Kisah Cinta di Ujung Lara
Novel: Akhmad Jasimul Ahyak
Jatuh
cinta pada siapapun adalah hal yang tidak bisa kita ramalkan untuk menjadi
cinta sejatinya, pendamping hidupnya. Kadang cintanya kandas di tengah jalan atau
ada pihak ketiga yang tidak mendukungnya.
Dalam
hidup pasti penuh dengan dinamika teka-teki. Untuk masa depan tentu akan
mengarah keujung kebahagiaan, teka-teki pemerintahan pasti menghadiahkan
kejayaan, teka-teki pendidikan tentunya akan menghasilkan kelulusan. Dan yang
bingung kalau terjadi cinta kasih idaman, terus apa yang aku jawab?. Yang jelas
jawaban ini menginspirasikan ingatan aku dimasa beberapa tahun yang silam tentang
“Kisah cinta kita yang berakhir di ujung lara”.
Kala
itu aku adalah orang yang sangat beruntung, karena aku lahir dalam keadaan
sempurna. Lebih beruntung lagi sebab benang-benang keberhasilan telah aku raih dari
sejak aku kecil sampai lulus sekolah menengah atas atau SMA. Semasa itu aku
sendiri masih lugu dan polos sehingga dibalik keluguan itu banyak teman perempuan
yang selalu mendekatiku. Tapi aku sendiri menganggap itu hal biasa karena waktu
itu masih belum tau tentang rasa mencintai dan dicintai. Hanya fokus pada niatku
belajar dan terus belajar untuk mencapai target keberhasilan yaitu lulus SMA.
Alhamdulillah
benang merah telah aku raih sampai aku lulus SMA. Entah apa setelah aku lulus
SMA Allah merencanakan terhadapku hijrah ke kota ikut kakak perempuan aku.
Mungkin aku kasihan sama kakak karena hijrahnya kakak ke kota seorang diri. Sejak
lama kakak ditinggal pujaan hatinya sehingga dalam kesendiriannya sangat
membutuhkan aku untuk menemaninya.
Hidup
yang kujalani di kota sudah hampir satu tahun berjalan, dan kulewati dengan
keikhlasan hati, walau kehidupan di kota susah serta serba mahal. Akupun
bingung saat itu. Dalam kebingunganku sengaja aku keluar dan duduk di depan
teras rumah sambil duduk menyendiri memikirkan kebingungan tadi.
Pagi
yang cerah pelangi menyatu dalam diriku. Dan aku masih tetap duduk sambil kepalaku
aku sandarkan ke dinding yang penuh debu. Seketika aku kaget mendengar suara merdu
dibalik telingaku. ‘Permisi’ katanya, aku tidak menghiraukan perkataan mereka.
Aku hanya diam terpaku, tanpa aku sadari ternyata seorang gadis berpakaian seragam
SMA yang tadi lewat di depanku. Terus aku pandangi dia sampai lenyap di lorong
gang sebelah rumah kakakku.
Kepalaku
masih terngiang-ngiang sebab aku merasa bersalah tidak menjawab sapaan gadis
tadi pagi. Pikir-pikir lumyan cantik juga, kataku dalam hati. Tanpa rasa malu dan
sungkan aku memberanikan diri tanya kepada kakak tentang gadis yang lewat pakai
seragam sekolah pagi tadi.
“Kakak?”
boleh aku tanya sama kakak
“iya
adik..” mau tanya apa
“Gadis
SMA yang lewat di depan siapa” kata aku dengan rasa malu
“Itu
Sulastri dik”, tapi disini dipanggil “Laras”, emang ada apa dik?
“Ngak
ada apa-apa” kataku lirih.
Hingga
saat jam selepas pulang sekolah aku sengaja duduk lagi di depan teras rumah ingin
menanti dan menunggu kedatangan “Laras” dengan perasaan dag dig dug der.
Kutunggu
pelangi menyatu dalam periuk rindu, seperti sendok dan garpu tak jemu menunggu.
Dengan waktu yang mungkin tidak cukup lama seketika muncul di lorong gang sosok
tubuh yang indah tinggi semampai, rambutnya panjang terurai dan memiliki alis
yang cukup tebal membuat aku penasaran ingin cepat melintas dihadapanku. Dari
kejauhan sudah terlihat dia tersenyum manja. Apa tersenyum kepadaku ataukah
tersenyum mengingat sama pacarnya, karena aku belum tau apa dia punya pacar apa
tidak.
Walhasil akhirnya.
Setelah tiba di depanku dia menyuarakan sapaan lagi.
“Permisi
mas” suara yang aku dengar dari mulutnya.
“Iya...?”
kataku dengan jawaban gugup dan agak kaku.
Terus
aku pandangi mereka, dia pun juga menoleh memandangku sampai hampir menabrak
pagar rumahnya. Aku baru tau ternyata rumahnya tepat sebelah belakang rumah kakakku.
‘tidak jauh juga' kataku dalam hati.
Singkat
waktu. Beberapa bulan kemudian, waktu aku lagi sendirian di rumah, kakak
sendiri lagi keluar. Tiba-tiba ada yang ketok pintu di luar
“Assalamualaikum”
suara yang aku dengar
“Walaikum
salam” jawabku
Terus
aku keburu bergegas menuju pintu dan membukanya. Setelah aku buka tanpa aku
sadari wajah aku dan dia saling berhadapan dekat sekali, dihitung-hitung kurang
lebih lima cm yang mau bersentuhan.
“Ada apa Laras?” kataku.
“Lho
kok tau nama aku,” jawabnya.
“Memang
gak boleh tau”jawabku lagi.
“Terus
tahu dari mana nama aku?”
“Tahu dari kakak aku,” ucapnya tersenyum malu.
Lanjut
si laras menanyakan kakakku.
“Ibu
subaidah ada?” kata
Laras.
“Baru
saja kakak ke luar” kataku pelan.
“Ini
saya titip uang arisan ibu” katanya lagi.
Tanpa
basa-basi lagi uang itu aku terima dari tangan Laras, pada saat itu tanpa
sengaja tangannya tersentuh oleh tanganku, ini di luar dugaan. Secara spontan
detak jantungku naik seketika disebabkan adanya rasa sentuhan tangan Laras yang
begitu lembut, sehingga awal dari ini aku merasakan getaran asmara. Padahal
dulu waktu aku masih SMA tidak pernah ada rasa suka sama perempuan, tapi kenapa
awal ketemu Laras batin aku merasakan sesuatu ingin memilikinya.
