CERPEN: Hujan Penyesalan

karya suriyanto hasyim

By: Suriyanto Hasyim

Selalu saja dalam benakku ada benci yang menggunung terhadapnya. Benci yang tak pernah benar-benar padam meski waktu sudah lama berlalu. Semua bermula dari satu kesalahan yang hingga kini tak bisa kupandang remeh, tak bisa pula aku maafkan. Hari itu, di salah satu toilet kampus, dia mencoba menciumku. Ciumannya memang belum mendarat karena aku menepisnya cepat-cepat, tetapi rasa jijik, terkejut, dan ketakutan yang ditinggalkannya tak pernah hilang. Seperti noda yang membeku di dada, tak peduli berapa kali aku mencoba melupakannya.

Sejak hari itu, kusumpahi dia sebagai manusia sampah. Manusia bejat. Tidak bermoral. Aku melaporkannya pada salah satu dosen, dan laporan itu mengakhiri hidup perkuliahannya. Dia benar-benar dikeluarkan dari kampus tempat kami menimba ilmu. Banyak yang bilang aku kejam. Banyak pula yang membelanya. Tapi tak ada seorang pun yang benar-benar mengerti apa yang kurasakan saat itu.

Sebelum keluar dari kampus, dia sempat mengirim permintaan maaf lewat media sosial. Pesan yang panjang—entah setulus apa—tak pernah kubaca sampai habis. Jarinya mengetuk pintu rumahku suatu sore, berharap bisa meminta maaf secara langsung. Aku mengunci pintu kamar, memeluk lutut sambil menggigit bibir, membiarkannya mengetuk berulang-ulang hingga akhirnya suara langkah kakinya menjauh.

Lima tahun berlalu dengan cepat, meski trauma itu tetap tinggal di sudut hati. Aku tumbuh, berubah, berusaha memperbaiki hidup. Kadang aku berpikir tentang kejadian itu, tidak dengan amarah yang sama, tapi dengan kelelahan yang tak pernah bisa kujelaskan.

Hari ulang tahunku tiba. Rumah ramai, musik lembut mengalun, dan orang-orang yang kusayangi berdatangan memberi selamat. Lalu tiba-tiba dia muncul di antara kerumunan—tak diundang, tak pernah diharapkan.

Tubuhku mendadak kaku.

“Selamat ulang tahun, Mila,” ucapnya pelan. Suaranya bergetar, seperti seseorang yang sedang berjalan di atas es tipis. Tangannya menyodorkan sebuah kado kecil yang dibungkus rapi.

“Letakkan saja di meja,” ucapku ketus, tanpa menoleh, tanpa senyum. Ibu menyenggol lenganku halus, pertanda beliau tidak setuju dengan sikapku.

“Jangan begitu, Mila. Dia kan sudah menyadari kesalahannya,” bisik Ibu setelah lelaki itu berlalu, menunduk lesu.

Acara ulang tahun berjalan hingga malam. Orang-orang pamit satu per satu. Hingga akhirnya hanya dia yang tersisa. Dia meminta waktu sebentar pada Ibu, dan entah kenapa Ibu menyetujui. Kami duduk berdua di ruang tamu yang mulai lengang, hanya ditemani bayangan lampu dan sisa tawa yang masih menggantung di udara.

“Kedatanganku… untuk menebus dosa masa lalu terhadapmu, Mila,” ucapnya lirih.

“Sudah kumaafkan malam ini.” Aku mengeraskan suara. “Puas?”

Dia terdiam. Menunduk. Aku pertama kali melihatnya begitu—patah, bukan sekadar menyesal.

“Izinkan aku mengatakan sesuatu dulu,” pintanya perlahan.

“Katakan.”

Dia menarik napas panjang, seolah kalimat berikutnya sudah bertahun-tahun menghuni tenggorokannya.

“Dari dulu sampai sekarang aku… tetap menyukaimu. Sikapku dulu… itu kesalahan besar. Tapi aku waktu itu bingung, terlalu sering memikirkanmu sampai tak tahu harus bagaimana. Aku—”

“Sudah cukup. Aku tak butuh ceramahmu.” Aku berdiri. “Pulang.”

“Tunggu.” Suaranya memanggilku sebelum aku sempat melangkah. “Ada satu hal lagi.”

Aku menoleh. Dia mendekat, merogoh saku, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil. Ketika kubuka, mataku membelalak. Cincin emas. Berkilau pucat, seperti harapan yang datang terlambat.

“Terimalah cincin ini sebagai tanda bahwa kita bisa bersahabat lagi,” katanya hampir berbisik. “Dalam dua atau tiga hari… orang tuaku akan datang melamarmu.”

Mendengarnya, hatiku seperti diremas. Bukan karena haru, tetapi karena penyesalan yang muncul bukan pada waktunya. Sikap pura-pura benci yang selama ini kupakai seperti tameng, perlahan runtuh. Ada bagian kecil dalam diriku yang sebenarnya memaafkannya sejak lama, namun tak pernah berani mengakuinya.

“Kuterima… persahabatan itu,” jawabku perlahan. “Tapi tidak lamaranmu.”

Dia terpaku. Seolah kalimat itu memotong nafasnya.

“Kenapa?” tanyanya, suara serak menempel di tenggorokan.

Aku tersenyum kecil, lebih mirip senyum belas kasihan. “Aku sudah bertunangan. Minggu depan kami akan menikah.”

Dia membatu. Matanya bergerak mencari-cari kebenaran di wajahku, seolah berharap aku hanya bergurau.

“Di… dimana dia sekarang?” suaranya terputus-putus.

“Kerja di luar negeri.”

Keheningan jatuh seperti selimut tebal. Tak ada lagi yang mampu kami katakan. Cincin itu kututup kembali dan kusodorkan kepadanya. Dia menerimanya dengan gemetar.

“Aku datang terlambat, ya…” gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.

Aku tak menjawab. Terlalu banyak rasa yang tak lagi punya tempat untuk diucapkan.

Dia akhirnya bangkit. Melangkah pelan menuju pintu. Setiap langkahnya seperti serpihan sesuatu yang hancur.

“Mila… maaf. Untuk semuanya,” ucapnya sebelum keluar.

Aku hanya berdiri, mematung, melihat punggungnya menghilang di balik hujan gerimis malam. Lampu-lampu jalan memantulkan bayangannya yang semakin mengecil, lalu lenyap ditelan halimun.

Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya setelah lima tahun, aku menangis. Bukan karena benci. Bukan karena luka lama. Tapi karena aku baru menyadari sesuatu:

Beberapa penyesalan tidak pernah benar-benar hilang.
Mereka hanya menunggu saat paling sunyi untuk mengetuk kembali.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Soa-soal Bahasa Madura Kelas III

Soal-soal Bahasa Madura Kelas IV SD

Amazing! Siswa SDN Soddara 1 Pasongsongan Raih Juara III se-Madura

Soal dan Kunci Jawaban Bahasa Madura PAS Kelas IV SD

SDN Soddara 1 Pasongsongan Turunkan 4 Atlet di Skill and Sport Competition 03 se-Madura

MWC NU Pasongsongan Hadirkan Kiai Said Aqil Siradj: Menyambut Hari Santri dengan Pencerahan untuk Umat

Mitos Uang Bernomer 999

Prestasi Siswa SDN Panaongan 1 dalam Spelling Bee Competition Kabupaten Sumenep

Upacara Bendera di SDN Padangdangan 2 Berlangsung Khidmat, Pembina Upacara Ingatkan Kesiapan Asesmen Sumatif Semester

Soal dan Kunci Jawaban Bahasa Madura Kelas 3 SD di Sumenep