Perempuan Bermasker di Cafe Stasiun Kota
Get Google |
Cerpen: Herry Santoso *)
MALAM berembun. Rembulan redup membias di wajah
kota. Jalanan sepi. Tak pernah kusangka isu Covid 19 sempat membuat kotaku
semakin dincekam ketakutan, karena orang-orang lebih dibayangi over fobia
ketimbang realita. Buktinya, hanya ada beberapa gelintir manusia di cafe
tempatku ngopi saat ini, tidak seperti biasanya selalu semarak menikmati musik jazz akhir pekan di cafe
legendaris ini.
Sungguhpun demikian,
aku merasa betah duduk sendirian lantaran perempuan bermasker yang duduk
berseberangan dengan kursiku itu benar-benar membuatku penasaran sedari tadi.
"Maaf, nama
Anda siapa ?" pertanyaanku tak dapat kutahan di antara kepenasaranku sejak
tadi. Ia menghentikan permainan game ponselnya, serta-merta mata di balik
masker itu menatap lurus ke arahku.
"Suha, Suha
Safira, Bapak..."
"Suha Safira
?"
"Iya, Bapak
"
"Nama yang
luar biasa. Karena istri Yasser Arafat sang founding
father bangsa Palestina, juga bernama Suha. Dia juga cantik secantik
kamu." kataku tulus.
" Dari mana
Bapak tahu kalau aku cantik ?" tukasnya yang membuatkan terperangah.
Ia memajukan kursinya tetapi tetap duduk
berseberangan denganku, sembari menikmati roti bakar khas kotaku. Konon roti
bakar ini salah satu makanan yang ikonis
lantaran paling banyak dipesan orang di cafe tempatku nongkrong saat ini.
Hampir sepekan sekali aku datang ke mari meski sekadar untuk menghabiskan
malam, dan cafe ini satu-satunya tempat yang cukup representatif. Minimal
bagiku. .
"Kok tahu
kalau aku cantik ?" tanyanya lagi,
mengulang.
"Ya. Dari
sorot mata Anda. Seakan Tuhan bertengger di sana..." tuturku setengah
merayu, meski aku hanya basa-basi dan
hanya membaca lewat gestur tubuhnya yang indah semampai itu. Dengan
bermasker dan berjubah hitam yang membungkus suluruh tubuhnya, mengingatkanmu pada Safira seorang mahasiswi
dari Yerusalem yang gugur tertembak serdadu Israel dua tahun lalu, sebagaimana
ditayangan Aljazeera-tv.
" Astaqfirullah, innalillahi..."
gumamku tak sadar mencuat karena lamunan itu.
"Lho, kenapa
kok istiqfar segala, Bapak ? Memangnya ada apa, Bapak ?" lagi-lagi Suha
menukas.
Aku sesaat
tercenung, dan ia tetap menatapku lurus. Sorot matanya yang kebiruan itu
masih menunggu jawabanku.
"Ah, enggak,
cuma sekilas imajinasi liarku terbang ke Palistina. Kamu tentu ingat kan,
seorang mahasiswi dari Birzeit Univercity
di Tepi Barat. Ketika Israel membombadir Kota Ramallah, mahasiswi bernama
Safira gugur dengan masih berbusana seperti yang kamu kenakan saat ini..."
"Oh ?"
"Dan setelah
cadarnya dibuka ternyata ia seorang gadis yang sangat cantik. Aku yakin kamu
juga secantik dia, " kilahku.
Suha tertunduk.
Sorot matanya pun luruh seketika. Mungkin tersipu di balik maskernya.
"Tidak, tidak,
wajahku tidak secantik dia, kok, Bapak,
"
"Serius
?" tatapku.
Ia terdiam.
"Terus, kenapa
kalau aku cantik, Bapak ?" sergahnya.
"Tak mengapa,
aku hanya penasaran saja, "
"Hehe..."
ia terkekeh.
"Kok, ketawa
?"
"Iya, Bapak
lucu, sih..." katanya,
"Mengingatkanku pada abah,"
imbuhnya.
"Abah ?"
"Iya,
Abahku,"
"Sekarang
masih ada ?"
"Ada,
tapi..."
"Tapi kenapa
?"
"Ada di tempat
yang jauh."
"Di mana, tuh
?" usutku.
"Aleppo"
akunya.
Aku mengerutkan
dahi sebelum bertanya, "Suriah ?"
Zuha mengangguk
patah-patah.
"Ya,
Allah..." cetusku. Kupandangi perempuan itu lekat-lekat. Ia menunduk, dan
ketika mengangkat wajahnya ia meraih tisu. Diusapnya airmatanya. Kuambilkan
selembar lagi ia pun tak menolak.
"Maaf, kamu di
kota ini sejak kapan ?" tanyaku lagi setelah beberapa saat sama-sama diam
larut dalam pikiran masing-masing.
"Sejak lama.