Usai
selesai ngasih uang arisan Laras balik bertanya.
“Terus
nama mas siapa” kata Laras
“
Panggil saja aku Jasim” kataku gembira
Tidak
terasa perbincangan aku dengan Laras lumayan lama sampai kakakku terlihat dari
kejauhan oleh Laras, dan Laraspun bergegas pamit sama aku, mungkin malu sama
kakak.
“Udah
dulu mas Jasim” tuturnya
“ya,
terima kasih Laras” aku jawab lirih
Perkenalan
aku sama Laras dari waktu ke waktu semakin akrab. Sampai akhirnya Laras tidak
merasa sungkan sering ke rumah kakak sebaliknya aku juga begitu. Dan ternyata
keluarga Laras dengan kakak sudah lama terjalin hubungan kekeluargaan atau sama
halnya dengan keluarga sendiri. Menurutku dalam hati, aku semakin ada
kesempatan untuk sering betemu berduaan sama Laras, sambil aku berilusinasi ingin
jadi pacarnya Laras.
Singkat
cerita. Saat di bulan puasa SMA Pesanten libur panjang karena menghadapi bulan puasa,
yang jelas Laraspun ikut libur sebab dia sekolahnya di SMA Pesantren. Ini
kesempatan baik bagiku untuk mengungkapkan perasaan hati aku kepadanya. Entah
apa nanti hasilnya belum tentu pasti mau apa tidak nantinya Laras menjadi pacar
aku.
Menjelang
awal bulan puasa, sudah biasa bagi umat islam untuk melaksanakan sholat tarawih
baik itu di masjid maupun surau. Kebetulan ada masjid yang sangat dekat dengan
rumah kakak, kuang lebih jarak yang aku tmpuh ke masjid seratus meter dari
rumah kakak.
Terdengar
suara sayup adzan berkumandang, bergegas pintu jendela bertutupan. Akupun
menuju masjid tergesa mengejar adzan untuk menunaikan sholat tarawih hanya
ingin meningkatkan iman. Sampai di masjid akupun berebut shof paling depan.
Sholat
tarawih sudah aku laksanakan para jamaah sudah bertebaran, seluas mataku kini
memandang. Mataku tertegun sejenak melihat seorang gadis sendirian yang lagi melepaskan
baju sholatnya, ternyata yang aku lihat adalah Laras, akupun melangkah turun dari
tangga masjid. Tiba-tiba suara teriakan kecil Laras memanggilku.
“Mas
Jasim tunggu” katanya, langkahku berhenti sejenak menunggunya.
“Kenapa
laras sendirian” tanyaku
“Sudah
ada mas jasim kok” denga suara guraunya.
Menurutku,
inilah yang aku tunggu-tunggu dan aku bersyukur kepada yang maha kuasa karena
telah hadir sang bidadari menemani dalam hidupku. Jalanpun tidak terburu-buru
dikejar waktu, dan akupun menikmati setiap detik langkah bersamanya. Dan
sampailah kita berdua di depan rumah kakakku.
“Mas
jasim..” aku pulang dulu ya?
“Ya
Laras” terima kasih banyak
“Besok
malam tarawih sama aku lagi” pinta si Laras
“Kenapa
tidak bersama keluarga Laras” jawabku
“Keluargaku
tarawih bersama-sama di rumah” dengan suara merdunya dia
Ucapkan
“Oke
Laras” kita tarawih bersama besok
Dengan
langkah gemulainya dia berjalan pelan diiringi bunyi irama sandal helo kitynya yang begitu indah, rasanya cocok dengan kaki
jemari lentiknya. Pas di depan pagarnya dia menoleh lagi ke arahku dan
memberikan senyuman, senyuman yang indah mempesona, tatapanmu menenggelamkanku.
Kisah ini baru dimulai, jangan pernah pergi dariku Laras, pintaku dalam hati.
Keesokan
harinya. Sore dalam legang belukar malam, sunyi menyelimuti langit temaram, pertanda
maghrib akan tiba. Tak lama lagi kamipun akan menuju tempat suci ingin
melaksanakan ibadah bersamamu lagi. Berselang setengah jam isya'pun menjadi.
Hanya
beberapa menit, yang aku tunggu menampakkan wajahnya dengan baju ibadah yang
masih melekat di tubuhnya. Dari kejauhan dia sudah memanggilku,
“Mas
jasim, sudah siap berangkat tarawih”. Siap Laras, kataku
Aku
lihat laras sangat tergesa-gesa menghampiriku.
“Ayo
mas Jasim berangkat” kitapun berangkat bersama diatas lorong gang yang sempit.
Dipersimpangan
jalan aku berhenti sejenak karena banyak motor dan mobil lalau lalang di jalan trotoar,
sebab masjid yang aku tuju harus menyebrang jalan raya. Setelah aku lihat sudah
sepi kami berdua segera melintas dan sampailah di depan masjid Baitur Rahman. Aku
dan Laras segera bergegas memasuki serambi masjid dan kitapun melaksanakan
sholat tarawih bersama.
Selesai
habis sholat tarawih kamipun saling tunggu, agak lama juga menunggu Laras,
mungkin sudah terbiasa Laras keluar belakangan dari masjid. Aku beruntung punya
sahabat yang rajin beribadah, walau sebenarnya ada secarik jiwa yang tak pernah
aku ungkapkan kepadanya, mungkin ini bukan saatnya rasa cinta ku katakan pada Laras.
Tiba-tiba
laras menepuk pundakku dari belakang.
“Mas
Jasim kok melamun” memang mikir apa mas
“Tidak
mikir apa-apa” sedikit bohong kukatakan kepadanya.
Akhirnya
Laras mengajakku pulang. Syukurlah dia juga perhatian kepadaku, dan tanpa
basa-basi akupun ikut pulang bersamanya, sambil ngobrol-ngobrol mengikuti arah
kaki menuju rumah.
Di
tengah perjalanan dia mengatakan sesuatu yang tak pernah aku sangka dan ku
duga.
