Juniku Memerah
Cerpen: Akhmad Jasimul Ahyak
Esok pagi, salam menitip senyum pada dedaunan
yang basah, kucoba mencuri ingatan di keheningan jelaga yang tumpah di ujung
lelah. Terlintas bayang senyum si Junita seperti menyapa dikala aku merebah di pembaringan
yang resah. Aku pun bergegas membuka jendela kamar dan terlihat tentang pagi yang
indah, fajar pun menyinari di pangkuan semesta yang tak pernah salah.
Kutengok
sejenak ke luar jendela sebelum bertatap dengan layar ponsel, di mana tanah
gersang sedang tertutupi peluh yang sedang kedinginan. Kini aku teringat pada
kekasih yang dulu pernah menitip senyum pada kecupan matahari hingga menyentuh
bibir kaca jendelaku.
Kini aku teringat kembali pada lembaran yang
telah usang, di mana kekasih “Junita” saban pagi, sebelum berangkat kerja dia
selalu mengajak ke sawah mengantar suatu hidangan buat makan ayahnya yang lagi sibuk
bekerja di kebunnya sendiri, kadang aku membantu pekerjaan ayahnya.
Kala malam begitu gelap, kadang pikiranku menguatkan
luapan rasa kerinduan pada Junita, dengan harapan kelak aku bersanding bersamanya
bernaung dalam satu atap. Aku hanya bisa berdo'a karena takdir dan jodoh Sang
Maha Kuasa yang mengatur semuanya, sebab dalam putaran detik dan waktu pikiran
manusia pasti berubah melawan arah. Semoga cinta kita tumbuhkan harap yang terbentang,
buahkan jiwa penuh kedamaian.
Luapan kasih, masih terombang-ambing dalam
peluh asih, biduk asa yang ku pijak bukan lagi sebuah rasa. Dikala raut wajahmu
memudar, kalang kabutku menjadi sebuah tanya bisakah cintaku tertanam dalam hatimu
selamanya?.
Di bawah langit malam di ponselku kau melepas
Senyum, sapa dan candamu menguatkan asa yang sempat terkubur. Lalu kita
sama-sama saling ucap “Mendayung malam sekilas terlihat engkau, menguntum ranum
seperti bulan, sunyi terpecah-pecah dari pantulan cahaya mataku yang gelisah”. Kini
aku masih terkapar di pembaringan, menatap langit-langit kamar kesendirian
mendekap tabah seraya menanti mimpi yang meneduhkan tidurku.
Kali ini bulan Juni menyapaku, sudah genap satu
tahun Junita terbenam dalam cinta asmara yang sudah lama menjadi kekasih dalam hidupku.
Pagiku kini mengejar siang. Petang, menanti sore tenggelam senjapun membalut
rindu, junita saat ini tak ada kabar untukku, yang ada hanya rasa kangen begitu
merindu.
“Coba aku telpon” kataku dalam hati, tatkala aku hubungi kenapa dia
tidak mengangkat telponnya. Kini aku bagaikan orang asing di matanya, dengan
rasa penasaran aku coba lewat sms, selang beberapa menit dia membalas dengan
singkat “Mas aku lagi sibuk” jawabnya.
Junita kini berduri rindu, tajam menusuk hati
meluluhlantakkan cinta suci di garis waktu hingga tak berbentuk. Aku selembar
daun yang menunggu jatuh kering dan menguning, akan tiba saatnya ranting melepasku
terbang dan tebuang bagaikan sampah. Tenyata di belakangku dia menjalin
hubungan dengan seorang pengusaha duda, kaya raya dan punya anak dua.
Pas di bulan Juni cintaku memerah, mingguku layu,
lusaku usang berantakan bak renyahnya pecahan kaca, kau tinggalkan serpihan kisahku
hingga berakhir tanpa bekas. Lama sudah aku jahitkan rasa sabar dalam penantian
hanyalah untuk sekedar menantikan sebuah simpulan.
Tapi engkau “Junitaku” lebih
memilih harta daripada cinta suci yang telah tertanam satu tahun lamanya.[]
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.