Bingkai Sejarah Buju’ Panaongan Madura (3)



Penulis: Yant Kaiy

Sri Sundari lebih jauh memaparkan, pra wabah tha’un melanda Panaongan, sebenarnya telah ada beberapa raja Sumenep yang pernah berteduh di daerah tersebut sebelum melanjutkan perjalanannya. Kebetulan ada pohon asam amat besar tumbuh rindang di sekitar Astah Buju’ Panaongan. Wajar kalau rombongan raja-raja dulu beristirahat di lokasi tersebut, karena mereka telah mengadakan perjalanan cukup jauh dengan menandu sang raja. Yang jelas para pengawal kelelahan. Seterusnya masyarakat luar menamakan daerah tempat pemberhentian untuk istirahat tersebut dengan nama Panaongan.

Kemudian muncul sebuah pertanyaan, untuk apa Raja Sumenep ke Pasongsongan?

Pada abad XI pelabuhan pesisir pantai Pasongsongan adalah pelabuhan yang terbesar di wilayah Pulau Madura. Selain sebagai tempat bongkar-muat barang, pelabuhan Pasongsongan juga menyediakan perahu jenis tengkong sebagai sarana transportasi penumpang. Tengkong adalah jenis perahu yang kanan-kirinya ada bambu menyentuh air yang berfungsi sebagai penyeimbang. Perahu jenis ini tahan ombak dan angin. Ia akan terus membelah laut mencapai tujuan. Sangat aman untuk sebuah perjalanan jauh sekalipun.

Perahu buatan nelayan Panaongan ini cukup handal dalam mengarungi samudera luas sekalipun. Menurut beberapa nelayan Pasongsongan, perahu jenis tengkong ini belakangan ditiru oleh beberapa nelayan lain di Madura.

Masyarakat  di daerah tersebut sudah bisa membikin perahu sendiri sebelum abad XI. Garansi keselamatan penumpang menjadi prioritas utama bagi nakhoda tengkong Pasongsongan. Maka tidak heran kalau akhirnya pelabuhan Pasongsongan menjadi tempat raja-raja Sumenep apabila hendak bepergian ke pulau lain. Transportasi laut menjadi sarana satu-satunya apabila seseorang hendak pergi ke pulau lain pada jaman itu. Kemudian para ahli pembuat perahu mencari gagasan baru, bagaimana cara para penumpang terhindar dari maut dengan perahu kecil sekali pun.

Sedangkan menurut Madun, S.Pd, dulu Desa Panaongan bernama Desa Padangdangan Barat, seperti yang ia pernah dengar cerita-cerita dari para orang tua dahulu. Tapi karena suatu proses eksistensi yang tidak relevan dengan nilai historis, maka pemangku kebijakan (para pini-sepuh) mendesain sebuah nama lokasi tersebut berdasar pada nilai-nilai historis yang melingkupinya.

Bukankah orang-orang jaman dahulu dalam memberikan nama apapun senantiasa disandarkan pada peristiwa yang melekat pada obyek tersebut. Seperti dalam memberikan nama pada anak bayi misalnya. Karena ketika melahirkan bayinya sedang terjadi huru-hara, maka segera menamakan anak bayinya dengan embel-embel ‘ribut’. Atau ketika seorang bayi lahir yang diiringi dengan meninggalnya kedua orang tuanya, lantas kerabatnya menamakan sang bayi ‘yatim’ (Bhs. Madura: Jetem).

Berbeda dengan pendapat lainnya, Ustadz Komarudin Nasir memberikan komentarnya tentang nama Desa Panaongan. Nama Panaongan ternatal ketika Syekh Ali Akbar sering berteduh di bawah pohon asam yang sangat besar di sebelah timur jembatan Panaongan saat sekarang. Di dekat pohon asam itu ada sumber mata air yang sangat jernih dan sampai sekarang masih ada. Mata air itu digunakan oleh banyak orang untuk minum dan berwudhu. Karena orang pada jaman dahulu jika bepergian dengan berjalan kaki.

Untuk mengusir penat dan dahaga, mereka sambil berteduh dan minum air sepuasnya di lokasi tersebut. Jadi nama Panaongan yang asli ada di titik sumber mata air tersebut. Sumber mata air itu ada di sebelah timur jembatan, sebelah utara jalan raya.

Ustadz Komarudin juga tidak menampik kalau ada kemungkinan Syekh Ali Akbar  sering berziarah kubur di Astah Buju’ Panaongan pra tertimbunnya makam para arifbillah tersebut. Juga ada kemungkinan beliau masih ada nasab dengan orang-orang yang terkubur di Astah Buju’ Panaongan.

