CERPEN: Debur dan Tajin Sappar
By: Suriyanto Hasyim
Di sebuah dusun kecil yang masyarakatnya menjunjung nilai-nilai tradisional bernama Sempong Barat, yang masuk wilayah Desa Pasongsongan, Kecamatan Pasongsongan, tinggal seorang anak laki-laki bernama Debur.
Ia tergolong anak yang ceria. Rambutnya ikal dan matanya lebar. Kulitnya sawo matang.
Debur sangat suka membantu ibunya di dapur.
Setiap datang bulan Safar, Debur selalu bersemangat. Bukan karena libur sekolah, tapi karena ada makanan kesukaannya: tajin sappar!
Pagi itu, dapur rumah Debur penuh dengan aroma harum santan dan beras yang dimasak.
Ibu sedang sibuk mengaduk panci besar di atas tungku.
“Bu, bikin tajin sappar, ya?” tanya Debur sambil mengintip.
“Iya, Nak,” jawab ibu sambil tersenyum.
"Asyik,"
“Sudah jadi tradisi di bulan Safar, semua orang di sini membuat tajin sappar. Nanti kita antar juga ke tetangga dan famili.”
"Siap, Bu," sahut Debur riang.
Debur membantu menyiapkan daun pisang untuk alas mangkuk. Ia senang bisa ikut serta, apalagi tahu bahwa setelah selesai, ia boleh mencicipi tajin hangat itu.
Sambil menunggu masakan matang, Debur bertanya penasaran,
“Bu, kenapa sih kita selalu bikin tajin sappar setiap bulan Safar?”
Ibu berhenti mengaduk sebentar, lalu menatap Debur dengan lembut.
“Nak, tajin sappar ini bukan cuma makanan. Di dalamnya ada makna yang dalam. Tradisi ini mengingatkan kita tentang asal-usul manusia dan perjuangan para nabi dalam menghadapi cobaan,” tegas ibunya lembut.
Debur mengerutkan dahi, mencoba memahami.
“Berarti tajin sappar itu supaya kita ingat untuk sabar, ya Bu?”
“Betul sekali,” jawab ibu. “Safar itu bulan penuh ujian, tapi juga waktu yang baik untuk berdoa dan memperkuat hati. Dengan membuat dan berbagi tajin sappar, kita belajar untuk saling peduli dan bersyukur.”
Setelah matang, ibu menuangkan tajin ke beberapa wadah kecil. Debur membantu mengantarkannya ke rumah tetangga. Semua orang tersenyum bahagia menerima kiriman itu.
Sore hari, Debur duduk di teras sambil menikmati semangkuk tajin sappar buatan ibu. Rasanya lembut dan gurih, tapi yang paling ia rasakan adalah kehangatan.
“Hmm… enaknya tajin sappar. Tapi lebih enak lagi kalau dimakan sambil bersyukur,” gumam Debur pelan.
Sejak hari itu, Debur tidak hanya suka makan tajin sappar, tapi juga mengerti makna di baliknya — tentang kesabaran, perjuangan, dan kasih sayang yang diwariskan dari generasi ke generasi di Dusun Sempong Barat.[]

Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.