“Mas
Jasim mau nanti aku ajak jalan-jalan”. Perkataan yg menyejukkan kataku dalam
hati. Tanpa pikir panjang, spontan aku jawab.
“Mau
Laras”. Asal jangan diajak masuk ke gorong-gorong, jawabku bercanda.
Dengan
senangnya aku langsung masuk rumah dan sekaligus mau ganti pakaian. Aku buka
lemari dan kupilih baju lengan pendek kotak-kotak, karena itu baju faforit aku,
sambil mencari parfum untuk aku semprotkan ke bajuku, biar Laras nanti tidak
ada rasa malu bila ketemu dengan teman-temannya.
Aku
tebak sebentar lagi Laras pasti nyusul ke rumah. Pas yang aku katakan dalam
hati barusan ternyata benar dugaanku. Dari luar rumah ada suara Laras
memanggilku
“Mas
Jasim sudah siap” sebentar Laras aku masih cari sandal
“Tunggu
saja sebentar” kataku
“Ya
mas” aku tunggu di luar
Setelah
selesai dan beres semuanya aku langsung ke luar menuju Laras
“Kamu
sendiri siap Laras” siap mulai tadi dong.
Sudah
pukul 20:00 WIB. Aku dan Laras mulai berangkat, tapi aku tidak tau arah tujuan
Laras mau ke mana, aku tidak memikirkan hal itu yang terpenting aku sudah
senang ada kesempatan jalan-jalan berdua dengan Laras.
Kini
tiba di puncak kota bersama perempuan yang sedang dalam pelukan, aku lagi betah
menatap lautan kota dari kejauhan, yang dihias dari ribuan lampu. “Terima kasih
Laras”, karena kamu memperbolehkanku berada di samping kamu. Ini kata-kataku
yang indah dalam hati.
Saat
ini malam kupanjangkan, agar hatiku yang sepi tidak terlalu cepat datang,
karena malam ini aku begadang dengan seorang gadis di sepanjang jalan. Tapi aku
tidak tahu maksud dan tujuan Laras entah kemana yang akan dituju,aku hanya
mengikuti arah langkah mereka.
Tepat
di perempatan lampu merah ada gadis mungil berbaju merah berjilbab hitam berhenti
di belakang Laras dan menarik tangannya.
“Hai
Laras pada mau kemana” kata mereka
“Hai
juga” aku mau ke toko Santi, Jawab Laras
“Kamu
bersama siapa Laras” ucap Santi
“Ini
sahabat baru aku” ujar Laras tersenyum
“Sahabat
apa pacar?...”sambil mencubit lengan Laras
“Sudah
Santi” aku mau ke toko baju dulu ya
“Ya
Laras” mari mas, juga kata Santi kepadaku.
Aku dan
Laras langsung menuju ke toko yang dia tuju, aku mengikutinya dari belakang. Jadi
aku baru tau ternyata Laras mau beli baju. Sesampainya di dalam toko dia sudah
memili-milih baju, entah baju apa yang dia suka. Ternyata baju yang diambilnya adalah
baju muslim dengan motif batik, dan langsung bajunya dikasih ke kasir sekaligus
mengambil uang di dompetnya untuk membayar ke kasir. Tapi tangan dia aku tarik.
“Biar
aku yang bayar” berapa mbak kataku pada kasir
“Ngak
usah mas” aku yang bayar dengan kata memaksa
“Benar”
iya mas
Sebenarnya
aku ingin membayarnya supaya Laras tambah perhatian sama aku. Apa daya aku
harus mengalah. Aku takut Laras ngambek gara-gara uang baju yang dia beli. Aku menatap
Laras dan dia melihat jam tangannya, mungkin sudah terasa bahwa sudah kelewat
malam. Ternyata benar dugaanku, dan dia langsung mengajak pulang. Tiba-tiba
Laras memanggil tukang becak, ayo mas Jasim kita pulang naik becak saja. Aku
nurut saja kemauannya, mungkin Laras takut sama ibunya kalau nanti pulangnya
malam.
Kita
berduapun naik becak. Baru kali ini aku naik becak bersama gadis istimewa. Di atas
becak kita duduk saling merapat, itu sudah pasti karena becak muatnya dua
orang. Tidak lebih, jadi wajar kalau tubuh aku dan Laras saling bersentuhan.
Tiga
roda dekil ini terus melaju, dalam laju yang kelu membelah jalan kota malam itu.
Dan ini kesempatan yang baik untuk mengungkapkan perasaan cintaku pada Laras.
Tapi aku berpikir harus memulai dari mana untuk ungkapkan keterusterangan bahwa
aku suka dan cinta sama dia.
“Laras”,
apa mas
“Boleh
aku tanya sesuatu sama kamu”, tanya apa mas katanya
“Laras
ngak malu jalan sama aku”. Ini kata pancingan kataku dalam hati
“Napa
harus malu mas” kata Laras
“Kalau
ketemu sama pacar kamu gimana”, aku ngak punya pacar mas
“Awas
kamu bohong”, buat apa aku bohong sama mas Jasim.
Hatiku
sekarang puas melenggang, becakpun ikut melenggang mengikuti arah jalan pulang.
“Boleh
aku tanya lagi”, kataku agak gembira
“Iya,...tapi
jangan yang jorok”, maaf mas bercanda katanya
“Jujur...aku
suka sama kamu”, benarkah mas Jasim suka sama aku
“Aku
jujur kok Laras”, aku tidak memaksa kok, tapi aku butuh jawaban
“Mas
Jasim”, aku juga suka sama kamu
“Terim
kasih Laras”, aku pegang tangan Laras sambil aku cium.
Bapak
tukang becak terus mengayuhkan becaknya sambil tersenyum mendengar perkataan
aku dan Laras, dengan asyiknya menyaksikan adegan drama mini kata, sampai sang tukang
becak tidak merasakan bahwa sudah sampai ke rumah. Dan becakpun berhenti, terus
aku berdua turun sambil ngasih uang 20.000 pada tukang becaknya. Terima kasih pak,
kembaliannya bawa saja untuk bapak.
Aku
tidak langsung menuju rumah kakakku, tapi perlahan aku menghampiri Laras karena
masih ada yang harus aku ucapkan sama Laras.
