Goa Soekarno Pasongsongan (Bagian I dari 7 Tulisan)
![]() |
Goa Soekarno Pasongsongan-Sumenep |
Catatan:
Yant Kaiy
Objek wisata Goa Soekarno telah banyak menyedot perhatian
masyarakat ramai dari segala penjuru negeri ini. Beragam tulisan pun menghiasi
hingar-bingar kehadirannya dibanyak media massa, baik media cetak ataupun
elektronik. Beberapa pengamat wisata
juga turut memaknainya dari perspektif yang beraneka-macam.
Para tokoh sejarah
dan tokoh masyarakat tidak terkecuali juga terlibat adu argumen dan opini untuk
mendekat pada sisi historis yang melingkupi Goa Soekarno. Sesungguhnya hakikat
itu semua semakin menambah khasanah pengetahuan pada manusia itu sendiri. Fase
selanjutnya kita implementasikan analisis itu sebagai wujud syukur kepada Tuhan
Yang Maha Pencipta. Sebab kita mengkaji tentang hasil ciptaan-Nya yang sangat
eksotis dan tiada bandingnya.
Berbagai analisis yang dikemukan tentu memiliki pijakan
yang berbasis dari beragam penemuan dan cerita/folklor para tokoh adat sepuh setempat. Memang kadang ada
tendensi ego demi mengembangkan folklor sebagai manifestasi kebanggaan tak terukur yang tak jarang kebablasan dan
bersifat bombastis. Nuansa bombastis inilah yang menyebabkan ketidaknyamanan
dari beberapa kalangan.
Dan hal ini justru akan mendiskreditkan keagungan Goa
Soekarno di mata publik. Memang kita tidak hidup di jaman mereka. Kita sebagai
manusia yang lemah; baik sebagai pengamat atau pemerhati tidak bisa
menjustifikasi segala sesuatu berdasarkan power nalar semata. Sebab power nalar
tidak berbanding lurus dengan power metafisika. Maka tugas pengamat atau
pemerhati harus bisa memfilter sekian banyak unsur yang bisa melahirkan polemik
tak berujung.
Efeknya tercipta suasana kegaduhan dari beberapa kalangan.
Apalagi sampai melahirkan konflik atau gesekan-gesekan antar individu. Kehati-hatian
inilah yang harus dijaga agar kita tidak sembarangan menggelindingkan opini ke
tengah-tengah masyarakat awam.
Kita tentu tidak ingin terjebak pada konfrontasi sejarah
antar sesama yang berbeda sudut pandang. Sebab urgensi dari semua analisa tentu
berbasis pada fakta di lapangan yang dikaitkan dengan beberapa cerita yang
meliputinya. Lantaran kebenaran di atas muka bumi ini sangat relatif. Bisa saja menurut kita benar saat ini,
mungkin di suatu saat nanti akan menjadi salah dan terdengar lucu pada generasi
yang akan datang.
Oleh karena itu, seseorang tidak bisa memvonis segala
sesuatunya, bahwa dirinyalah yang paling benar dan paling baik. Kecuali
ketetapan dari Sang Pencipta yang tidak akan bergeser sampai hari kiamat
datang. Sungguh ironis memang, tetapi begitulah manusia yang tidak bisa lepas
dari khilaf, lemah, dan dosa.
Publik sudah banyak tahu kalau kebenaran di alam fana ini
nisbi adanya, begitu kalimat bijak yang sering mengalun dari kaum cendekiawan,
akan tetapi mereka yang tergolong kolot akan menyimpulkan segala sesuatunya
berdasarkan daya nalar yang kerdil. Padahal mereka juga sering mendengar
slogan, kalau hakikat kebenaran yang sejati hanya terletak pada Allah SWT. Maka
sepatutnya kita harus menetralisir semua itu demi terciptanya iklim kebersamaan
sebagai anak bangsa.
Saling menyudutkan dalam melontarkan analisis dari
berbagai kalangan adalah sebuah sikap yang kurang bijak rasanya. Karena kita
mafhum, bahwa di atas langit masih ada langit. Sejatinya kita menghormati dari
beragam argumen itu sebagai ilmu yang tak ternilai harganya. Karena
bagaimanapun juga, eksistensi Goa Soekarno tetaplah gua yang penuh magnet bagi
siapa saja yang ingin menikmati maha karya dari Sang Khalik.
Kendati demikian, opini dan argumen dari banyak pemerhati
sejarah yang sudah menatalkan narasi ke ranah publik, semestinya bisa
menggiring pada pendekatan histori. Endingnya, pemufakatan berjamaah pada
background riset yang telah dilaksanakannya. Wujud dari semua itu bukanlah
akhir dari episode penelitian yang selama ini telah banyak kalangan lakukan.