Namun kemungkinan tersebut masih kurang kuat. Karena kalau ditelisik tahun wafat di kuburan Buju’ Panaongan, Syekh Ali Akbar lebih awal dua abad ketimbang makam di Astah Buju’ Panaongan.

Siapa Syekh Ali Akbar itu? Beliau adalah paman Raja Sumenep ke-29 yang bernama Bindara Saod. Syekh Ali Akbar wafat pada 14 Jumadil Akhir 1000 Hijriah atau Sabtu, 28 Maret 1592 yang kuburannya berada di Dusun Pakotan-Pasongsongan.  Memang sampai detik ini tidak ada sepotong statement yang mempertegas adanya korelasi antara keduanya. Pro-kontra komentar diantara para pini-sepuh Desa Panaongan dan Pasongsongan terus menggelinding ke tengah-tengah publik. Mereka terus menelaah dari situs yang ada, lalu mengkolaborasikannya dengan cerita leluhur mereka.

Syekh Ali Akbar sosok legendaris yang keberadaannya sebagai tokoh ulama besar di jamannya. Sampai sekarang pun namanya tak tergantikan. Beliau adalah ikon Desa Pasongsongan yang paling berjasa dalam kemajuan perkembangan Islam pasca para waliyullah yang ada di Buju’ Panaongan. Beliau juga yang mengangkis nama Panaongan dari keterpurukan.

Lebih jauh Ustadz Komarudin menjelaskan, dulu nama Desa Panaongan adalah Pade’engan. Yang menggulirkan nama Pade’engan adalah Syekh Ali Akbar. Arti nama Pade’engan adalah sebuah lokasi atau tempat terjadinya berbagai bentuk pembunuhan/pembantaian manusia yang mayatnya dibuang di bukit pasir sekitar Astah Buju’ Panaongan.

Sekitar tahun 1987, penulis sering bermain di sekitar sebelah barat Astah Buju’ Panaongan. Memang dengan mata kepala sendiri penulis menyaksikan banyaknya  tulang-belulang dan tengkorak manusia yang berserakan di bukit pasir tersebut.

Ketika penulis bertanya kepada beberapa warga Panaongan tentang tulang-belulang manusia itu. Ada yang menyebut kalau tulang-tulang manusia itu adalah terbuangnya mayat akibat pergolakan PKI (Partai Komunis Indonesia) sekitar tahun 1965. Orang-orang yang terlibat dalam pergerakan PKI itu dibumihanguskan oleh sang penguasa.

Ada pula yang menyatakan kalau tulang-tulang manusia itu korban dari wabah tha’un yang mayatnya tidak sempat terkubur mengikuti tuntunan syariat Islam. Orang-orang kala itu tidak memikirkan orang lain demi dahsyatnya bencana penyakit mematikan tersebut. Bahkan ada satu keluarga meninggal dunia semua. Tidak ada yang mengurusnya. Akhirnya bangkai manusia itu dibiarkan begitu saja. Orang-orang yang sebagian selamat menjauh dari Desa Panaongan.

Ada juga pendapat dari beberapa tokoh masyarakat dan tokoh adat setempat yang menyatakan, bahwa nama Panaongan tercetus spontanitas ketika ada salah seorang Raja Sumenep yang hendak menyeberang sungai Pasongsongan dengan menggunakan rakit. Sang Raja turun dari tandunya menuju rakit yang serta-merta pengawalnya memayungi raja tersebut. Sikap memayungi itulah oleh masyarakat setempat dikatakan Panaongan. (Bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Soa-soal Bahasa Madura Kelas III

Soal-soal Bahasa Madura Kelas IV SD

Madura Breaking News💥 BKN Resmi Tunda Pelaksanaan Seleksi PPPK Tahap II😭 Peserta Wajib Tahu😭🆘

Terkini‼️ Kepedulian Agus Sugianto Tak Hanya untuk Siswa, tapi Juga untuk Guru💪

Soal dan Kunci Jawaban Bahasa Madura PAS Kelas IV SD

Praktik Korupsi BSPS di Sumenep Terungkap, Kades 🅱️🅾️ngkar Sistem Jual Beli yang Merugikan

KKG Gugus 02 SD Pasongsongan Gelar Rapat Rutin Bulanan

Besok‼️ Penyerahan SK CPNS dan PPPK di Sumenep, Momentum Awal Pengabdian bagi Ratusan Calon ASN

Musyawarah Haflatul Imtihan Madrasah Annidhamiyah 2025: Konsolidasi Menuju Puncak Prestasi💪

Kepercayaan Publik terhadap SDN Panaongan 3 Kian Meningkat, Wujud Nyata Pembelian Kendaraan Roda Tiga🔥