“laras
tunggu sebentar”, ya mas ada apa
“ketemu
besok lagi Laras”, itu juga mauku kata Laras
“Selamat
tidur”, Laras pun juga menjawab “Semoga mimpi indah mas”
Singkat
cerita, hubungan aku dengan Laras sudah berjalan kurang lebih satu bulan dan
tidak ada rintangan apapun. Kakakku juga ibunya Laras sudah mengetahui hubungan
kita berdua. Hingga belakangan ini aku sering ke rumah Laras setelah pulang
sekolah, kadang ngobrol berdua di teras depan rumahnya, kadang saudara Laras
juga ikut gabung, Laraspun juga begitu sering ke rumah kakakku. Hidup di kota
yang namanya pacaran mungkin dianggap hal biasa. Tapi belum pasti apakah semua
keluarga Laras nanti mau apabila aku melamar menjadi tunanganku.
Setelah
aku ketahui ternyata keluarga Laras adalah keluarga terpandang dan berkecukupan
dan juga merupakan keluarga besar. Dihitung-hitung semua keluarganya ada delapan
orang. Saudara kandung Laras ada enam saudara ditambah ibunya, sedangkan
bapaknya pensiun Camat tapi sudah meninggal sejak Laras masih sekolah SD.
Walaupun begitu, hubungan aku dengan Laras masih tetap.
Malam
pertama di bulan terakhir Ramadhan, aku ada rencana mau ngasih sesuatu kepada
Laras untuk persiapan hari raya Idul Fitri, karena ada harapan-harapan yang
ingin aku wujudkan kepada Laras. Aku sendiri ada niat untuk membuat kartu
lebaran sendiri dan itu memang kesukaan Laras. Akhirnya aku membuat kartu
lebaran dihiasi dengan gambar yang indah dan disertai kata-kata mutiara tentang
cinta, jadi aku tidak usah beli kartu lebaran yang ada di toko-toko, karena itu
memang hobi aku. Dan kartu lebaran aku bungkus dengan rapi yang aku kasih nanti
pas malam takbiran.
“Aku
sembunyi di tempat yang hanya bisa ditemukan olehmu. Dalam penantian, aku
berkenalan dengan sepi dan takut hanya rindu menyayat sabar, membungkus dengan
selimut basah, menyirami gigil penantianku. Jika saat kau berkenan kembali lagi
saat aku tidur, kan kubawa engkau dalam mimpiku. Terima kasih rindu....semoga
di hari raya Idul Fitri selalu dalam lindungan yang Maha Kuasa. Mohon maaf
lahir batin. Dari kekasihmu Jasim”.
Ini adalah
kalimat yang aku tulis dan aku asah dalam lembaran kartu lebaran yang nanti
akan aku kasih kepadamu. Laras masih belum tau dan memang aku sengaja mau kasih
kejutan kepadanya.
Matahari
sudah mulai tenggelam sebentar lagi kumandang takbir saling bersahutan dari
masjid ke masjid dan dari surau ke surau. Pertanda kartu lebaranku akan tiba
dalam pelukanmu. Malam mulai merangkak dan takbirpun mulai terdengar. Akupun bergegas
menuju rumah Laras dengan kartu lebaran di tangan seraya ku ucap salam, dan
dari dalam rumahnya Laras menjawab salam aku. Akupun di suruh masuk. Mari duduk
mas jasim, katanya. Aku tidak sungkan lagi langsung duduk dan Laras juga duduk
di sampingku. Kartu lebaran yang terbungkus
rapi aku kasih kepada Laras.
“Ini
untukmu”, mungkin hadiah ini tidak berharga buat Laras
“wow...ini
berharga dari yang lain mas” dengan rasa bangga ia katakan
“Terima
kasih Laras”, sama-sama mas Jasim
Tanpa
rasa sungkan dan malu aku mengutarakan yang selama ini aku pendam dalam hati. Dan
saya langsung katakan sama Laras bahwa tidak
lama lagi aku ingin melamarnya menjadi tunangan aku. Laras sangat respon
sekali. Malah dia katakan lebih cepat lebih bagus. Tidak lama aku langsung
pamit, soalnya tidak enak lama-lama berdua, karena aku tau di malam lebaran
Laras pasti repot untuk persiapan lebaran besok.
“Sudah,
aku pulang dulu Laras”, iya mas dengan suara nada bahagia
“Awas
lebih cepat lebih bagus”, pasti Laras, kataku
Keesokan
harinya pas lebaran, tiba-tiba Laras dengan sendirinya datang ke rumah kakakku,
kebetulan aku masih sarapan pagi. Biasa kangen sama makanan buatan kakakku. Soalnya
satu bulan penuh sudah berpuasa. Dengan cepatnya aku makan, karena aku pingin
tau wajah dan tubuh Laras memakai baju baru di hari lebaran. Setelah dilihat aku
kaget. Ternyata baju yang dia pakai adalah baju yang beli kemarin di toko
bersama aku. Luar biasa, sungguh pas dan serasi. Ternyata Laras sangat pintar
memilih baju.
“Kakak
kamu mana mas”, lho kok cari kakak, bukan aku, kataku bercanda
“Sekarang
kan lebaran”, jadi aku mau minta maaf sama kakak kamu
“Oh...iya
Laras”, itu kakakku ada di dapur.
Laraspun
langsung menuju ke dapur dan sungkem sama kakak sambil minta maaf. Dan aku
lihat Laras ibarat adiknya sendiri sama kakak, apa mungkin karena aku sudah
menjadi pacarnya Laras sehingga kakak juga sangat perhatian sama Laras. Setelah
itu Laras pun langsung ke depan dan menuju ke kamar aku.
Di
tariknya tanganku sambil dicium seraya mengucapkan “Aku minta maaf ya mas Jasim”.
Ya kataku, terus diciumnya kening Laras dengan penuh mesra.
Aku
dan laras keluar kamar selanjutnya duduk di kursi tamu. Sudah biasa kalau
lebaran di meja tamu sudah tersedia beragam macam kue, dan akupun menyuguhkan
kue yang ada di meja. Laras memang orangnya tidak pemalu, hingga dia tidak sungkan
dan langsung kue yang ada di meja rasakan satu persatu. Terus aku sama Laras
sambil ngobrol.