Suatu saat nanti akan lahir juga neo-opini yang mungkin lebih bernas, lebih
tajam, dan lebih berbobot. Semua tidak menutup kemungkinan.
Dari sekian banyak opini yang berkembang di tengah-tengah
publik, kali ini kita akan meminimalisasi analisis dari dua sudut pandang saja.
Kalau kita cermati, sesungguhnya Goa Soekarno mempunyai dua sisi interpretasi
yang tidak terpisahkan antara mitos dan situs. Sebagai mitos, Goa Soekarno
menyimpan banyak arti tentang kisah masa lampau perihal keberadaannya yang baru
mengorbit belakangan ini.
Kisah-kisah klasik pun tidak bisa dibendung lagi
seiring sudah banyak orang mengunjunginya. Bagai bola batu yang menggelinding
dari ketinggian puncak gunung. Kemudian publik pun mengemas cerita itu sedemikian
rupa agar orang lain percaya terhadap folklor yang dihadirkannya. Selanjutnya
folklor tersebut dicross-check dengan realitas di lapangan.
Sebagai situs, Goa Soekarno memiliki arti penting bagi
masyarakat Desa Panaongan dan sekitarnya, karena gua ini ternyata mempunyai
korelasi dengan seseorang bernama Sukardi, yakni seorang musyafir yang berdiam
diri dalam Goa Soekarno hingga menjelang ajalnya bersama istri dan anaknya. Dia
adalah sosok penting bagi lahirnya nama gua alami menjadi Goa Soekarno.
Menurut Agus Sugianto yang beberapakali ke Gua Sukarno
ketika Sukardi masih hidup, dirinya sangat takjub menyaksikan keindahan Goa
Soekarno. Pantaslah Sukardi menjalani riyadah atau banyak orang bilang
bersemedi. Pernyataan itu dideskripsikan sendiri oleh Sukardi kepadanya tanpa
tedeng aling-aling lagi di hadapan banyak orang. Bagi Sukardi tak ada urusan
orang lain percaya atau tidak terhadap statemen dirinya. Juga baginya tidak ada
keuntungan apapun dalam mengabarkan hal gaib pada orang lain.
Sukardi
menyampaikan pernyataan bahwa dirinya berjumpa di alam gaib dengan tokoh-tokoh
Islam yang ada di sekitar gua dan sempat berdialog panjang lebar. Cerita iti
disampaikan kepada Agus Sugianto ketika Sukardi sedang menerima rombongan tamu
satu bus dari Jakarta. Sukardi sebagai sosok yang memiliki pandangan mata batin
secara gamblang menyatakan jikalau Agus Sugianto sebagai orang yang tepat untuk
mengetahui berita gaib yang didapatnya.
Pada mulanya Agus Sugianto tidak menyanggah pernyataan
Sukardi kala itu. Sukardi dengan tanpa
beban mengillustrasikan pertemuannya dengan beberapa tokoh alim ulama di alam
gaib; tentang perkenalannya, tentang dialognya, sampai beberapa potongan cerita
masa lampau yang mengiringi perjalanan hidup mereka.
Beberapa item cerita gaib Sukardi yang tidak dipahaminya
langsung ditanyakan waktu itu juga dengan Agus Sugianto. Setelah lewat
perenungan yang mendalam dan banyak wawancara kepada para keturunan tokoh alim
ulama, barulah Agus Sugianto mulai mempunyai kesimpulan, bahwa apa yang
diriwayatkan Sukardi masuk akal dan sejalan dengan beberapa keterangan dari
tokoh agama yang masih punya hubungan darah dengan tokoh sejarah yang membabat
alam Desa Panaongan hingga masyarakatnya memeluk Islam..
Lebih jauh Agus Sugianto (saat itu dirinya sudah
berstatus guru yang mengajar di salah sebuah SDN Pulau Masalembu)
menggarisbawahi statemen Sukardi, bahwa akal tidak bisa disejajarkan dengan hal
yang berbau metafisika. Bahwa seseorang yang berada di level syariat tentu
tidak akan mampu menjangkau pada level makrifat. Anak SD tidak mungkin sanggup
menyerap pelajaran siswa SMA.
Sukardi seolah ingin menegaskan kembali, bahwa
dialog antara dirinya dan para tokoh Islam di alam gaib bukanlah narasi bualan
semata. Hal itu adalah realitas dari sebuah perjalanan riyadah (hidup prihatin)
selama dirinya berada di Goa Soekarno.[]
Yant
Kaiy, penjaga gawang apoymadura.com
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.