Langsung ke konten utama

Membandingkan Buju’ Panaongan dan Syekh Ali Akbar

Pintu gerbang Astah Buju' Panaongan Desa Panaongan
Kecamatan Pasongsongan-Sumenep

Opini: Yant Kaiy
Buju’ Panaongan terletak di Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep Madura. Buju’ Panaongan ditemukan di dasar bukit pasir setinggi kurang lebih 17,5 meter. Makam para auliya ini ditemukan pada jam 02.30 WIB tanggal 13 September 1999.
Penemuan Buju’ Panaongan mencengangkan banyak orang di seluruh nusantara. Awal penemuan itu membuat banyak pengunjung berdatangan ke lokasi.

Makam para penyebar Islam di Buju' Panaongan.
Kemudian Tim Pusat Arkeologi Islam Jakarta melakukan penelitian terhadap makam-makam tersebut. Hasil penelitian diketahui dari tulisan di nisan makam.

1. Syekh Al-Arif Abu Said      (wafat 1292)
2. Syekh Abu Suhri                (wafat 1281)
3. Nyai Ruwiyah                     (wafat 1328)
4. Nyai Abu Mutthalif             (wafat tanpa tahun)
5. Nyai Al-Haj Abdul Karim    (wafat tanpa tahun)
6. Nyai Ummu Nanti              (wafat 1820)
7. Nyai Sarmi                         (wafat 1847)
8. Nyai Ma’ruf                        (wafat tanpa tahun)
9. Nyai Ummu Safuri             (wafat tahun kurang jelas)


Diperhatikan dari tulisan di batu nisan beraksara Arab, hal ini menunjukkan kalau tahun yang tertera adalah Hijriah.
Makam Syekh Ali Akbar di Dusun Pakotan Desa/Kecamatan
Pasongsongan-Sumenep

Sedangkan Syek Ali Akbar Syamsul Arifin yang kuburannya terletak di Dusun Pakotan Desa/Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep wafat 14 Jumadil Akhir 1000 Hijriah atau bertepatan dengan Sabtu, 28 Maret 1592 Masehi. Tulisan tetang keterangan wafat tersebut ada di daun pintu Astah Syekh Ali Akbar.
Jadi jelas kalau ditelisik dari tahun Hijriah, lebih awal Syekh Ali Akbar keberadaannya ketimbang Buju’ Panaongan.
Daun pintu Astah Syekh Ali Akbar Syamsul Arifin

Pendapat Kiai Mukasyafah
Tapi ada keterangan dari beberapa kiai mukasyafah (bisa melihat alam gaib/tembus pandang) di Kabupaten Sumenep, bahwa orang-orang yang terkubur di Astah Buju’ Panaongan keberadaannya lebih awal dari turunnya Wali Songo di tanah Jawa. Kita tahu kalau Wali Songo yang tertua adalah Sunan Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik yang meninggal pada 1419 Masehi.
Para kiai mukasyafah di Sumenep mejelaskan alasannya, kalau para pendakwah dari negeri Arab yang terkubur di Desa Panaongan saat itu singgah di Aceh. Lalu mereka melanjutkan perjalanannya ke Pulau Madura. Sedangkan pelabuhan terbesar di Madura pada saat itu adalah Pelabuhan Pasongsongan yang berada di pantai pesisir utara Pulau Madura.
Pelabuhan Pasongsongan saat ini.
Mereka tidak berani masuk ke tanah Jawa karena kepercayaan masyarakatnya sudah kuat, yaitu beragama non-Islam. Rombongan manusia perahu itu mendarat dengan selamat di Pelabuhan Pasongsongan. Setelah itu mereka membentuk komunitas di Desa Panaongan Desa Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Para penyebar agama Islam itu tidak serta merta menyebarkan ajaran Islam ke masyarakat.
Mereka lebih mendekatkan diri pada masyarakat sekitar dengan perilaku akhlak yang baik. Mereka memperkokoh persaudaraan terlebih dahulu. Pelan tapi pasti akhirnya para pendakwah itu berhasil meng-Islamkan warga sekitar dan menyebar luas ke seluruh masyarakat di pesisir utara Pulau Madura.
Tapi kesimpulan para kiai mukasyafah mendapat pertentangan dari sebagian masyarakat di Desa Pasongsongan dan Panaongan, bahwa tidak adanya satu objek penguat menjadi alasan lemahnya satu temuan metafisika itu.
Ditambah lagi tidak adanya keturunan dari para arifbillah yang terkubur di Astah Buju’ Panaongan menjadikan lemah pendapat dari kiai mukasyafah tersebut. Putusnya silsilah itu karena keturunan para penyebar Islam mengembara ke Pulau Jawa dan tidak kembali lagi.[]
Yant Kaiy, penjaga gawang apoymadura.com

