Bingkai Sejarah Buju’ Panaongan Madura (2)



Penulis: Yant Kaiy

 

Menelisik Desa Panaongan

Panaongan berasal dari kata dasar ‘naong’ yang artinya teduh. Kemudian diberi awalan ‘pa’ dan akhiran ‘an”. Jadi makna kata dari Panaongan adalah tempat orang berteduh dari panas menyengat dan beristirahat sejenak dari penat. Dengan kata lain, Desa Panaongan merupakan sebuah lokasi yang bisa melindungi/membentengi seseorang dalam arti yang lebih luas. Bahwa daerah ini adalah suatu daerah yang sejuk, nyaman, dan menentramkan bagi siapa saja yang berada di dalamnya.

Menurut Sri Sundari, nama Panaongan tercetus ketika pada jaman dahulu ada banyak orang yang berteduh sebelum melanjutkan perjalanan jauh dari dan ke pelabuhan pantai Desa Pasongsongan. Panaongan merupakan sebuah lokasi/tempat bagi kebanyakan orang yang berteduh di sekitar Astah Buju’ Panaongan karena di sekitar itu sudah ada komunitas Arab yang telah mendirikan pondok pesantren dan berbaur dengan masyarakat setempat.

Kala itu tidak ada sekat tradisi dan budaya pada keduanya. Ibarat satu koin mata uang logam, dua sisinya berbeda tapi nilainya sama. Proses akulturasi bangsa Arab ini berjalan dengan baik, tanpa ada sebuah gesekan berarti pada ujung perkembangannya. Justru etnis Arab ini telah mewariskan nuansa toleransi tingkat tinggi yang tidak pernah ada sebelumnya. Toleransi yang melahirkan neo-tradisi. Dan endingnya warga Panaongan tergiring pada status sosial lebih mapan, lebih bersahaja, lebih beradab dan lebih berkelas seiring pencapaian pola hidup masyarakat yang terus meningkat pada level cukup sejahtera.

Masih menurutnya, peradaban Islam terus berkembang sangat baik di Panaongan. Banyak orang-orang dari luar Pulau Madura belajar Islam di lokasi ini. Kita bisa melihat ada bekas bangunan yang dipercaya sebagai bangunan pondok pesantren dan tempat mengambil air wudhu’ di sebelah timur Buju’ Panaongan.

Di jaman dahulu rumah-rumah penduduk lebih banyak berada di sekitar Astah Buju’ Panaongan. Banyak pedagang dari luar daerah seperti Sumatera, Sulawesi, Jawa dan pulau-pulau kecil di sekitar Madura yang melakukan transaksi jual-beli di daerah ini. Termasuk pula para pedagang dari Negeri Tirai Bambu China dan Jasirah Arab yang begitu kental mewarnai aroma perniagaan di Desa Panaongan. Kehadiran bangsa asing ini cukup memberikan sumbangsih besar bagi kemajuan Panaongan di sektor perekonomian masyarakat. Maka semakin lengkaplah kemajuan Panaongan dalam segala sisi.

Pendapat Sri Sundari ada korelasi dengan komentar Drs. Kiai Haji Mas Ula Ahmad dan Ustadz Abdul Karim Mastura yang menyatakan, bahwa di lokasi Astah Buju’ Panaongan dulu adalah pusat bisnis terbesar di wilayah pantai utara (pantura) Pulau Madura. Selain itu Panaongan juga merupakan pusat peradaban Islam satu-satunya di Sumenep yang tak terungkap.

Sedangkan Pelabuhan Pasongsongan menjadi pusat bongkar-muat barang dari kapal luar. Barang-barang dagangan mereka diangkut dan diperdagangkan di Panaongan.

Salah satu bukti kuat kalau Panaongan merupakan pusat peradaban Islam pertama di Madura, yaitu adanya jalinan persahabatan masyarakat Panaongan dengan Kerajaan Islam Aceh dan Kerajaan Gowa Sulawesi Selatan.

Adalah Putri dari Syekh Ali Akbar yang bernama Nyai Agung Madiya, pada abad XVII pernah membantu Kerajaan Aceh dalam mengusir penjajah Belanda. Nyai Agung Madiya berangkat ke Aceh atas kehendak Raja Sumenep Bindara Saod. Nyai Agung Madiya menjadi panglima perang perempuan satu-satunya di Kerajaan Sumenep. Ia membawahi ratusan pasukan Kerajaan  Sumenep. Beliau sukses memukul mundur tentara kolonial Belanda.

Sebagai bentuk penghargaan dari raja ke-29 Bindara Saod, putri Syekh Ali Akbar ini mendapat hadiah tanah luas yang ada di Dusun Pakotan Pasongsongan. Perlu diketahui, Raja Bindara Saod memegang tampuk kekuasaan sebagai raja pada tahun 1750 sampai 1762.

