Langsung ke konten utama

Nyai Agung Madiya Pasongsongan, Panglima Perang Wanita Raja Sumenep ke 29

Nyai Agung Madiya Pasongsongan, Syekh Ali Akbar Pasongsongan, Raja Sumenep ke 29 Bindara Saod
Senjata tombak kecil Nyai Agung Madiya ketika berperang melawan tentara kolonial Belanda. [Foto: Yant Kaiy]

Catatan: Yant Kaiy

Tidak ada catatan spesifik yang mengangkat sosok panglima perang perempuan berasal dari Dusun Pakotan Desa/Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep ini. Kisahnya hanya menjadi cerita dari mulut ke mulut. Dia adalah Nyai Agung Madiya.

Bukti peninggalannya berupa senjata berbentuk tombak dan kayu berbentuk tangan manusia. Senjata itulah yang digunakan Nyai Agung Madiya saat melawan penjajah Belanda di tanah Aceh.

Orang di luar Pasongsongan tentu banyak yang tidak tahu, siapa sesungguhnya Nyai Agung Madiya. Dialah panglima perang Kerajaan Sumenep semasa kepemimpinan Raja Bindara Saod. Jasa-jasanya yang prestisius perlu kiranya dikenang bagi masyarakat Sumenep.

Perempuan berpostur tegap ini adalah puteri kesayangan Syekh Ali Akbar Syamsul Arifin. Masyarakat Pasongsongan mengenal betul ayahanda Nyai Agung Madiya adalah seorang ulama kharismatik yang cukup disegani. Syekh Ali Akbar merupakan tokoh utama penyebar agama Islam pada abad XV Masehi di pesisir utara Pulau Garam Madura.

Sedangkan Nyai Agung Madiya adalah seorang perempuan yang lemah-lembut tingkah laku kesehariannya. Selalu hormat kepada siapa saja, tanpa pandang bulu. Tetapi ia sangat garang kalau sudah maju ke medan pertempuran.

Nyai Agung Madiya tujuh bersaudara, diantaranya Kiai Sarep, Kiai Kendel, Kiai Amrun, Kiai Lembung, Kiai Jengguk, dan Nyai Agung Singrum. Diantara tujuh bersaudara itu hanya Nyai Agung Madiya yang mempunyai kemampuan untuk maju ke medan perang. Beliau memiliki ilmu kanuragan tingkat tinggi.

Menurut para keturunan dari Syekh Ali Akbar, kebanyakan dari mereka saat ini tinggal di Dusun Pakotan Desa/Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep, ilmu kanuragan itu yakni ilmu yang berguna untuk membentengi diri pribadi secara supranatural. Ilmu ini meliputi kemampuan bertahan terhadap serangan dan kemampuan untuk menyerang dengan kekuatan yang amat dahsyat/diluar daya nalar manusia dan tidak masuk akal.

Nyai Agung Madiya Pasongsongan, Syekh Ali Akbar Pasongsongan, Raja Sumenep ke 29 Bindara Saod
Senjata Nyai Agung Madiya Pasongsongan berbahan kayu berbentuk tangan manusia. [Foto: Yant Kaiy]

Perang Melawan Penjajah Belanda

Suatu ketika  Kerajaan Aceh minta bantuan kepada Raja Bindara Saod untuk mengusir penjajah Belanda. Akan tetapi malang tak dapat ditolak, pasukan Kerajaan Sumenep kalah dalam peperangan dengan tentara kolonial Belanda di bumi Aceh. Tak ada satu pun pasukan perang Kerajaan Sumenep yang kembali. Semuanya gugur. Raja Bindara Saod dirundung duka cukup mendalam.

Dalam keadaan risau, lalu Bindara Saod berkunjung ke Pasongsongan untuk meminta bantuan kepada Syekh Ali Akbar. Karena saking iba demi mendengar cerita Sang Raja, maka Syekh Ali Akbar merelakan putri tercintanya untuk dikirim ke Aceh. Menumpas tentara kolonial Belanda.

Sebelum Nyai Agung Madiya berangkat ke Aceh, ia didoakan oleh Syekh Ali Akbar agar selamat dalam peperangan. Sang Ayahanda juga memberikan siasat perang yang harus dijalankan nantinya di medan laga.

