Goa Soekarno Pasongsongan-Sumenep |
Catatan:
Yant Kaiy
Panaongan berasal dari kata ‘naong’ yang artinya teduh. Kemudian diberi awalan ‘pa’ dan akhiran ‘an”. Jadi makna kata dari Panaongan adalah tempat orang berteduh
dari panas menyengat dan beristirahat sejenak dari penat setelah melakukan
perjalanan jauh. Dengan kata lain, Desa Panaongan merupakan sebuah lokasi yang
bisa melindungi/membentengi seseorang dalam arti yang lebih luas. Bahwa daerah
ini adalah suatu daerah yang sejuk, nyaman, dan menentramkan bagi siapa saja
yang berada di dalamnya.
Menurut Sri Sundari, nama Panaongan tercetus ketika pada
jaman dahulu ada banyak orang yang berteduh sebelum melanjutkan perjalanan jauh
dari dan ke pelabuhan Pasongsongan. Panaongan merupakan sebuah lokasi/tempat
bagi kebanyakan orang yang berteduh di sekitar Astah Buju’ Panaongan karena di
sekitar itu sudah ada komunitas Arab yang telah mendirikan pondok pesantren dan
berbaur dengan masyarakat setempat.
Di jaman dahulu rumah-rumah penduduk lebih banyak berada
di sekitar Astah Buju’ Panaongan. Banyak pedagang dari daerah lain yang
melakukan transaksi jual-beli di daerah itu. Termasuk pula para pedagang dari
Negeri Tirai Bambu China dan Arab yang begitu kental mewarnai aroma perniagaan
di Desa Panaongan.
Pendapat Sri Sundari ada korelasi dengan komentar Drs.
K.H. Mas Ula Ahmad dan Ustadz Abdul Karim Mastura yang menyatakan, bahwa di
lokasi Astah Buju’ Panaongan dulu diserang oleh wabah penyakit tha’un sehingga banyak masyarakat yang
mengungsi demi menyelamatkan diri dari musibah penyakit itu. Menurut K.H.
Mas’ula, wabah tha’un merupakan suatu
penyakit kulit yang sangat mematikan dengan cepat.
Penyakit instan ini semacam
penyakit kusta atau lepra. Ia berasal dari virus yang awalnya menyerang hewan
ternak. Orang yang terjangkit akan muncul borok pada kulitnya. Wabah sangat
cepat ini menyebar liar tanpa ampun ke seluruh masyarakat Desa Panaongan dan
sebagian Desa Pasongsongan. Banyak orang yang terjangkit sehingga dalam tempo
singkat puluhan ribu jiwa meninggal dunia. Maka tidak heran kalau akhirnya
daerah Astah Buju’ Panaongan sepi dari penduduk.
Sri Sundari lebih jauh memaparkan, kalau dulu sebenarnya
ada beberapa raja Sumenep yang juga pernah berteduh di daerah tersebut karena
ada pohon asam amat besar sebelum melanjutkan perjalanannya. Wajar kalau
rombongan raja-raja dulu beristirahat di lokasi tersebut, karena mereka telah
mengadakan perjalanan cukup panjang dengan menandu sang raja. Tentu para
pengawal kelelahan. Seterusnya masyarakat luar menamakan daerah tempat
pemberhentian untuk istirahat tersebut dengan nama Panaongan.
Sedangkan menurut Madun, S.Pd, dulu Desa Panaongan
bernama Desa Padangdangan Barat, seperti yang ia pernah dengar cerita-cerita
dari para orang tua dahulu. Tapi karena suatu proses eksistensi yang tidak
relevan dengan nilai historis, maka pemangku kebijakan (para pini-sepuh)
mendesain nama lokasi tersebut berdasar pada nilai-nilai historis yang
melingkupinya.
Bukankah orang-orang jaman dahulu dalam memberikan nama apapun
senantiasa disandarkan pada peristiwa yang melekat pada obyek tersebut. Seperti
dalam memberikan nama pada anak bayi misalnya. Karena ketika melahirkan bayinya
sedang terjadi huru-hara, maka segera menamakan anak bayinya dengan ‘Ribut’.
Atau ketika seorang bayi lahir yang diiringi dengan meninggalnya kedua orang
tuanya, lantas kerabatnya menamakan sang bayi ‘Yatim’ (Bhs. Madura: Jetem).
Berbeda dengan pendapat lainnya, Ustadz Komarudin Nasir
memberikan komentarnya tentang nama Desa Panaongan. Nama Panaongan ternatal ketika
Syekh Ali Akbar (paman dari Raja Sumenep, Raja Bindara Saod) sering berteduh di
bawah pohon asam yang sangat besar di sebelah timur jembatan Panaongan.
Di
dekat pohon asam itu ada sumber mata air yang sangat jernih dan sampai sekarang
masih ada. Mata air itu digunakan oleh banyak orang untuk minum dan berwudhu
karena orang pada jaman dahulu jika bepergian dengan berjalan kaki. Untuk
mengusir penat dan dahaga, mereka sambil berteduh dan minum air sepuasnya di
lokasi tersebut. Jadi nama Panaongan yang asli ada di titik sumber mata air
yang ada di sebelah timur jembatan.
Lebih jauh Ustadz Komarudin menjelaskan, dulu nama Desa
Panaongan adalah Pade’engan. Yang menggulirkan nama Pade’engan adalah Syekh Ali
Akbar. Arti nama Pade’engan adalah sebuah lokasi atau tempat terjadinya
berbagai bentuk pembunuhan yang mayatnya di buang di sekitar sebelah barat
Astah Buju’ Panaongan.
Sekitar tahun 1987, penulis sering bermain di sekitar
sebelah barat Astah Buju’ Panaongan. Memang dengan mata kepala sendiri penulis
menyaksikan banyaknya tulang-belulang
dan tengkorak manusia yang berserakan di bukit pasir tersebut.
Ada juga pendapat dari beberapa tokoh masyarakat dan
tokoh adat setempat yang menyatakan, bahwa nama Panaongan tercetus spontanitas
ketika ada salah seorang Raja Sumenep yang hendak menyeberang sungai
Pasongsongan dengan menggunakan rakit. Sang Raja turun dari tandunya menuju
rakit yang serta-merta pengawalnya memayungi raja tersebut. Sikap memayungi
itulah oleh masyarakat setempat dikatakan Panaongan.
Demikian hasil wawancara penulis dengan beberapa orang
asli kelahiran Desa Panaongan dan Pasongsongan. Apapun pernyataan dan narasi
tentang Desa Panaongan, akan tetaplah eksistensi Panaongan merupakan sebuah
desa yang memiliki alur cerita/sejarah masa lampau yang cukup eksotik.[]
Yant
Kaiy, penjaga gawang apoymadura.com
Komentar
Posting Komentar