Juknis Tunjangan Sertifikasi Guru Honorer 2025, Masih Perlu Evaluasiš
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), sudah menetapkan regulasi baru terkait tunjangan sertifikasi guru honorer untuk tahun anggaran 2025.
Ketetapan ini diatur dalam Peraturan Sekretaris Jenderal (Persesjen) Kemendikdasmen Nomor 1 Tahun 2025.
Sebagai sebuah pedoman resmi, juknis ini menjadi acuan teknis dalam penyaluran dan pencabutan tunjangan sertifikasi guru honorer.
Kendati keberadaannya penting sebagai pijakan administratif, kebijakan ini tetap menyisakan ruang untuk dikritisi secara konstruktif.
Beda Jalur, Beda Perlakuan
Satu hal yang mencolok dari juknis ini adalah perbedaan perlakuan antara guru honorer dan guru ASN (baik PNS maupun PPPK) dalam hal penerimaan tunjangan sertifikasi.
Perbedaan ini tentu berangkat dari perbedaan status kepegawaian, tapi perlu dipertanyakan apakah perbedaan tersebut adil jika dikaitkan dengan beban kerja.
Banyak guru honorer yang sudah lama mengabdi tanpa kejelasan status, tapi tetap menjalankan tugas pendidikan penuh semangat.
Ketika mereka sudah berhasil memperoleh sertifikasi, seharusnya mereka mendapat jaminan hak yang setara, bukan malah dibayangi potensi pencabutan tunjangan karena perubahan status administratif.
Perlu Kejelasan dan Keadilan
Dalam Persesjen No. 1 Tahun 2025, terdapat sejumlah alasan resmi yang bisa menyebabkan pencabutan tunjangan sertifikasi guru honorer.
Salah satu alasan yang disorot adalah pengangkatan guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Begitu surat tugas PPPK diterbitkan, maka tunjangan sertifikasi sebagai guru honorer otomatis dihentikan.
Secara administratif, hal ini mungkin masuk akal. Tapi dari sisi lapangan, guru yang sama, dengan kompetensi yang sama, tidak serta merta berubah hanya karena status kepegawaiannya bergeser.
Jika tunjangan sertifikasi sebagai honorer dihentikan, seharusnya tunjangan setara sebagai PPPK segera menyusul tanpa jeda yang merugikan.
Selain alasan menjadi PPPK, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, juga menetapkan alasan-alasan lainnya yang menyebabkan pencabutan tunjangan, seperti wafatnya guru, mencapai batas usia pensiun, cuti sakit berkepanjangan, pengunduran diri, hukuman pidana, hingga tidak lagi berstatus guru honorer.
Beberapa alasan ini bisa dipahami dari perspektif administratif, tapi tetap perlu pengawasan ketat dalam implementasinya.
Implementasi yang Bijak
Penerbitan juknis ini patut diapresiasi karena memberikan kejelasan hukum dan administratif bagi para guru honorer.
Akan tetapi pemerintah juga perlu memastikan bahwa pelaksanaannya tidak hanya mengedepankan aturan, tapi juga rasa keadilan.
Guru honorer sudah terlalu lama menjadi tulang punggung pendidikan di daerah-daerah terpencil dengan kondisi kerja memprihatinkan.
Pencabutan tunjangan harus dilakukan secara manusiawi dan tidak menimbulkan kerugian finansial atau psikologis bagi guru yang terdampak.
Selain itu, proses transisi dari guru honorer ke PPPK atau status lainnya seharusnya disertai dengan kebijakan jaminan pengganti yang adil dan tepat waktu.
Jangan Biarkan Guru Menjadi Korban Regulasi
Pada akhirnya, regulasi seperti juknis ini harus dilihat bukan sekadar sebagai aturan, tapi sebagai refleksi dari komitmen pemerintah terhadap kesejahteraan guru.
Tanpa guru yang sejahtera dan dihargai, sulit membayangkan kualitas pendidikan nasional bisa meningkat.
Semestinya dalam tiap langkah kebijakan, pemerintah perlu menempatkan guru bukan hanya sebagai objek administrasi, melainkan sebagai subjek utama dalam pembangunan bangsa. [Surya]
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.