“Aku
tanya sama Laras”, ya boleh mas
“Memang
mas mau tanya apa”, jawabnya penasaran
“Laras
setelah lulus sekolah rencananya mau kemana”, tidak kemana-mana .
“Maksudku
tidak mau kuliah”, tidak juga mas
“Terus....”,
ya nungguin kamu mas
“Katanya
mas Jasim mau lamar aku”, rada-rada merayu
“Iya,
tidak lama lagi kok”, aku juga bilang sama kakak dan kakakku setuju
“Terima
kasih mas Jasim”, ia sama sama Laras.
Semua
berjalan sesuai apa yang kupikirkan. Pada awalnya aku merasa tidak percaya
diri, perasaan was-was terbayang terus dalam pikiranku. Tapi tak terbayangkan
kenyataannya tidak sesuai apa yang aku bayangkan. Walaupun tahap pertama sudah
aku lalui dan berjalan mulus, tapi masih tinggal dua tahap lagi yang masih jadi
beban dalam pikiranku, yaitu perjalanan yang aku dan Laras tunggu, adalah
proses pertunangan dan proses ijab qobul nantinya. Kedua proses ini apa
membuahkan hasil yang menyenangkan atau menyedihkan. Perjalanan ini aku pasrah pada
yang maha kuasa, karena Allah yang mengatur segalanya. Aku hanya berusaha dan
berdoa.
Melamar
seorang gadis adalah jalan awal demi mendapat selangkah lebih dekat ke jenjang pernikahan.
Lamaran juga dapat diartikan sebagai sebuah ikatan, walau terkadang tidak
menutup kemungkinan terjadi kegagalan sehingga hubungan bisa kandas.
Hari
raya Idul Fitri sudah terlewati satu minggu. Sesuai dengan janji yang aku
ucapkan kepada Laras sekarang aku penuhi. Saat ini adalah waktu yang
ditunggu-tunggu baik aku dan juga Laras. Dengan segala persiapan aku dan kakak mencoba
memberanikan diri Silaturrahim ke rumah Laras dalam rangka Lamaran
pertunanganku dengan Laras.
Perjalanan
langkah kaki seolah berat untuk memasuki istana sang bidadari, namun dengan
tekat dan janji, aku dan kakak sudah tiba di rumah Laras. Kebetulan pintu rumahnya
terbuka, berarti semua keluarga laras sudah pasti ada di dalam. Selanjutnya aku
dan kakak sudah ada di teras depan rumahnya.
“Assalamu’alaikum”,
salamku dari luar
“Walaikum
salam”, jawabnya dari dalam
Tidak
sampai satu menit, mungkin hanya hitungan detik sosok gadis yang aku dambakan menampakkan
wajahnya dari dalam. Dia kaget mungkin karena ada kakak yang datang dan
langsung Laras buru-buru masuk ke dalam lagi, mungkin memanggil ibunya. Tidak
lama kemudian ibunya keluar.
“Oh...
Ada tamu” tutur beliau
“Silahkan
masuk ibu Subaidah”, dengan kata sopannya.
Aku
dan kakak memberanikan diri duduk. Ibu Laras pun juga duduk, sambil memanggil
Laras untuk buatkan minuman.
“Maaf
ibu mengganggu”, tutur kakakku
“Ya,
tidak apa bu”, jawab ibu Laras
“Memangnya
ada perlu apa”, ungkap bu Laras
Tiba-tiba
Laras mengantar minuman sehingga perkataan kakakku berhenti sejenak. Silahkan
minum dulu bu subaidah. Ya bu, kata kakakku. Perbincangan dilanjutkan lagi.
Maksud
kedatangan saya ingin meneruskan hubungan anak ibu dengan adikku supaya
hubungannya sampai ke kenjang pertunangan. Dan sekaligus hari ini juga saya ingin
melamar putri ibu yaitu Laras. Ibu Laras menjawabnya.
“Ya, bu Subaidah”, tapi saya
tidak mau kasih jawaban sekarang
“Terus
kapan bu”, jawab kakakku
“Insya
Allah dalam satu minggu ini bu”. Ya bu, tapi jangan terlalu lama.
Hari-hariku
selanjutnya kurasa dinapasi semangat, karena beban yang aku pikirkan sejak dulu
sudah tersampaikan, meski belum ada keputusan dari keluarga Laras. Tapi tidak
apa aku tunggu saja, satu minggu buat aku sangat dekat.
Menjelang
hari ke tujuh aku berusaha menyendiri dari segala ketidakpastian. Hatiku sangat
gundah, jantungku berdetak kencang, karena ada rasa takut yang menyelimuti
hidupku. Aku harus kuat, harus bangkit karena semua ini masih belum pasti,
ditolak apa diterima lamaranku.
Menjelang
hari ke tujuh dimana hari yang aku tunggu-tunggu, di hari ini nantinya aku
cuman pingin tau tentang jawaban dari ibunya Laras. Tak lama kemudian pagi-pagi
sekali ibunya Laras berjalan tertatih-tatih, maklum ibu Laras sudah agak tua.
Dan aku yakin dia pasti menuju rumah kakakku. Benar sekali tebakanku, tapi dia tetap
sopan dan ramah.
“Nak...Jasim
kakakmu ada”, aku jawab dengan santai, ya..ada ibu.
“Silahkan
masuk bu”, kataku pelan.
Dan
ibu Laras sambil mengucapkan salam. Kakakku langsung keluar dari kamarnya dan
menyambutnya dengan penuh ramah, karena kakak sama ibu laras seperti keluarga
sendiri. Aku sengaja menjauh tidak ingin mendengar percakapannya. Lebih baik
nanti aku tanya langsung sama kakak. Perbincangannya agak lama juga, aku tambah
penasaran saja. Aku tidak sabar ingin tahu hasilnya.
Ibunya
Laras pamit dan keluar dari rumah, berarti sudah selesai pembicaraan mereka. Aku
mau tanya langsung sama kakak ada perasaan yang tidak enak dalam hati aku. Tapi
biarlah kakak yang mengatakan langsung kepadaku.
Di
hari itu juga kakak masih belum kasih kabar. Apakah kakak mau kasih kejutan
ataukah lamaranku ditolak. Dan aku tidak banyak pikir hanya pasrah saja karena
semua takdir adalah kehendak yang kuasa.