Singkat cerita, pasukan perang Kerajaan Sumenep pulang membawa kemenangan. Nyai Agung Madiya dan Syekh Ali Akbar mendapat penghargaan dari raja berupa tanah luas di Dusun Pakotan Pasongsongan-Sumenep. Orang-orang Pasongsongan menyebut tanah pemberian raja itu dengan sebutan ‘tanah mardikan’.

Menurut para keturunan Syekh Ali Akbar, tanah pemberian Raja Sumenep tersebut dulunya bebas pajak, tapi setelah Presiden Suharto tanah itu dikenakan pajak.[]

©Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Guru Honorer PAI di Sumenep tidak Terurus

Catatan: Yant Kaiy Tidak adanya rekrutmen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) bagi guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di lingkungan Dinas Pendidikan Sumenep, menambah panjang penderitaan mereka. Karena harga dari profesi mulia mereka sebagai pendidik dibayar tidak lebih dari Rp 300.000,- per bulan. Rupanya pihak pemangku kebijakan masih belum terketuk hatinya untuk mengangkis mereka dari lembah ketidak-adilan. Sekian lama guru PAI terjebak di lingkaran mimpi berkepanjangan. Impian para guru PAI ini untuk menjadi PPPK menyublim seiring tidak adanya jaminan kesejahteraan. Namun mereka tetap berkarya nyata walau kesejahteraan keluarganya jadi taruhan. Mereka tetap tersenyum mencurahkan keilmuannya terhadap murid-muridnya. Animo itu terus bersemi karena ada janji Allah, bahwa siapa pun orang yang mendermakan ilmu agamanya, maka jaminannya kelak adalah surga. Barangkali inilah yang membuat mereka tidak bergolak dalam menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak turu

Panji Gumilang Pesohor Akhir Kekuasaan Jokowi

Catatan: Yant Kaiy Emosi rakyat Indonesia berpekan-pekan tercurah ke Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun, Panji Gumilang. Episode demi episode tentangnya menggelinding bebas di altar mayapada. Akhirnya, lewat tangan-tangan penguasa ketenangan dan kenyamanan Panji Gumilang mulai terusik. Telusur mereka berdasar pernyataan dirinya tentang beberapa hal yang dianggap sesat oleh sebagian besar umat Islam di tanah air. Cerita tentangnya menenggelamkan beraneka berita krusial dalam negeri. Isu ketidakadilan, kasus besar menyangkut hajat hidup orang banyak menyublim di dasar laut Al Zaytun. Banyak orang bertanya-tanya, seberapa perkasa Panji Gumilang di mata hukum Indonesia. Ia bertakhta atas nama kebenaran walau kadang berseberangan jalan dengan organisasi Islam yang ada. Mungkin baginya, berbeda itu indah. Sekarang tugas penguasa menyembuhkan suasana negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Tidak ada nilai tawar.[] - Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com

SDN Panaongan 3 Layak Menyandang Predikat Sekolah Terbaik di Pasongsongan

Agus Sugianto (kanan) bersama Kepala Dinas Pendidikan Sumenep Agus Dwi Saputra. [Foto: Sur] apoymadura.com  - SDN Panaongan 3 terletak di Dusun Campaka Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Lokasinya masuk pelosok dengan jalan rusak ringan. Warga masyarakatnya sebagai besar bekerja di ladang sebagai petani. Musim penghujan mereka bercocok tanam jagung. Musim kemarau masyarakat lebih banyak menanam tembakau.  Ada pula sebagian dari mereka merantau ke kota lain. Bahkan ada yang bekerja di Malaysia, mengadu peruntungan agar kesejahteraan hidup lebih baik. Etos kerja warga masyarakat cukup tinggi. Mereka sadar, putra-putri mereka paling tidak harus punya pondasi keilmuan yang cukup. Agar dalam mengarungi hidup lebih indah, sesuai impiannya. Kendati perekonomian mereka rata-rata lemah, namun masalah pendidikan anak-anaknya menjadi sebuah prioritas. Karena mereka sadar, hidup bahagia itu lebih lestari dengan ilmu. Mereka menginginkan pendidikan putra-putrinya ke tingkat p