggelamkan beraneka berita krusial dalam negeri. Isu ketidakadilan, kasus besar menyangkut hajat hidup orang banyak menyublim di dasar laut Al Zaytun. Banyak orang bertanya-tanya, seberapa perkasa Panji Gumilang di mata hukum Indonesia. Ia bertakhta atas nama kebenaran walau kadang berseberangan jalan dengan organisasi Islam yang ada. Mungkin baginya, berbeda itu indah. Sekarang tugas penguasa menyembuhkan suasana negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Tidak ada nilai tawar.[] - Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com

SDN Panaongan 3 Layak Menyandang Predikat Sekolah Terbaik di Pasongsongan

Agus Sugianto (kanan) bersama Kepala Dinas Pendidikan Sumenep Agus Dwi Saputra. [Foto: Sur] apoymadura.com  - SDN Panaongan 3 terletak di Dusun Campaka Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Lokasinya masuk pelosok dengan jalan rusak ringan. Warga masyarakatnya sebagai besar bekerja di ladang sebagai petani. Musim penghujan mereka bercocok tanam jagung. Musim kemarau masyarakat lebih banyak menanam tembakau.  Ada pula sebagian dari mereka merantau ke kota lain. Bahkan ada yang bekerja di Malaysia, mengadu peruntungan agar kesejahteraan hidup lebih baik. Etos kerja warga masyarakat cukup tinggi. Mereka sadar, putra-putri mereka paling tidak harus punya pondasi keilmuan yang cukup. Agar dalam mengarungi hidup lebih indah, sesuai impiannya. Kendati perekonomian mereka rata-rata lemah, namun masalah pendidikan anak-anaknya menjadi sebuah prioritas. Karena mereka sadar, hidup bahagia itu lebih lestari dengan ilmu. Mereka menginginkan pendidikan putra-putrinya ke tingkat p