Kemudian
hari esok aku lagi duduk di ruang tamu sendirian dan kembali kakak dari dapur dengan
membawakan segelas kopi hangat yang memng sudah disiapkan sore tadi. Tidak
biasanya kakak kasih kopi ke aku dan duduk di sampingku. Kopi yang sudah
disediakan langsung aku minum.
“Gimana
rasa kopinya adik”, pas rasanya kak
“Adik
yang sabar ya”, maksudnya apa kak
“Saya
Cuma mau kasih kabar sama adik”, kabar apa sih. Aku pura-pura tidak tau.
“Kabar
tentang hubungan kamu sama Laras”, terus gimana kabarnya kak
“Tapi
kamu jangan sedih”, mungkin ini sudah takdir dik
“Jadi
lamaran aku ditolak kak”, Iya adik
“Benarkah
kak”, untuk apa kakak bohong
Sebenarnya
apa yang terjadi? Bukankah aku dengan Laras saling mencintai, dan semua ini
juga atas persetujuan Laras agar aku cepat melamarnya. Ada apa ini sebenarnya? Aku
masih belum percaya kalau tidak bicara langsung sama Laras.
Aku
langsung masuk ke kamar dan menjatuhkan tubuhku di atas kasur, tidak peduli bagaimana
kakak melihatnya. Saat itu juga air mataku tak terbendung, hatiku remuk bagai
kaca yang pecah berhamburan. Aku hanya berbaring.
Benarkah
yang kulihat sekarang, apakah aku bermimpi, bangunkan aku dari mimpi buruk ini
Tuhan...?. Padahal aku dan kamu sudah berjanji tidak saling melupakannya. Kalau
sudah begini pasti kamu tidak akan kemabali lagi kepadaku.
Entah
apa yang membuatku bergerak, dan saat ini rasanya hati kepingin ingin ketemu
Laras. Dengan rasa penasaran aku langsung memberanikan diri ke rumah Laras, walau
yang aku hadapi nantinya penuh dengan resiko. Tanpa banyak pikir aku langsung
ke rumah Laras, rasa takut tidak aku pikirkan yang penting aku tahu
kebenarannya. Sesampainya di rumah Laras aku lihat pintu rumahnya tertutup semua,
apa semua pada keluar atau lagi istirahat di dalam.
“Assalamu’alaikum”,
suaraku dari luar rumahnya, tidak ada yang jawab
“Assalamu’alaikum”,
Salamku yang ketiga kalinya, ternyata ada sahutan kecil terdengar di telingaku,
seraya menjawab salamku.
“Walaikum salam”, diiringi bunyi suara pintu
yang telah terbuka. Ternyata yang ada di depanku adalah Laras. Aku kira ibunya.
“Oh...kamu
mas Jasim”, dengan suara yang agak serak
“Ya
Laras...ini aku”, boleh aku masuk Laras
“Boleh
lah mas”, kebetulan ibu tidak ada mas
“Memang
ibunya kemana”, ibu lagi ke rumah kakakku
“Laras
sendirian”, kataku keheranan
“Sama
adik dan kakak aku mas”. Kebetulan juga, adik dan kakaknya tidak mungkin tahu
tentang masalah aku dan Laras, karena yang aku tahu adiknya masih kecil dan
kakak laki-lakinya idiot.
“Kok
masih berdiri mas”, silahkan duduk mas.
Setelah
aku duduk, Laras ke belakang buat kopi untuk aku. Aku hanya berpikir semoga ibunya
tidak cepat pulang, biar aku tahu semua permasahannya. Laras kini membawa kopi dan
di taruh di atas meja dekat aku.
“Silahkan
diminum kopinya mas”.
“ Ya, terima kasih Laras.”
“Kebetulan
kamu ke sini mas”, karena ada yang harus aku bicarakan.
“Jadi
Laras sudah tau semuanya”, iya mas Jasim
“Kenapa
ibu kamu menolak lamaranku”, sebenarnya aku gak mau lamaran kamu di tolak mas,
akupun tidak bisa berbuat apa-apa dan ini atas kesepakatan semua saudara aku
juga mas.
“Jadi
sekarang Laras tidak suka sama aku”. Jujur mas, aku suka dan cinta kok
“Kalau
memang cinta”, terus buktinya mana
“Sumpah
mas aku suka sama kamu”, dia katakan sambil meneteskan air mata.
Tapi
aku tetap salahkan dia, aku sudutkan dia. Laraspun diam hanya isak tangis yang
aku dengar dan terus menangis, menyadari apa yang ibunya lakukan kepadaku. Dan
dia katakan “Ya aku salah mas”, tapi aku tidak bisa menentang kemauan ibu, dan
aku juga tidak berani sama ibu mas, sambil memeluk aku hingga terasa benar isak
tangisnya. Baru kali ini aku merasakan pelukan Laras karena dia terlalu
cintanya sama aku, sampai aku juga rasanya tidak tega dan kasihan sama dia. Dan
aku baru menyadari bahwa ini bukan kesalahan Laras. Tapi ibunya yang bikin
menangis dan sedih sampai matanya membengkak.
“Sudahlah
jangan menangis lagi”, sambil aku lepaskan tangannya yang sudah melingkar erat
pada tubuh aku. “Maafkan aku Laras”, sembari aku pegang kedua pundaknya dan aku
cium keningnya,”Aku cinta kamu”, sampai kapanpun aku ingat kamu. Isak tangis
berganti senyuman. “Aku juga cinta dan sayang kamu mas” sambil menggenggam erat
tanganku dan mencium dengan mesra.
“Perlahan
malam menjamah jiwa yang sepi menjadi mimpi. Menantang ragu di tepian pasir
yang membisu. Aku rindu ini meminta temu,......adalah kamu”.
Aku
berdua terdiam dalam kelu, walau batin kita penuh dengan kesedihan, kekecewaan
dan penyesalan menjadi kisah yang usang. Tapi rasa cinta kita berdua tidak akan
pernah hilang, meski jodoh kita tidak menjadi kenyataan.
Anganku
kembali teringat kepada ibunya Laras. Aku takut pertemuan kali ini diketahui
ibunya, karena kurang lebih satu jam lamanya, aku sudah bisa membagi rasa kepada
Laras. Dan aku pamitan sama Laras.
