Kurikulum Merdeka: Antara Keniscayaan dan ilusi
Oleh: Yant Kaiy
Kurikulum Merdeka (Kurmer) sudah mulai diberlakukan pada tahun ajaran baru 2022/2023. Gaungnya menyeruak ke seantero negeri gemah ripah loh jinawi. Terselip sebuah impian meniscaya. Kemajuan metode pembelajaran di bumi nusantara. Endingnya, peserta didik bakal menjadi manusia ber-SDM mumpuni. Manusia berjiwa cerdas.
Beraneka statement dari pakar pendidikan. Ada pro dan kontra dalam launching Kurmer. Sebuah proyek monumental dari seorang Menteri Pendidikan, Kebudayaan. Riset, dan Teknologi RI demi memajukan dunia pendidikan. Tak ada yang keliru. Tapi harus ingat tentang satu hal. Kita tahu masing-masing daerah di Indonesia punya karakter berbeda dalam mengaplikasikan sistem pembelajaran.
Kapasitas, baik daya nalar atau wawasan, seorang siswa di kota dan desa tentu berbeda. Maaf, bukan menyudutkan peserta didik berasal dari desa. Tapi realitanya demikian.
Sebelumnya, Kurikulum 2013 (K13) telah menghias langit sekolah di bumi nusantara. Pakar pendidikan merancang K-13 agar tampil beda. Menjadikan mata pelajaran seperti nasi campur. Mata pelajaran Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, PJOK, PKn dimix jadi buku Tema.
Ketika tes sumatif, Tema wajib dipilah-pilah. Tidak lagi ujian Tema. Begitu juga di aplikasi rapor siswa. Terjadilah pemetaan ditiap-tiap nilai mata pelajaran. Lucu. Menggemaskan.
Kehadiran K-13 bikin ‘heboh’ para guru. Mentor dadakan, tutor karbitan pun dihadirkan dalam sosialisasi kurikulum “nasi campur” tersebut. Anggaran besar digelontorkan supaya sukses. Mega proyek menatalkan cuan. Kantong pelaku begelar ahli dunia pendidikan otomatis tebal. Bukan menuduh. Faktanya, anggaran untuk makan dua kali disunat satu kali sehari dalam sosialisasi K-13.
Kini, peluncuran Kurmer. Buku-buku K-13 dibumihanguskan. Aplikasi rapor murid dicampakkan. Proyek pengadaan buku mulai dianggarkan. Kepala sekolah pun ancang-ancang mengalokasikan dana BOS. Mau tidak mau. Karena ini tuntutan.
Semua elemen tenaga kependidikan wajib berjamaah. Tunduk-patuh pada ‘sabda’ seorang Menteri Pendidikan. Kalau tidak, jelas tidak mungkin. Mereka hanya bisa menggerutu di ruang hampa.
Semua tidak salah. Yang salah, mereka yang di Lapas (Lembaga Pemasyarakatan). Disinyalir oleh para pengamat pendidikan di daerah, kalau Kurmer didalamnya tersirat sebuah keuntungan beberapa pihak saja. Yakni orang-orang atas.
Semestinya kurikulum terdahulu kalau sudah baik dilestarikan saja. Tak usahlah mementingkan ‘ego’ kekuasaan. Sehingga tercipa efisiensi APBN. Toh, bisa anggaran dialokasikan pada yang lebih urgen. Lebih mendesak.
Kita bisa menelisik, semua pelaku tenaga kependidikan (guru) saat ini disibukkan beraneka urusan administrasi. Bukan fokus bagaimana anak didik hari ini lebih baik daripada hari kemarin. Terutama dalam sisi keilmuan, mental dan spiritualitas anak didik.
Kita memang harus optimis. Menatap hari esok lebih baik. Selalu menaruh hati untuk terus positive thingking terhadap kebijakan tersebut. Begitu orang-orang bijak mengatakan.[]
Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.