Riwayat Syekh Ali Akbar Pasongsongan (12)
Penulis: Yant Kaiy
4.
Al-Mujtahid adalah seseorang yang memiliki kemampuan ijtihad atau istinbath
(inferensi) hukum-hukum syariat dari sumber-sumber muktabar dan bisa diandalkan.
Ada
beberapa unsur bagi seseorang yang dapat dikategorikan dirinya pantas
memperoleh gelar Al-Mujtahid :
-
Harus bisa menguasai dan mengetahui arti
ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, baik menurut bahasa maupun
syariah.
- Harus bisa menguasai dan mengetahui
hadis-hadis tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syariah.
- Harus bisa mengetahui nasakh dan mansukh dari
Al-Qur’an dan sunnah, supaya tidak salah dalam menetapkan hukum.
- Harus bisa mengetahui permasalahan yang
sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama.
- Harus bisa mengetahui qiyas dan berbagai macam persyaratannya serta
meng-instimbat-nya, karena qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad.
- Harus bisa menguasai Bahasa Arab dan berbagai
disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta pernak-pernik berbagai
problematikanya.
- Harus bisa menguasai ilmu ushul fiqih yang
merupakan pondasi dari ijtihad.
- Harus bisa mengetahui tujuan syariah secara
umum, karena bagaimanapun juga syariah itu berkaitan dengan maqashidu
asy-syariah sebagai standarnya.
5.
At-Tawadhu’ adalah orang yang rendah hati (lawan dari sombong) yang melahirkan
perkataan, perbuatan atau sikap serta perasaan memiliki kekurangan, kelemahan
dibanding orang lain meskipun ia mampu melakukan yang lebih baik dari orang
lain.
Berikut
ini ciri-ciri orang yang tawadhu’ :
a.
Bersikap tenang dan sopan
b.
Menghargai orang lemah
c.
Sederhana
d.
Menjauhi perilaku sombong
Beberapa
gelar yang didapat Syekh Ali Akbar tersebut diberikan Raja Sumenep setelah
beliau meninggal dunia. Raja Bindara Saod jelas tidak sembarangan dalam
memberikan gelar pada sesorang. Raja Bindara Saod tahu betul dengan latar
belakang Syekh Ali Akbar. Siapa sesungguhnya Syekh Ali Akbar dan bagaimana
sepak terjangnya didalam kehidupan sehari-hari. Karena gelar kehormatan memang
seyogyanya diberikan kepada siapa saja
yang telah banyak berjasa. Dan gelar itu pantas tidaknya untuk disandangkan
pada seseorang tentu akan melewati uji
penelitian, uji kebenaran, dan uji kepatutan.
Sepeninggal
Syekh Ali Akbar, pulang ke rahmatullah. Raja Sumenep amat merasa kehilangan
atas kepergiannya. Begitu pula rakyat Kerajaan Sumenep turut berduka-cita
karena mereka tahu kalau Syekh Ali Akbar dikenal sebagai tokoh agama yang
mumpuni dan menjadi panutan banyak orang. Apalagi Syekh Ali Akbar sudah
berhasil menorehkan tinta emas di kemajuan peradaban Kerajaan Islam di Sumenep.
Akhlak
Syekh Ali Akbar
Ada
pula akhlak mahmudah (akhlak terpuji)
yang dimiliki Syekh Ali Akbar yang sangat mempesona terekam oleh pihak
keluarganya, dan diceritakan kembali kepada keturunannya, yaitu qana’ah dan
haya’. Kedua akhlak mulia ini pernah Syech Ali Akbar praktekkan dalam kehidupan
sehari-hari. Bahkan kedua akhlak terpuji ini pernah ia sikapkan dalam mengambil
beberapa keputusan penting.
Pengertian
qana’ah adalah suatu sikap kelapangan jiwa dalam menerima rejeki yang diberikan
Allah dan hilangnya rasa loba terhadap sesuatu yang tidak tercapai.
Ciri-ciri
orang yang memiliki sifat qana’ah memiliki lima unsur:
1.
Menerima dengan ikhlas (lapang dada) dan apa adanya terhadap pemberian Allah.
2.
Memohon kepada Allah tambahan yang pantas disertai usaha dan dibarengi dengan
ikhtiar yang sunguh-sungguh, tidak bermalas-malasan.
3.
Menerima dengan sabar ketentuan dan ketetapan Allah yang ditimpakan pada
dirinya.
4.
Bertawakkal kepada Allah.
5.
Tidak silau oleh tipu daya dunia.
Qana’ah
mampu menguatkan hati dan sebagai modal utama yang takkan pernah kering meski
terpapar panas sekalipun. Sikap qana’ah ini pernah ditunjukkan Syekh Ali Akbar tatkala ia mendapat bingkisan
emas satu nampan penuh sebagai hadiah raja kepadanya tatkala kemenangan Nyai
Agung Madiya berperang mengusir tentara Belanda di Aceh. Dengan lemah-lembut
Syekh Ali Akbar menolak bingkisan Raja Bindara Saod.
Sedangkan
akhlak haya’ (malu) adalah suatu sikap dalam memelihara lisan dari
ucapan-ucapan kotor dan tidak terpuji, serta menjaga diri dari
perbuatan-perbuatan jelek dan tercela.
Haya’ (malu) ada tiga macam:
1.
Haya’ (malu) kepada Allah. Artinya menjalankan perintah dan menjauhi larangan
Allah karena mendambakan ridha-Nya.
2.
Haya’ (malu) kepada orang lain. Artinya, tidak mengganggu atau menyakiti orang
lain, tidak berbuat yang tidak pantas di hadapan mereka dan tidak membicarakan
persoalan/urusan mereka dengan kata-kata yang menyakiti perasaan.
3.
Haya’ (malu) kepada diri sendiri. Atinya menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak disukai oleh orang lain pada waktu
sendirian atau di tempat yang sepi sekalipun.
Sikap haya’ ini sering Syekh Ali Akbar praktekkan
dalam beberapa kesempatan. Termasuk ketika kehadiran Raja Bindara Saod ke tempat
tinggal beliau. Syekh Ali Akbar sangat berhati-hati sekali dalam menjaga sikap
dan ucapannya. Ia tidak langsung menjawab sebelum ucapannya masuk ke dalam daya
nalarnya. Beliau memprosesnya terlebih dulu. Beliau lebih banyak diam. Kalau ia
berbicara dengan seseorang pandangannya tidak menghujam ke wajah orang yang
diajaknya bicara. Ia lebih banyak melemparkan arah tatapannya ke objek lain,
tapi ia tetap mencermatinya semua kata-kata yang dilontarkan lawan bicaranya. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.