Sumber dari buku:
1.Syekh Ali Akbar: Menelisik Sejarah Pasongsongan yang Terputus (penerbit Rumah Literasi, Sumenep, 2019): Yant Kaiy.
2.Melihat Lebih Dekat Tiga Objek Bersejarah di Pasongsongan (penerbit Duta Media, Pamekasan, 2019): Yant Kaiy.

3.Pasongsongan Tanah Mardikan: Perspektif Sejarah dan Pengembangan Potensi Wisata di Kecamatan Pasongsongan (penerbit Kantor Kecamatan Pasongsongan, Sumenep, 2015): Arif Susanto.
  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Guru Honorer PAI di Sumenep tidak Terurus

Catatan: Yant Kaiy Tidak adanya rekrutmen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) bagi guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di lingkungan Dinas Pendidikan Sumenep, menambah panjang penderitaan mereka. Karena harga dari profesi mulia mereka sebagai pendidik dibayar tidak lebih dari Rp 300.000,- per bulan. Rupanya pihak pemangku kebijakan masih belum terketuk hatinya untuk mengangkis mereka dari lembah ketidak-adilan. Sekian lama guru PAI terjebak di lingkaran mimpi berkepanjangan. Impian para guru PAI ini untuk menjadi PPPK menyublim seiring tidak adanya jaminan kesejahteraan. Namun mereka tetap berkarya nyata walau kesejahteraan keluarganya jadi taruhan. Mereka tetap tersenyum mencurahkan keilmuannya terhadap murid-muridnya. Animo itu terus bersemi karena ada janji Allah, bahwa siapa pun orang yang mendermakan ilmu agamanya, maka jaminannya kelak adalah surga. Barangkali inilah yang membuat mereka tidak bergolak dalam menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak turu

Panji Gumilang Pesohor Akhir Kekuasaan Jokowi

Catatan: Yant Kaiy Emosi rakyat Indonesia berpekan-pekan tercurah ke Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun, Panji Gumilang. Episode demi episode tentangnya menggelinding bebas di altar mayapada. Akhirnya, lewat tangan-tangan penguasa ketenangan dan kenyamanan Panji Gumilang mulai terusik. Telusur mereka berdasar pernyataan dirinya tentang beberapa hal yang dianggap sesat oleh sebagian besar umat Islam di tanah air. Cerita tentangnya menenggelamkan beraneka berita krusial dalam negeri. Isu ketidakadilan, kasus besar menyangkut hajat hidup orang banyak menyublim di dasar laut Al Zaytun. Banyak orang bertanya-tanya, seberapa perkasa Panji Gumilang di mata hukum Indonesia. Ia bertakhta atas nama kebenaran walau kadang berseberangan jalan dengan organisasi Islam yang ada. Mungkin baginya, berbeda itu indah. Sekarang tugas penguasa menyembuhkan suasana negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Tidak ada nilai tawar.[] - Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com

SDN Panaongan 3 Layak Menyandang Predikat Sekolah Terbaik di Pasongsongan

Agus Sugianto (kanan) bersama Kepala Dinas Pendidikan Sumenep Agus Dwi Saputra. [Foto: Sur] apoymadura.com  - SDN Panaongan 3 terletak di Dusun Campaka Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Lokasinya masuk pelosok dengan jalan rusak ringan. Warga masyarakatnya sebagai besar bekerja di ladang sebagai petani. Musim penghujan mereka bercocok tanam jagung. Musim kemarau masyarakat lebih banyak menanam tembakau.  Ada pula sebagian dari mereka merantau ke kota lain. Bahkan ada yang bekerja di Malaysia, mengadu peruntungan agar kesejahteraan hidup lebih baik. Etos kerja warga masyarakat cukup tinggi. Mereka sadar, putra-putri mereka paling tidak harus punya pondasi keilmuan yang cukup. Agar dalam mengarungi hidup lebih indah, sesuai impiannya. Kendati perekonomian mereka rata-rata lemah, namun masalah pendidikan anak-anaknya menjadi sebuah prioritas. Karena mereka sadar, hidup bahagia itu lebih lestari dengan ilmu. Mereka menginginkan pendidikan putra-putrinya ke tingkat p