CERPEN: Sungai Sepi Mengalir Tanpa Arah

CERPEN Suriyanto Hasyim

By: Suriyanto Hansyim

Sosoknya selalu berkelebat di antara sepi yang menikam. Ada sesuatu dari dirinya—entah tatapan atau cara bicaranya—yang membuat langkah pikiranku tertahan. Aku merasa seperti terkurung dalam ruang yang tak terlihat, seakan rinduku tumbuh di atas tanah gersang, di antara ranting-ranting kering yang tak mungkin bersemi. Padahal aku tahu, lelaki itu bukan kekasihku. Ia bukan seseorang yang pernah mengikrarkan cinta atau janji apa pun. Ia hanyalah teman baru di kampus. Tidak lebih… setidaknya itu yang terus-menerus kuucapkan pada diriku sendiri.

Suatu siang di kantin, ia muncul sambil membawa aroma keriuhan mahasiswa yang lalu-lalang.

“Malam Minggu kau ada acara?” tanyanya tiba-tiba, seperti mencoba membuka pintu yang sudah kututup rapat.

“Ada,” jawabku singkat. Suaraku terdengar datar bahkan untuk telingaku sendiri.

“Kirain sendiri…” gumamnya pelan. Suaranya hampir tenggelam oleh riuh percakapan di sekeliling kami.

Aku buru-buru mengalihkan pembicaraan. “Kau makan apa?”

“Aku sudah pesan. Kau sendiri?”

“Sudah juga.”

Kami kehabisan kata. Pesanan datang, dan kami hanya menunduk menikmati makanan sederhana pengganjal perut. Sebagai mahasiswi perantauan, aku harus belajar berhemat. Ayah selalu mengingatkanku sebelum berangkat ke kota ini: apa pun yang bisa disederhanakan, sederhanakanlah. Termasuk urusan makan siang.

Namun belum separuh piring habis, beberapa teman datang menghampiri meja kami. Suasana yang sebelumnya tenang mendadak pecah.

“Wah, wah! Sudah jadian nih ye…” celetuk salah seorang dari mereka sambil tertawa.

“Apanya? Kita nunggu kalian sedari tadi, kok,” balasku cepat, tanpa menoleh pada Reihan untuk meminta persetujuan. Kebiasaanku: membentengi diri dengan jawaban-jawaban singkat.

Mereka tertawa lagi, menggodaku seperti biasa. Banyak yang bilang aku ini gadis dingin, terlalu tertutup, susah ditebak. Aku tak pernah membantah, hanya membiarkan anggapan itu lewat seperti angin.

Sore harinya, di kamar kos, Desi—teman baruku yang paling bawel—mengangkat topik yang membuatku menghela napas panjang.

“Haruskah aku membuka diri?” gumamku lirih, hampir tidak yakin aku menanyakannya.

“Memperbanyak teman tidak ada salahnya, Mila. Kita kan mahasiswa baru di kota orang. Siapa tahu nanti kita kesulitan, punya banyak kenalan itu penting,” nasihat Desi sambil memelototi layar ponselnya.

“Entahlah,” jawabku. Rasanya sulit mengatakan apa yang sebenarnya mengganjal.

“Memang kau tidak kerasan? Masih memikirkan orang rumah?” Ia menatapku lebih serius dari biasanya.

Aku tersenyum kecut, mencoba menepis.

“Jangan bilang kau mau pindah jurusan?” desaknya lagi.

“Tidak semuanya begitu!” aku membantah cepat.

“Lalu? Ada apa?”

Tarik napas. Lepas. Ada sesak yang tak bisa kuungkap. Bayangan tentang kisah cintaku setahun lalu menempel seperti bayangan gelap yang tak mau hilang. Seseorang pernah masuk begitu dalam ke hidupku—lalu pergi begitu saja. Sejak saat itu, pintu hatiku terkunci.

“Menurutmu… bagaimana Reihan?” akhirnya aku bertanya.

Desi langsung mengangkat alis. “Bagaimana apa?”

“Dia baik. Terlalu baik malah. Dia perhatian. Dan meski tak mengatakannya secara langsung, aku tahu dia… ada rasa.” Aku memainkan ujung selimut, gelisah. “Tapi aku sengaja menutup diri. Aku takut terluka lagi.”

“Jadi kamu belum move on?” Desi menatapku seolah jawabannya sudah jelas.

“Ya. Begitulah mungkin.”

Desi mengangguk-angguk penuh simpati. Ia memang teman paling cepat paham meski baru kukenal beberapa bulan. Kami berasal dari kota yang sama, beda kecamatan. Kami pertama kali bertemu di sebuah seminar—aku sebagai moderator, dia panitia pelaksana. Sejak itu, hubungan kami seperti cepat mengikat.

“Tapi Reihan itu ngebet banget sama kamu, Mila,” ujarnya kemudian sambil beringsut mendekat penuh gosip.

Aku akhirnya tertawa. “Kau ini. Jangan-jangan kau duta dia?”

Kami pun tertawa bersama. Tawa yang mengusir gelap malam yang sebelumnya terasa menghimpit.

Sebulan berlalu. Reihan tidak banyak berubah: tetap perhatian, tetap datang di waktu yang aneh, tetap membuat hatiku tak tenang. Suatu sore, tanpa pemberitahuan apa pun, ia datang ke kosku. Ketukan pelan di pintu membuatku terlonjak.

“Mila, ada tamu,” ujar ibu kos dari balik pintu.

Aku terpaksa keluar. Di teras depan, Reihan duduk menungguku. Tatapannya membuat dadaku tak karuan. Ada gugup, ada harap, ada sesuatu yang entah bagaimana membuatku ingin pergi tetapi juga ingin tetap tinggal.

Saat aku duduk, ia tak membuang waktu.

“Aku tak butuh jawabanmu sekarang, Mila,” ucapnya, nada suaranya tegas namun lembut. “Aku hanya ingin mengatakan… aku menyukaimu.”

Aku terpaku. Dari sudut mata, kulihat ia menatapku penuh ketulusan. Jantungku berdegup kencang, seperti hendak melompat keluar. Reihan perlahan mendekat, mencoba menyentuh tanganku—gerakan kecil yang membuatku tersentak.

Refleks, aku mengangkat tangan sedikit, memberi isyarat agar ia berhenti. Bukan karena aku membenci sentuhan itu. Justru sebaliknya. Aku takut aku tak mampu menjaga jarak lagi jika ia terus maju.

Dan di teras kos yang remang itu, di antara angin sore yang membawa aroma pohon mangga, aku baru menyadari satu hal: mungkin yang paling kutakuti bukanlah Reihan… melainkan diriku sendiri.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Soa-soal Bahasa Madura Kelas III

Soal-soal Bahasa Madura Kelas IV SD

Amazing! Siswa SDN Soddara 1 Pasongsongan Raih Juara III se-Madura

Soal dan Kunci Jawaban Bahasa Madura PAS Kelas IV SD

SDN Soddara 1 Pasongsongan Turunkan 4 Atlet di Skill and Sport Competition 03 se-Madura

MWC NU Pasongsongan Hadirkan Kiai Said Aqil Siradj: Menyambut Hari Santri dengan Pencerahan untuk Umat

Mitos Uang Bernomer 999

Prestasi Siswa SDN Panaongan 1 dalam Spelling Bee Competition Kabupaten Sumenep

Upacara Bendera di SDN Padangdangan 2 Berlangsung Khidmat, Pembina Upacara Ingatkan Kesiapan Asesmen Sumatif Semester

Soal dan Kunci Jawaban Bahasa Madura Kelas 3 SD di Sumenep