“Laras
aku pamit dulu ya”, ucapku pelan
“Ya
mas”, jawabnya dengan nada sendu, walau lamaran kita tidak direstui oleh ibunya,
hati aku tetap ada di hati mas. Ya..., aku juga begitu Laras. Setelah aku mau pamitan
entah kenapa tangan Laras menggenggam erat tanganku, dan memegang wajahku.
Dipandanginya wajahku, dia berbisik, boleh aku ngasih sesuatu mas. Ternyata dia
mencium keningku lagi dan aku juga cium kening Laras. Segera aku pamit dan
langsung pulang.
Malam
kala itu menceritakan sepasang kekasih yang saling kehilangan, yang satu terus pulang,
satunya lagi diam di tempat, menangisi masa yang baru saja berlalu, meneriaki
apapun yang tidak bisa kembali, waktu, dia, dan cinta.
Sedang
yang pulang, membakar habis potret bisu dengan amarah yang sudah menyala tanpa
asap, lembaran itu dengan mudahnya hangus. Tak putus-putus semua kenangan
disuapkan ke baranya, sampai habis, lalu padam. Gelap
serentak menjadi kulit baru bagi mata dan hatinya.
Ia
lebih rapuh dari api kertas. Tidak ada lagi yang bisa ia remuk selain jiwanya.
Semuanya telah ia jadikan tiada, hanya bayang mantan kekasih yang mengelus pundak,
seraya masih disayang, atau rasa bersalah yang tanpa sengaja ia bawa pulang.
Singkat
cerita. Kurang lebih hampir satu tahun aku hidup bersama kakak di kebisingan
kota yang kian lama aku semakin jenuh. Banyak sekali yang telah terjadi.
Bahagia, derita, tawa, tangis, suka duka silih berganti, menghiasi hari-hariku
di kota ini. Dan semua ini akan kujadikan pengalaman, walau sangat pahit yang
aku rasa. Kadang aku teringat kampungku, dimana aku dilahirkan, kangen rasanya
mau pulang. Padahal jarak antara kampungku dan kota yang aku tinggal sangat dekat,
kalau ditempuh dengan motor 30 menit sudah nyampek dan hanya di tempuh dengan
jarak 38 km.
Lama
sudah aku terkekang, haruskah aku hidup menyendiri, sendiri dan menyepi tanpa
kehadiranmu, walau kamu masih tetap mencintaiku. Tapi orang tua kamu yang
memisahkan jarak kita. Jadi buat apa aku masih tetap di sini, senjapun takkan
mengubah waktu, untuk tetap pergi meninggalkanmu.
Sebelum
kepergianku menjadi keputusan, aku tidak akan pergi begitu saja meninggalkan
kakak. Aku harus ijin, pamit sama kakak, karena kakaklah tumpuan hidupku.
Kebetulan
kakak lagi nyantai dan aku sempatkan itu juga untuk pamit pulang kampung.
“Aku
ada perlu sama kakak”, emang ada apa dik
“Besok
rencananya mau pulang kampung kak”, kalau maumu begitu, ya boleh
“Kalau
tidak kerasan di kampung kembali ke sini lagi” itu pesan kakak
“Pasti
dong kak”, kan adik sayang kakak
Esoknya
aku sudah siap dengan ransel di punggung, untuk meninggalkan kedua perempuan
yang aku sayang dan kucintai, dia adalah kakak yang aku sayang, dan juga cinta
kita yaitu “Laras”.
Hari
demi hari semakin bergulir, membawaku mendekat pada saat dimana aku harus pergi,
meninggalkan kotaku, meninggalkan siggasana milikku, kakak dan juga kekasih
yang selalu kucintai. Dan aku memang sengaja tidak memberi tahu pada Laras tentang
kepergianku, biar tidak memikirkan aku yang sudah berada di pengasingan.
Mungkin inilah jalan takdirku. Pergi untuk beberapa lama meninggalkan kamu
berserta kenangan indah bersamamu. Hal yang terberat dari kepergiannku adalah
ketika masih terikat jalinan kasih bersamamu. Raga mungkin pergi, namun hati
dan pikiran masih memikirkan kamu. Berjuta kenangan telah tercipta waktu
bersamamu. Berjuta cerita habis terukir. Ribuan malam kini menjadi saksi bahwa
aku sang pemimpi kini tertidur pulas. Menanggalkan sejenak ambisi meraihmu ke
dalam nadi.
Sudah
sebulan lamanya aku sudah merasakan hidup di kampungku bersama ibu dan saudara-saudaraku,
rasanya hidupku lebih bahagia dari pada hidup di kota kakak yang ia tingal.
Seminggu
kemudian.....
Pas
malam minggu yang kelabu, semua kegiatan terasa beku cuma karena kamu tidak ada
di sampingku. Badan terasa lesu hatipun terasa pilu. Kini terlintas bayangan
“Laras” pacarku. Sampai aku tidak bisa tidur. Aku baru sadar dan ingat bahwa Laras
pernah memberikan satu lembar foto ukuran 4x6 kepadaku, dan aku selipkan di
dalam dompetku. Diambillah fotonya, aku berbaring di atas kasur empuk terus aku
pandang foto Laras. Kala itu aku teringat kenangan indah bersamanya.
“menyusuri
tepian malam, membekas dalam ingatan tentang cinta, tentang kenangan. Apakah
semuanya masih mungkin terjadi? tentang
cinta yang tak mungkin kembali. Kadang kita punya waktu untuk nikmati sepi. Tak
seindah ketika dirimu ada disisiku. Apakah saat ini juga kamu rasakan? Akan
bisik hati yang kesepian. Mungkin hanya aku, mungkin tidak dirimu. Nanun aku
selalu mengharap dirimu kembali mengusir sepiku”.
Pagi-pagi
benar saat habis mandi aku seduh kopi sambil aku duduk dengan sebatang rokok di
tangan. Kebetulan pas aku mau merokok, dari luar rumah ada tetangga yang ngantarkan
orang, katanya tamuku dari kota. Aku seketika kaget, mungkin Laras yang datang,
kata aku. Dugaanku salah ternyata tamuku adalah temen aku dari pamekasan. Dia
adalah teman lamaku Surie Busollie. Aku sangat gembira karena sekian lama aku
tidak ketemu dengan teman aku yang profesinya adalah sastrawan dan pelukis,
juga ketua seniman seluruh pamekasan. Beliau adalah guruku.