Pada abad XVI, Raja Gowa ke-16 Sultan Hasanuddin pernah meminjam pusaka kepada Nyai Agung Madiya yang akan dipergunakan untuk menumpas pasukan kolonial Belanda. Sultan Hasanuddin sukses menghancurkan tentara Belanda. Tentu semua berkat ijin Allah. Pusaka dari Nyai Agung Madiya hanya sebagai perantara saja. Dan benda bertuah itu pun sudah dikembalikan pada keturunan Syekh Ali Akbar. Sultan Hasanuddin lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631.

Bisa dipastikan kalau peradaban Islam sudah berkembang sangat maju di Panaongan seiring hubungan keislaman dengan beberapa kerajaan yang ada di luar Pulau Madura. Hal ini tampaknya tidak terekam oleh kalangan sejarawan di Madura, khususnya Sumenep. Mengapa ini semua bisa terjadi?

Mungkin tidak ada literatur pembanding sebagai pijakan dalam pengungkapan fakta, sehingga sikap skeptislah yang berkuasa. Kita pun terjajah dan lebih percaya kepada orang luar. Kebimbangan berlebihan akan menatalkan kebuntuan pada peradaban sejarah Desa Panaongan. Bahkan banyak diantara kalangan masyarakat Panaongan yang gamang mengambil sebuah statement meniscaya sebagai ikhtiar dari pengungkapan fakta folklor pada situs di Astah Buju’ Panaongan.

Ada juga yang segan dalam menulis sejarah Buju’ Panaongan. Itu disebabkan oleh adanya aroma intimidasi yang berhembus dari beberapa kelompok yang disinyalir punya kepentingan tertentu. Kepentingan yang mengedepankan kelompoknya. bukan pada kepentingan pengungkapan fakta sesungguhnya.

Fenomena paling memanas itu terjadi ketika Buju’ Panaongan masih baru ditemukan. Wacana terus berkembang. Meski kemudian wacana panas itu mulai berganti, memudar seiring waktu.

Kemasyhuran Desa Panaongan jaman dahulu sebagai pusat bisnis terbesar di pesisir pantai utara Pulau Madura pada akhirnya tumbang juga. Sebuah bencana besar menghantam kejayaan Panaongan. Merobohkan bangunan menara tinggi perekonomian masyarakat luas tanpa ampun.

Daerah yang semula tenteram tiba-tiba berganti mengerikan. Mencekam. Mereka yang selamat cepat menghindar, pergi jauh bersama keluarganya. Wabah penyakit tha’un mampu melumpuhkan aktifitas perekonomian masyarakat setempat. Wabah penyakit mematikan ini dalam waktu relatif cepat langsung menyikat habis nyawa penduduknya tanpa kompromi.

Sebagian dari mereka ada banyak yang mengungsi  ke tempat lain demi menyelamatkan diri dari musibah penyakit itu. Salah satu dari mereka ada yang hijrah ke Desa Tambaagung Kecamatan Ambunten Sumenep. Mereka yang pindah mendirikan pondok pesantren di sana, melanjutkan kegiatan belajar-mengajar agama terhadap anak-anak mereka sendiri.

Menurut K.H. Mas Ula, wabah tha’un merupakan suatu penyakit kulit yang sangat mematikan dengan cepat. Terjangkit tha’un pagi hari, pada malam hari meninggal dunia.

Penyakit instan ini semacam penyakit kusta atau lepra. Ia berasal dari virus yang awalnya menyerang hewan ternak. Orang yang terjangkit akan muncul borok pada kulitnya. Wabah sangat cepat ini menyebar liar ke seluruh masyarakat Desa Panaongan dan sebagian lagi Desa Pasongsongan tanpa pandang bulu. Banyak orang yang terjangkit sehingga dalam tempo singkat puluhan ribu jiwa meninggal dunia. Maka tidak heran kalau akhirnya daerah Astah Buju’ Panaongan sepi dari penduduk.

Panaongan tiba-tiba menjelma jadi lokasi mencekam yang menakutkan. Begitulah kalau Allah SWT mau membinasakan umat-Nya, sangat mudah. Maka sebagai insan lemah senantiasa harus bersyukur terhadap nikmat yang diberikan. (Bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BPRS Bhakti Sumekar Pasongsongan Salurkan Sedekah di SDN Panaongan 3

Abu Supyan: Kepala SD yang Memiliki TK Satu Atap Diminta Segera Urus Izin Operasional

Anak Yatim di SDN Panaongan 3 Terima Santunan dari BPRS Bhakti Sumekar Pasongsongan Kabupaten Sumenep

Saran Agus Sugianto dalam Rapat KKG SD Gugus 02 Pasongsongan

Agus Sugianto Sependapat dengan Pengawas Bina SD, Dorong Pengurusan Izin Operasional TK Satu Atap

Notulen Rapat KKG PAI Kecamatan Pasongsongan Awal 2025

Soa-soal Bahasa Madura Kelas III

KKG SD Gugus 02 Pasongsongan Gelar Rapat Penyegaran dan Konsolidasi

Program Guru Tamu SDN Panaongan 3, Meningkatkan Kesadaran Perlindungan Perempuan dan Anak

Rapat KKG PAI Kecamatan Pasongsongan, Serah Terima Jabatan dan Permintaan Maaf