Ceritanya panjang, Bapak. Sejak 2014 lalu aku datang ke kota ini untuk belajar
di sebuah perguruan tinggi. Tanteku lebih dulu datang ke kota ini dan menikah
dengan WNI, seorang perwira TNI-AU. Aku setuju dengan tawaran tanteku untuk
pindah belajar di Indonesia, karena selain indah negeri ini tenang. Masyarakatnya
begitu ramah, lain halnya dengan dengan
negara kami, Suriah, selalu tidak aman. Pertikaian politik berujung
penculikan, perkosaan, perampokan, dan akhirnya pecah perang terbuka, sebagai
ajang uji alutsista negara-negara blok super
power dunia sampai sekarang. Abahku seorang tentara pemerintah Bashar
Assad, berpangkat letnan satu. Umi,
seorang guru taman kanak-kanak, ia bukan saja cantik sekaligus tabah dalam
segala cobaan hidup. Adikku, Amea, masih duduk di kelas 3 ibtida'iyah, setingkat SD di sini. Entahlah, bagaimana nasib mereka
sekarang, dan aku....." suaranya tercekat di kerongkongan, seraya Suha
larut dalam sedu-sedan.
"Dan aku sangat merindukannya. Konon, kota Aleppo hancur
tak tersisa, gedung-gedung rata dengan tanah, dan entahlah bagaimana nasib
keluargaku di sana, Bapak....." lenguhnya panjang semakin
terisak-isak. Kubiarkan Suha menumpahkan
kesedihanya, kendati malam kian beringsut ke ambang pagi.
Malamnya kotaku
adalah sebuah kesyahduan dan romantisme yang sempurna. Di sepanjang trotoar,
muda-mudi masih lalu-lalang meski social distancing sudah diberlakukan sejak bulan lalu, nyatanya
mereka tetap mokong, tak perduli.
"Suha....," ucapku pelan.
"Ya, "
"Sudahkah
kering airmatamu ?"
Ia mengangguk
pelan.
"Kalaupun belum, simpanlah di dalam hati.
Kota semakin sepi, malam kian larut dan
berlari ke dini hari. Apakah kamu masih ingin di sini ? Kalau masih, aku siap
menemanimu hingga menjelang subuh nanti sekaligus kita makan sahur di tempat
ini. Sungguh, aku rela, Suha... " kataku tulus.
Ia pun mengajak
beranjak, dan aku segera membayar
makanan dan minuman.
"Bapak baik
sekali, " gumamnya. Kami
berjalan beriringan menembus malam yang mulai berembun, kuyup menggigilkan.
"Bolehkah aku
menggandeng tanganmu Suha ?" kataku hati-hati. Ia mendekat dan mengulurkan
tangannya. Kugenggam erat jemari selembut sutera itu.
"Aku dingin,
Bapak..." keluhnya.
"Tapi...."
"Anggaplah aku
anakmu, sebagai pelipur rinduku pada abahku, tak mengapa. Peluklah aku,
Bapak..." ujarnya yang membuatku
terkesima, dan dengan tulus kupeluk bahunya yang ringkih itu, seraya ia
melingkarkan tangannya di pinggangku. Kami terus menapak di sepanjang trotoar
depan stasiun kota. Udara semakin terasa atis oleh tebaran embun pagi.
"Kita berpisah
di sini saja, Bapak..." ucap Suha sesampainya di mulut sebuah gang. Aku tertegun sambil melepas pelukan.
"Suha..."
kataku. "Maaf kalau aku terlalu tidak sopan terhadapmu. " ucapku,
"Dan..." kataku tersendat. Tidak tega untuk mengatakannya.
"Dan,
bagaimana, Bapak ?"
"Maaf, bolehkah jika aku ingin melihat wajah yang
ada di balik maskermu itu ? Tapi jika kamu tak berkenan, tak mengapa...."
kataku lirih tapi ia cukup mendengarkannya. Aku terkesiap tatkaka gadis Suriah
itu rela menyingkap maskernya perlahan-lahan yang menghalangi pandangan kami
sejak tadi.
"Oh....
Tuhan…. ?" lenguhku terkesima. Nyaris aku tak percaya kalau sedang
mengamati sosok gadis berwajah bidadari...
Suha tersenyum.
Matanya kebiruan, wajahnya bersih, hidungnya bangir, dan dagunya indah.
Ternyata ia sangat rupawan laiknya ras Timur Tengah etnik Suriah yang memang
terkenal kecantikannya.
"Sudah ya
Bapak..."
"I...iya..." kataku gugup. Dengan pelan pula ia pun kembali
menutup maskernya, seraya berucap :
"Assalamu'alaikum,
Bapak...."
"Wa'alaikum salam…" suaraku tertelan
di kerongkongan, masih tertegun pada
kecantikan sang bidadari itu.
Kupandangi tubuhnya
ketika ia melangkah anggun menyusuri sebuah gang. Di punggungnya seolah ada
luka dan derita, sebagai perantau di.negeri orang yang sangat jauh.
Aku masih berdiri
kaku memandangi tubuh semampai itu hingga hilang ditelan ujung gang sana....**
Blitar, 24 April 2020
(Drs. Herry Santoso,
M.Pd adalah pensiunan kepala sekolah
(SD), seorang jurnalis, aktif menulis
artikel, puisi, cerpen dan novel. Novel terakhir Cerita tentang Rani (Diva
Press, Jogjakarta 2018), Di antara Aroma Kembang Kopi (2018), Rembulan Jatuh di
Belakang Rumah (2018). Alamat penulis : Herry Santoso, Jln. Abadi No. 31
Nglegok, Blitar, Jawa Timur 66181. Hp.081252065959
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.