“Assalamu’alaikum”,
walikum salam jawabku
“Jasim
gimana kabarnya”, baik-baik saja pak, jawabku
“Memang
ada apa pak”, ucapku
“Saya
mengadakan acara di pamekasan”, acara apa pak.
“Bedah
buku puisi dan sekaligus pameran lukisan”, tutur bapak Surie Busollie
“Kapan
pak”, kataku gembira
“Satu
bulan lagi Jasim”, menurut beliau
“Jasim
harus siap buat lukisan”, untuk dipamerkan, katanya
“Oke...
Aku senag pak”, terima kasih pak, jawabku
Sudah
dua jam lebih aku ngobrol sama pak Surie Busollie. Tidak terasa sudah
menghabiskan satu pak rokok gudang garam surya. Dan Alhamdulillah pada waktu
itu juga aku dikasih modal duluan berupa uang, aku lihat kurang lebih Satu
juta. Itu cukup untuk buat lima buah lukisan, dan pameran nanti katanya gabung dari
seluruh pelukis dan sastrawan yang ada di pamekasan. Jadi tidak membutuhkan
biaya banyak untuk buat lukisan.
Aku
semakin hari semakin sibuk, siang dan malam terus bekerja membuat lukisan tanpa
kenal lelah. Persiapan lukisan yang aku pamerkan ada dua aliran yaitu aliran
Naturakisme dan Romantisme. Itu sengaja aliaran karya yang aku buat pas dengan kisah
pengalaman aku denga Laras. Ada satu karya lukisan yang spesial aku buat dan
aku kasih judul “Sunggingan Senyum Sang Bidadari”. Lukisan itu adalah lukisan
potret foto “Laras”.
Sudah
dua minggu persiapan pembuatan lukisan hampir selesai, hanya tahap pengerjaan
bingkai lukisannya yang masih belum selesai. Selang beberapa menit aku buat
bingkai lukisan, ada bunyi suara kendaraan berhenti di depan rumahku, aku lihat
ternyata motor Pak Pos, dia turun dari motornya dan menuju ke arahku,
memberikan sebuah kiriman berupa amplop coklat agak besar. Aku masih belum buka
amplopnya karena pekerjaan masih belum selesai, setelah aku buka isi amplop itu
tidak lain adalah undangan pernikahan Laras. Seketika aku kaget, betapa
cepatnya dia ingin melakukan pernikahan. Hatiku semakin teriris setelah melihat
nama Laras dan tunangannya yang tertulis di dalm undangan Itu. Ternyata dia
memilih anak kota Surabaya.
Masih
ada satu amplop kecil yang masih tidak aku buka. Aku tambah penasaran apa isi
amplop kecil Dengan pelan aku buka, di dalamnya berisi secarik kertas putih bersama
oretan-oretan penanya yang sengaja ia tulis untuk aku. Aku baca isi suratnya.
“Buat
Mas Jasim di kejauhan: Sebelumnya aku minta maaf mas. Barangkali kamu sedikit
tercengang dengan surat dan undangan yang ku kirimkan, karena aku pikir memang
hanya inilah cara yang tebaik buat aku. Jujur aku tidak bisa berbuat apa-apa
untuk kamu. Pertuanagan aku sekarang adalah pertunangan yang bukan atas dasar
saling suka, saling cinta tapi atas dasar kehendak ibu aku mas, mungkin ini takdir
kita. Semoga Mas Jasim menerimanya dengan hati yang tulus”.
“menjalin
hubungan denganmu di masa lalu adalah fase hidup yang tak pernah kusesali. Berpisah
denganmu bukan sebuah pilihan tapi keharusan yang tak pernah ku lupakan.
Sekarang kau adalah masa lalu yang telah menjadi sejarah dalam hidupku”
Dari
aku yang selalu mencintaimu “Laras”.
Ada
rasa sedih dan kutahan tetesan airmata setelah membaca surat Laras. Dan kurasa itu
wajar, karena tidak ada pilihan lain untuk dia kecuali patuh sama ibunya. Setelah
kubaca hari dan tanggal pernikahan Laras untung lebih awal dari acara pameran
aku di pamekasan, jadi ada kesempatan untuk hadir dipernikahan nanti.
Aku
kebingungan kado yang aku kasih di acara pernikahannya Laras. Setelah dipkir-pikir
aku baru ingat tentang lukisan potret Laras yang aku persiapkan untuk pameran. Lukisan
itu kujadikan kado buat Laras, mungkin itu kado yang sangat berharga buat Laras.
Tanpa pikir panjang lukisan potret Laras yang sudah selesai langsung aku kasih
bungkus dengan kertas yang sangat indah.
Menjelang
pernikahan berlangsung. Laras dan suaminya sudah berada di ambang pintu masuk,
aku menuju dan menghampiri Laras, terjadilah jabat tangan aku dan Laras, sambil
aku berbisik “Ini kado lukisan potertmu”, simpan baik-baik, bisikku lagi. Sampai
sekarang lukisan itu masih terpajang di dinding kamarnya.
Dua
hari menjelang pernikahan Laras. Acara pameran lukisan akan dilaksanakan.
waktunya aku untuk berangkat menuju kota batik yaitu kota Pamekasan. Acara
sudah di gelar di halaman pendopo kabupaten Pamekasan. Bukan hanya memamerkan
lukisan tapi aku diberi kesempatan membacakan puisi karya sastrawan pamekasan
yang ada di kota Malang. Puisi yang aku baca “ Mendaki Basmalah”. Mungkin suatu
hidayah dan anugerah dari Tuhan. Ternya puisi yang aku baca sama persis dengan
judul lukisan yang aku pamerkan. Sehingga pada waktu itu juga lukisan aku
terjual pada K.H. Syafi’i selaku Bupati Pamekasan pada masa itu.
Alhamdulillah… Aku
bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan bergabung pada Forum Seniman Pamekasan, kiprahku sebagai seniman tambah
meluas. Akhirnya aku mendapatkan jodoh gadis di kota
ini hingga
sekarang.(*)
Pasongsongan, 26/2/2020
Editor: Yant Kaiy
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.